MK Tolak Proses PHK dengan Permohonan
Utama

MK Tolak Proses PHK dengan Permohonan

Dinilai tidak mempertimbangkan masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1957 yang memungkinkan PHK dengan permohonan izin.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Secara aklamasi, kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pengujian  “Menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Wakil Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 20/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Senin (30/11).    dan kawan-kawan Para pemohon menilai model penyelesaian dengan gugatan ini mengakibatkan buruh sulit mendapatkan hak-haknya (pesangon). Faktanya, apabila pengusaha tidak menggugat PHK ke PHI, buruh akan kehilangan jaminan perlindungan dan kepastian hubungan kerja. Alhasil, buruh seolah “dipaksa” menggugat dengan bukti-bukti seadanya. Akibatnya, gugatan buruh seringkali ditolak PHI karena minimnya bukti-bukti yang dimiliki buruh. Berbeda dengan pengusaha lebih menguasai bukti-bukti, semisal salinan perjanjian kerja, slip pembayaran upah, kartu tanda karyawan, atau surat PHK. Karenanya, para pemohon meminta agar Pasal 81 UU PPHI dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai,  Menanggapi dalil itu, Mahkamah menilai Pasal 81 UU PPHI menyangkut kompetensi relatif yang 

“Dengan demikian, tidak terdapat korelasi sekaligus koherensi antara dalil permohonan dan argumentasi yang digunakan untuk mendukung dalil tersebut,” ujar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.

Mahkamah menegaskan permintaan pemohon sama sekali tidak ada hubungan dengan persoalan konstitusionalitas Pasal 81 UU PPHI yang mengatur kompetensi relatif PHI. Menurut majelis, perkara permohonan hakikatnya hanya berkaitan kepentingan sepihak saja tanpa ada sengketa dengan pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan.

“Dalam konteks permohonan ini, jelas perkara PHK tidak mungkin dikonstruksikan sebagai permohonan. Sebab, perkara PHK jelas ada unsur sengketa (disputes) antara para pihak, setidak-tidaknya dua pihak. Mekanisme demikian tidak mungkin dapat dilaksanakan dalam sidang perkara permohonan,” lanjut Palguna.

Menurut Mahkamah mekanisme gugatan justru menjamin perlindungan dan kepastian hukum sekaligus keadilan. Sebab, melalui mekanisme acara gugatan dalam perselisihan hubungan industrial berupa PHK, para pihak baik buruh dan pengusaha diberikan kedudukan yang seimbang.

Salah seorang pemohon, M. Hafidz, mengatakan akan mempelajari putusan ini, untuk kemudian mempertimbangkan apakah akan mengajukan kembali permohonan ini dengan mengubah argumentasi. “Kita coba ngobrol dulu, apakah akan diajukan kembali atau tidak,” ujar Hafidz usai persidangan.

Hafidz meminta agar Pasal 81 UU PPHI ditafsirkan sebagai permohonan, bukan gugatan yang selama ini diterapkan di PHI. Namun, MK tak mempertimbangkan masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Dalam wet ini proses PHK cukup dengan permohonan izin PHK melalui P4D. “Ini kan menggunakan permohonan proses PHK-nya,” kata Hafidz.
Pasal 81 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) terkait penyelesaian hubungan industrial dengan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Alasannya,  ketentuan itu dianggap telah memberi kepastian hukum yang adil dan jaminan perlindungan bagi pihak buruh dan pengusaha yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.



Putusan ini adalah jawaban Mahkamah atas permohonan sembilan buruh/pekerja di wilayah Karawang dan Bogor.  Abda Khair Mufti, Agus Humaedi Abdilah, Muhammad Hafidz, Chairul Eillen Kurniawanmempersoalkan Pasal 81 UU PPHI terkait model penyelesaian hubungan industrial (termasuk perselisihan PHK) berdasarkan gugatan (contentiosa) antara buruh dan pengusaha di PHI.



“Gugatan perselisihan hubungan industrial, dikecualikan perselisihan PHK harus dengan ‘permohonan’ diajukan ke PHI pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat buruh bekerja”.

PHI untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konkrit gugatan perselisihan hubungan industrial. Namun, justru dalil permohonan sama sekali tidak bersangkut dengan kompetensi relatif, tetapi menyoroti sifat perselisihan hubungan industrial berupa PHK yang seharusnya bukan melalui mekanisme gugatan melainkan permohonan (hukum acara).
Tags:

Berita Terkait