Kepala Daerah Tetap Berwenang Menetapkan Konflik Sosial
Berita

Kepala Daerah Tetap Berwenang Menetapkan Konflik Sosial

Putusan ini dianggap memposisikan darurat konflik sama dengan darurat sipil yang dikenal dalam UU No. 23/PRP/1959.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Kepala Daerah Tetap Berwenang Menetapkan Konflik Sosial
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pasal 16 dan Pasal 26   “Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ucap Wakil Ketua MK, Anwar Usman saat membacakan putusan bernomor 8/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Senin (30/11).   Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil dan anggota masyarakat - Imparsial, YLBHI, HRWG, dan Anton Ali Abbas - mempersoalkan Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial terkait penetapan keadaan di tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota. Ketentuan penetapan keadaan konflik itu dinilai tak sejalan dengan kaidah penetapan keadaan darurat menurut UUD 1945.   Para pemohon melihat kewenangan menetapkan keadaan darurat ada pada presiden sebagai otoritas yang menggerakkan semua perangkat negara termasuk mengambil alih fungsi yudikatif dan legislatif seperti diamanatkan Pasal 12 UUD 1945. Padahal, negara pun sudah memiliki perangkat peraturan mengenai syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya seperti diamanatkan UU No. 23/PRP/1959 tentang .   Dalam pertimbangannya, Mahkamah mengingatkan    “Konflik sosial    Sedangkan, keadaan bahaya atau darurat menurut UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya meliputi darurat sipil, militer, dan perang. Keadaan bahaya menyangkut tiga indikator yakni terancamnya keamanan negara,  adanya perang, timbulnya kondisi tertentu yang berpotensi membahayakan kehidupan negara.   Menurut Mahkamah, keadaan darurat tersebut terjadi kalau keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah terancam oleh pemberontakan, kerusuhan, atau bencana alam yang tidak dapat diatasi dengan perlengkapan biasa. “Keadaan darurat memiliki spektrum yang lebih luas yaitu negara, sedangkan konflik memiliki dimensi yang lebih sempit yaitu kondisi yang terjadi di daerah tertentu,” jelas Suhartoyo. Selanjutnya, UU Sosial ini membatasi aturan hanya pada keadaan darurat sipil, sehingga tidak diasumsikan kondisi konflik sosial berubah menjadi darurat perang atau militer. Lagipula, pemberian pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat pada bupati atau walikota dalam menentukan status konflik di daerahnya, terlebih dulu meminta pertimbangan DPRD. “Mengingat pemerintah daerahlah yang lebih tahu kondisi riil di daerahnya dibandingkan dengan pemerintah pusat atau presiden. Hal ini justru mempermudah penyelesaian karena memperpendek rentang kendali antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam hal penanganan konflik sosial,” dalihnya. Kuasa hukum pemohon, Wahyudi Jafar menilai MK dalam putusan ini telah memposisikan darurat konflik sama dengan darurat sipil yang dikenal dalam 

Pemohon sebenarnya ingin MK memperjelas wewenang antara presiden dan kepala daerah. Seharusnya, UU Penanganan Konflik Sosial membatalkan ketentuan yang ada dalam UU No. 23/PRP/1959. Namun, putusan MK ini justru melegitimasi penanganan darurat sipil dalam UU PKS. Artinya, bukan hanya presiden saja yang mempunyai wewenang itu, tetapi kepala daerah atau gubernur juga mempunyai wewenang menyatakan suatu daerah itu sebagai darurat sipil.

“Presiden juga mempunyai otoritas menyatakan suatu daerah itu sebagai daerah darurat sipil. Misalnya, konflik Ambon, pilihannya waktu itu presiden mengeluarkan keputusan presiden tentang darurat sipil untuk Ambon. Begitu juga dengan Aceh waktu itu presiden pernah menyatakan dari darurat militer menjadi darurat sipil,” katanya.
UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial terkait penetapan keadaan konflik di tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota. Alasannya, penetapan keadaan konflik sosial oleh kepala daerah (bupati atau walikota) dinilai rasional dan tidak bertentangan dengan konstitusi.



konflik

Keadaan Bahaya

perlu memahami perbedaan antara konflik sosial dengan keadaan bahaya yang diatur dalam UU yang berbeda. Konflik sosial diartikan perseteruan atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial, sehingga mengganggu stabilitas dan pembangunan nasional.

memiliki tiga aspek yaitu perseteruan antar kelompok, adanya kekerasan, dan menimbulkan ketidakamanan. Konflik atau pertikaian akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri,” ujar Hakim Konstitusi Suhartoyo.





Penanganan Konflik



UU No. 23/PRP/1959. “Dari sini sebenarnya celah adanya ketidakpastian hukum terkait wewenang presiden ataupun kepala daerah,” ujar Wahyudi usai persidangan di gedung MK.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait