Pemerintah-DPR Didesak Segera Revisi UU ITE
Berita

Pemerintah-DPR Didesak Segera Revisi UU ITE

Pasal-pasal pidana dalam UU ITE yang sudah diatur dalam KUHP diusulkan dicabut.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi UU ITE di Jakarta, Senin (30/11). Foto: LBH Pers
Acara diskusi UU ITE di Jakarta, Senin (30/11). Foto: LBH Pers
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Undang-Undang ini telah membawa banyak ‘korban’ di kalangan pengguna internet.

Koordinator Regional Safenet, Damar Juniarto, membeberkan data. Sejak UU ITE diterbitkan tahun 2008 hingga tahun ini (2015) tercatat 118 orang pengguna internet terjerat ‘pasal karet’ UU ITE. Sebagian besar kasus terkait dengan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pasal ini seolah menjadi favorit aparat penegak hukum dan orang yang tak senang dikritik. “Pencemaran nama baik masih jadi favorit bagi sebagian orang untuk memenjarakan orang lain,” kata Damar dalam diskusi di Jakarta, Senin (30/11).

Gara-gara sering menyasar dan menjerat pengguna internet, Damar mengusulkan Pemerintah dan DPR melakukan revisi sesegera mungkin, khususnya Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Ironisnya, yang disasar termasuk juga aktivis gerakan antikorupsi, jurnalis, pegiat demokrasi, dan whistleblower.

Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Jaringan LBH Pers, Asep Komarudin, memprediksi setelah UU ITE diterbitkan akan ada banyak orang yang dikriminalisasi karena dianggap melakukan pencemaran nama baik. Oleh karenanya kelompok masyarakat sipil pernah mengajukan pasal 27 ayat (3) UU ITE ke MK untuk judicial review. Sayangnya, dalam putusan MK menolak gugatan itu dengan alasan Indonesia membutuhkan aturan tentang pencemaran nama baik karena ketentuan dalam KUHP tidak bisa menjangkau ke media internet (online).

Asep berpendapat unsur pidana yang dimaksud pasal 27 ayat (3) UU ITE harusnya lebih diperinci. Sialnya, dalam penjelasan UU ITE hal itu tidak ada karena dianggap sudah cukup jelas. Ia membandingkan ketentuan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam pasal 310 dan 311 KUHP mengatur lebih detail ketimbang pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Dalam KUHP, pencemaran nama baik dilakukan dimuka umum, tapi UU ITE mengkategorikan lebih luas dimana dua orang yang berkirim SMS bisa dikatakan pencemaran nama baik jika salah satunya merasa berkeberatan.

“Orang yang dijerat dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE bisa langsung ditahan oleh penyidik karena ancaman pidananya 6 tahun. Sementara ancaman pidana pasal pencemaran nama baik sebagaimana dalam KUHP lebih rendah itu,” ujar Asep.

Oleh karena itu pasal 27 ayat (3) UU ITE kerap digunakan pihak tertentu untuk melapor sehingga terlapor ditahan oleh penyidik. Dampak penahanan itu bukan saja kepada terlapor tapi juga masyarakat. Sebab masyarakat akan lebih takut jika ingin berpendapat atau mengkritik lewat media internet.

Asep mencatat awalnya UU ITE akan ditujukan untuk mengatur transaksi elektronik di internet (e-commerce), namun dalam pembahasan di DPR ada ketentuan pidana yang diselundupkan diantaranya pasal 27 ayat (3). Untuk itu ia mengusulkan agar ketentuan pidana dalam UU ITE yang sudah diatur dalam KUHP untuk dicabut. Ia mengusulkan agar semangat UU ITE dikembalikan lagi hanya untuk mengatur transaksi elektronik. Jika ingin melakukan pemblokiran di dunia maya harus diatur dalam UU khusus, bukan UU ITE. “Tindak pidana yang ada di UU ITE tapi sudah diatur di KUHP lebih baik dicabut agar tidak terjadi overkriminalisasi,” usulnya.

Dalam setiap kasus pencemaran nama baik yang ada di media internet Asep mencatat alat bukti yang selalu digunakan selalu screenshot. Padahal harus dicari lebih dalam lagi seperti digital evidence dan uji DNS. “Polisi jangan hanya sekadar menerima laporan, tapi harus melakukan uji forensik dan digital evidence,” tukasnya.

Ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Suwarjono, menilai terjadi perubahan pola dalam membungkam kebebasan berpendapat terutama pers. Sebelum UU ITE terbit, upaya pembungkaman  menyasar langsung media, baik penulis dan jurnalis maupun pemimpin redaksi. Sekarang ada pasal dalam UU ITE yang dapat digunakan salah satunya Pasal 27 ayat (3).

Suwarjono mengatakan dampak ancaman pidana terkait pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU ITE itu bukan saja menyasar media yang bersangkutan tapi juga narasumbernya. Sebab, narasumber akan takut untuk berpendapat sesuai dengan keyakinannya karena ada ancaman pidana yang bisa digunakan orang lain lewat UU ITE. “Ini mengancam konten media, karena isi konten menjadi tidak menarik karena narasumber ketakutan untuk mengutarakan pendapatnya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait