Melihat Penyadapan dari Kacamata Hukum
Resensi

Melihat Penyadapan dari Kacamata Hukum

Hiruk pikuk transkrip pembicaraan orang yang diduga Ketua DPR bersama seorang pengusaha dengan pimpinan Freeport mengungkit kembali isu penyadapan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pertanyaan paling sederhana yang muncul, bolehkah kita merekam diam-diam pembicaraan kita dengan orang lain? Apakah hasil perekaman itu mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti jika, misalnya, ada masalah hukum yang timbul kemudian? Daftar pertanyaan mungkin bisa terus bertambah mengingat penyadapan di Indonesia telah lama menjadi isu hukum.

Ada sejumlah tulisan pakar yang membahas aspek hukum penyadapan.Sekadar contoh, tulisan  Prof. Bagir Manan ‘Penyadapan Komunikasi atau Koresponden Pribadi’ yang bisa kita baca di Varia Peradilan edisi September 2010. Bahkan Dewan Pers, lembaga yang kemudian dipimpn Bagir, pernah membuat sesi diskusi khusus mengangkat isu ini.

Bagaimanapun, penyadapan menimbulkan kekhawatiran di satu pihak, tetapi memberi kontribusi besar dalam pemberantasan korupsi di pihak lain. Penyadapan (wiretapping) telah menjadi salah satu ‘senjata’ ampuh buat Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengungkap kasus-kasus yang sulit dideteksi secara konvensional. Sebaliknya, intersepsi komunikasi bisa merambah ke ranah pribadi sehingga melanggar hak asasi orang.

Mengutip pandangan Joseph Raz (The Rule of Law and Its Virtue in the Authority of Law, 1979), penyadapan tak ubahnya pisau bermata dua: memiliki sifat baik dan buruk sekaligus. Pisau yang tajam bisa dipakai untuk mengiris sayuran, sekaligus bisa dipakai untuk melukai manusia.

Dua sisi penyadapan yang saling bertolak belakang inilah yang kemudian dikaji, dianalisis, dan kemudian dituliskan oleh Reda Manthovani. Pria yang kini menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat ini membuat analisis tentang penyadapan dalam rangka memenuhi kewajiban akademik doktoral. Hasil kajian itulah yang kini dibukukan menjadi Penyadapan vs. Privasi, yang diterbitkan Bhuana Ilmu Populer, penerbit yang masih kelompok Gramedia.
JudulPenyadapan vs. Privasi
Penulis DR. Reda Mathovani, SH. LLM
Penerbit Bhuana Ilmu Populer, Jakarta
Cet-1 2015
Halaman 336 + ix

Buku ini juga dimulai dari kasus-kasus korupsi yang berhasil diungkap berkat kontribusi penyadapan, sekaligus memberi contoh penyimpangan yang terjadi di lapangan. Penulis menegaskan penyadapan rawan disalahgunakan terlebih ketika aturan hukum yang melandasinya tidak sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia. Karena itu, tindakan penyadapan juga membutuhkan moralitas agar intersepsi sesuai dengan peruntukannya (hal. 7).

Ada banyak instrument hukum yang mengatur penyadapan,baik nasional maupun internasional. Penulis mencoba menguraikan pengaturan penyadapan di Indonesia dalam satu bab khusus (hal. 71-106). Ternyata, kepolisian dan kejaksaan punya kewenangan menyadap sebagaimana halnya KPK. Cuma, di Indonesia, peraturan perundang-undangan hanya menerapkan prinsip legality dan legitimate aim saja. Belum sepenuhnya memenuhi prinsip necessity, proportionality, safeguard against illegitimate access, dan due process (hal. 145).

Dalam buku ini penulis mencoba membandingkan legislasi penyadapan di Indonesia dan beberapa negara lain. Dari komparasi itu, ditambah analisis regulasi, ada dua bentuk tindakan penyadapan di Indonesia. Pertama, penyadapan untuk kegiatan penegakan hukum terutama dalam penanganan tindak pidana narkotika, psikotropika, korupsi, terorisme, perdagangan orang, dan pencucian uang. Kedua, penyadapan untuk kepentingan intelijen dalam rangka melindungi keamanan dan kedaulatan nasional. Faktanya, ada beragam penafsiran peraturan oleh aparat penegak hukum, yang berujung pada inkonsistensi (hal. 237).

Kajian yang dilakukan Reda sebenarnya sangat bermanfaat bagi dunia hukum Indonesia, terutama ketika muncul kegamangan dan perdebatan seputar intersepsi atau perekaman tanpa izin sebagaimana yang kini menjadi bahan hirup pikuk politik nasional. Agar masalah ini clear, penulis memberikan beberapa saran dalam konteks pembahasan RUU KUHAP.

Para penyusun RUU KUHAP termasuk kelompok yang layak dan perlu membaca buku sepenting ini. Tentu saja, komunitas lain seperti jurnalis, praktisi dan akademisi hukum punya kepentingan yang tak kalah pentingnya. Apalagi jika kita ingin memperjelas batas-batas wewenang penyadapan di satu sisi dan perlindungan privasi seseorang di sisi lain.  

Membaca buku ini salah satu cara kita memperkuat pemahaman. Anda bisa memperolehnya di toko-toko buku. Selamat membaca…
Tags:

Berita Terkait