Lagi, PHI Hukum Kedubes Asing
Utama

Lagi, PHI Hukum Kedubes Asing

Hingga kini penggugat masih belum mendapatkan pesangon yang ditetapkan pengadilan.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/Tipikor/Hubungan Industrial Jakarta Pusat yang baru berlokasi di jalan Bungur, Jakarta. Gedung sembilan lantai dengan 31 ruang sidang tersebut akan mulai digunakan pekan depan.
Gedung Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/Tipikor/Hubungan Industrial Jakarta Pusat yang baru berlokasi di jalan Bungur, Jakarta. Gedung sembilan lantai dengan 31 ruang sidang tersebut akan mulai digunakan pekan depan.
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta telah memutus perkara bernomor 64/PHI.G/2014/PN Jkt Pst antara Erna Amiarsih melawan Kedubes Republik India untuk Republik Indonesia. Putusan tertanggal 27 Oktober 2014 itu intinya menghukum Kedutaan Besar India di Indonesia membayar kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap Erna selaku penggugat sebesar AS$20,464.88. Kompensasi itu terdiri dari uang pesangon, penghargaan masa kerja, penggantian hak dan upah penggugat selama proses PHK.

Berdasarkan catatan hukumonline, ini bukan kasus pertama gugatan pekerja terhadap Kedubes asing di Indonesia yang masuk PHI. Sebelumnya, seorang pekerja menggugat Kedubes Brazil. PHI Jakarta juga menghukum perwakilan diplomatik itu untuk membayar uang pesangon.

Kuasa hukum Erna, Fransisco Soarez Pati, dalam rilisnya ke hukumonline, menjelaskan awalnya kliennya bekerja sebagai staf lokal di Kedubes India di Jakarta. Belakangan, Kedubes India melakukan PHK sepihak tanpa dasar dan alasan hukum yang jelas. Erna juga tak mendapatkan uang pesangon. Alih-alih mendapat pesangon, ia malah diusir dari Kedubes.

Tak terima perlakuan itu, Erna melaporkan kasus yang menimpanya ke Komnas HAM. Sayangnya, pihak Kedubes India tidak merespon positif surat panggilan yang dilayangkan Komnas HAM. Alhasil Komnas HAM menyimpulkan Kedubes India di Indonesia dan jajarannya tidak beriktikad baik untuk menyelesaikan masalah.

Erna membawa kasusnya ke Suku Dinas Ketenagakerjaan (Sudinakertrans) Jakarta Selatan. Menurut Fransisco, panggilan ke Kedubes India juga tak mendapat respon.  Akhirnya, Sudinakertrans Jaksel mengeluarkan anjuran tertanggal 17 Februari 2014 yang isinya menganjurkan Kedubes India di Indonesia untuk memberikan kompensasi PHK kepada Erna.

Erna dan kuasa hukumnya mendaftarkan gugatan ke PHI Jakarta pada 25 Maret 2014. Majelis hakim PHI lebih dari sekali melayangkan panggilan sidang ke Kedubes India di Jakarta dengan cara mengirimkan surat. Namun, sepanjang persidangan, tidak ada wakil kedubes atau pengacara yang datang ke PHI. Alhasil 27 Oktober 2014 majelis hakim PHI Jakarta menerbitkan putusan secara verstek (tanpa kehadiran tergugat).

PN Jakarta Pusat telah menyampaikan secara resmi isi putusan itu dengan cara mengirimkan surat kepada Kedubes India di Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Erna dan kuasa hukumnya juga mengajukan permohonan eksekusi ke Ketua PN Jakpus. Permohonan itu ditindaklanjuti dengan terbitnya surat panggilan/teguran oleh PN Jakpus kepada Kedubes India di Indonesia lewat Kemenlu agar yang bersangkutan menghadap Ketua PN Jakpus.

Dihubungi hukumonline, Selasa (01/12), Fransisco menegaskan sampai kini hak kliennya belum dipenuhi. Memang pernah ada upaya mediasi oleh Kemenlu dengan mempertemukan kedua belah pihak. Namun upaya ini juga belum berhasil. “Padahal, kita punya kedaulatan hukum. Kedubes asing juga harus tunduk pada hukum kita,” ujar Fransisco.

Erna juga sudah mengirimkan surat pada 9 November lalu, meminta Kedubes India untuk menghormati dan melaksanakan putusan PHI. Dalam surat itu, disertakan pula perbandingan kasus sejenis yang terjadi di Kedubes Italia di India. “Kami mohon agar Yang Mulia Mr. Gurjit Singh, Duta Besar Republik India untuk Republik Indonesia tidak menahan hak klien kami tersebut,” tuturnya. Surat itu ditembuskan ke beberapa lembaga negara.

Lewat tembusan surat itu Fransisco berharap pihak terkait dapat melakukan tindakan yang dibutuhkan dalam rangka perlindungan terhadap wrga negara RI. Hal itu selaras pasal 18 ayat (1) UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang mengamanatkan pemerintah untuk melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di Indonesia.

Ranah PHI atau PN?
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M. Hadi Subhan, mengatakan putusan PHI itu harus dianggap benar sampai ada putusan lain yang membatalkan. Namun dia mempertanyakan legal standing Kedubes asing dalam persoalan ketenagakerjaan. Menurutnya, Kedubes tidak bisa disamakan dengan perusahaan atau badan sosial. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya mengatur ketenagakerjaan yang ada di perusahaan atau badan sosial.

Subhan menilai persoalan ketenagakerjaan di Kedubes asing yang dialami pekerja lokal mestinya menjadi ranah Pengadilan Negeri, bukan PHI. Bisa saja gugatan yang dilayangkan pekerja lokal ke PN sifatnya gugatan melawan hukum atau wanprestasi. “Tapi karena itu putusan pengadilan (PHI) maka kita harus menghormati, putusan itu harus dianggap benar,” ujarnya.

Persoalan berikutnya terkait eksekusi. Subhan mencatat putusan PHI kerap mengalami kendala dalam eksekusi. Jangankan di Kedubes, pada perusahaan saja eksekusi tidak mudah dilakukan. Itu terjadi karena dibutuhkan biaya dan upaya yang besar dalam melakukan upaya eksekusi dan itu tidak sebanding dengan perkara di PHI yang biasanya besaran nominalnya kecil.

Namun bukan berarti putusan PHI yang menghukum Kedubes India  tidak bisa dieksekusi. Eksekusi bisa dilakukan melalui mekanisme pemerintah dengan pemerintah (G to G), yakni lewat Kemenlu. Perwakilan negara asing harus patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Untuk ketenagakerjaan, ada Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS, dan ada pula non-PNS.

Untuk non PNS, dikatakan Subhan, diatur lewat UU Ketenagakerjaan berlaku untuk staf non-PNS. Kedubes pun tetap harus menghormati UU Ketenagakerjaan. Jika pihak perwakilan negara asing itu keberatan terhadap putusan PHI maka dapat melakukan upaya hukum.

Subhan menjelaskan Pasal 47 UU Ketenagakerjaan mengatur tentang tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia. Setiap pemberi kerja wajib membayar kompensasi mempekerjakan TKA setiap bulan sebesar AS$100. Tapi kompensasi itu tidak berlaku bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
Tags:

Berita Terkait