Tunda Pembahasan Hukum Adat, Dua Opsi Jadi Pilihan
Utama

Tunda Pembahasan Hukum Adat, Dua Opsi Jadi Pilihan

Antara dituangkan dalam Perda atau dibuat kompilasi hukum adat yang berkembang di masyarakat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Panja RKUHP, Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Panja RKUHP, Arsul Sani. Foto: RES
Perdebatan  pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) khusus hukum adat antara pemerintah dengan Panja Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) belum menemui titik temu. Walhasil, pembahasan khusus DIM hukum adat dilakukan penundaan. Meski ditunda, terdapat dua opsi yang dapat dipilih.

Anggota Panja RKUHP Arsul Sani mengatakan, meski dilakukan penundaan, namun seluruh anggota Panja intinya menerima rumusan penerapan hukum adat. Menurutnya, terdapat dua opsi untuk kemudian dirumuskan dalam draf RKUHP oleh tim perumus. Pertama, perkembangan hukum adat di masing-masing daerah untuk dibuatkan kompilasi hukum adat.

Kedua, hukum adat dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) masing-masing daerah. Oleh sebab itu, dengan dituangkan dalam Perda dapat memberikan kepastian hukum. Dengan begitu, hukum adat dapat dijadikan sumber hukum sebagai pidana materil.

“Itu yang kemudian disebutkan dalam RKUHP bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat yang bisa digunakan sebagai sumber hukum pidana materil yaitu yang sudah ditetapkan dalam Perda atau kompilasi, pilihannya itu,” ujarnya di Gedung DPR, Selasa (1/12).

Menurut anggota Komisi III itu, kedua opsi tersebut sejatinya sudah dapat diterima oleh seluruh anggota Panja RKUHP maupun pemerintah. Hanya saja, dilakukan penundaan untuk meminta tim perumus dari pemerintah untuk merumuskan agar hukum yang hidup di masyarakat tidak mengandung atau mengorbankan unsur kepastian hukum.

“Jadi dua opsi itu bisa diterima antara dituangkan dalam Perda atau kompilasi,” ujar politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Pasal 1 ayat (1) dalam draf RKUHP menyatakan, Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan”.

Sedangkan pasal 2 ayat (1) menyatakan, “Ketentuan sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan”.

Redaksional  Pasal 1 ayat (1) cenderung bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1).  Oleh sebab itu, penundaan pembahasan hukum adat dalam rangka memperbaiki redaksional dan maksud hasil pembahasan terakhir antara pemerintah dengan Panja RKUHP. Setelah rampung, nantinya bakal kembali dilanjutkan antara pemerintah dengan Panja.

“Ditunda itu masalah perumusan, karena ketika kita membahas kita tidak bisa langsung merumuskan. Kalau merumuskan kan harus tenang berdasarkan rumusan sehingga yang ditunda itu adalah perumusannya, makanya diserahkan ke Timus namanya,” ujar Arsul.

Anggota Panja RKUHP Dossy Iskandar mengatakan, pembahasan DIM terkait hukum adat antara pemerintah dan Panja berjalan alot. Pasalnya, penerapan hukum adat terbilang luwes. Sayangnya, malah tidak adanya kepastian hukum. Ia menilai akan menjadi aneh ketika pemberlakukan KUHP terbaru dan bersifat nasional, namun hukum adat hanya berlaku di satu tempat.

“Makanya ada usulan hkum ada itu dituangkan dalam masing-masing Perda agar ada kepastian hukum. Soalnya ini kan double sanksi. Terlepas banyak pandangan memang pembahasan DIM ini dilakukan penundaan sementara,” ujarnya.

Lebih lanjut, anggota Komisi III itu berpandangan penerapan hukum adat diharapkan tidak bertentangan dengan asas legalitas. Meski mayoritas di masing-masing daerah masih menggunakan hukum adat, namun akan menjadi persoalan jika tidak adanya kepastian dalam penerapan hukum adat.

“Penerapan hukum adat jangan sampai bertentangan dengan asas legalitas, kalau bertentangan ini bagaimana,” pungkas politisi Hanura itu.

Sekadar diketahui, aturan hukum adat diatur dalam Pasal 774 ayat (1) RKUHP yang  menyatakan, Setiap orang, yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana”.Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf e jo Pasal 101”. 
Tags:

Berita Terkait