KY Kritik Ancaman Pidana Pengkritik Peradilan
RUU Contempt of Court:

KY Kritik Ancaman Pidana Pengkritik Peradilan

Kalau sudah disahkan, UU Contempt of Court potensial digugat di MK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Komisioner KY Taufiqurrohman Syahuri. Foto: RES.
Komisioner KY Taufiqurrohman Syahuri. Foto: RES.
Komisi Yudisial (KY) mengkritik adanya ketentuan yang mengancam 10 tahun penjara bagi siapapun yang mengkritik proses peradilan termasuk publikasi (media massa) yang menyudutkan lembaga peradilan dalam Rancangan Undang-Undang Contempt of Court (RUU CoC). Sebab, munculnya aturan itu dianggap menggunakan logika terbalik. Di era demokrasi dan kebebasan berpendapat saat ini pihak pengadilan seyogyanya mendengarkan suara publik.

Seharusnya untuk kepentingan putusan pengadilan yg berkeadilan, justru Hakim wajib mendengar suara publik apapun bentuk suaranya, meskipun Hakim wajib tidak terpengaruh oleh suara-suara publik,” ujar komisioner KY Taufiqurrohman Syahuri kepada wartawan di Jakarta, Selasa (01/12).

Pasal 49 ayat (1) RUU CoC usulan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menyebutkan setiap orang yang mengganggu penyelenggaraan peradilan di depan persidangan yang berlangsung atau ketika dilakukan pemeriksaan setempat, penyitaan dan eksekusi, bertanggung jawab mutlak atas gangguan tersebut tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Ayat (2)-nya menyebutkan dipersamakan publikasi yang bertendensi mengganggu atau mempengaruhi penyelenggaraan proses perkara yang sedang berlangsung atau masih aktif.

Dalam Penjelasan Pasal 48 ayat (2) disebutkan sistem pertanggungjawaban mutlak (strict liability) juga dapat dijatuhkan terhadap perbuatan mempublikasi perkara yang sedang dalam proses peradilan, sehingga publikasi tersebut bertendensi melahirkan pendapat umum (public opinion) yang dapat mempengaruhi hakim yang secara langung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman.

Pasal 50 RUU juga menyebutkan apabila tindak pidana ini dilakukan atas nama badan usaha sanksi pidana dijatuhkan terhadap badan usaha dan atau orang yang memberi perintahmelakukan tindak pidana tersebut atau pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 24 mengancam pidana 10 tahun penjara bagi setiap orang yang mempublikan proses persidangan atau tahap upaya hukum yang mempengaruhi kemerdekaan hakim.  

Taufiq menilai keliru jika ada ancaman pidana bagi publik yang mengomentari sebuah perkara yang tengah diperiksa di pengadilan. “Jadi bukannya publik yang diancam pidana bila memberikan suaranya terkait perkara, bukankah hakim harus seperti kafilah, sehingga bersikap ‘biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu,’.”

“Jadi, aturan itu pakai logika terbalik jika ‘anjing’ yang menggonggong yang diancam bui, seharusnya kafilah yang diwajibkan tetap teguh tetap yakin sehingga putusannya benar-bener fair. Justru kafilah seharusnya memperhatikan suara publik. Bukankah hakim perlu mendengar pendapat orang lain. Kenapa malah diminta menghindari suara publik?”.

Terpisah, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat enggan mengomentari rencana terbitnya aturan pidana bagi publik yang bisa mempengaruhi proses peradilan. Sebab, aturan itu potensial digugat ke MK.

“Saya tidak bisa berkomentar itu karena nanti undang-undang itu bisa menjadi objek sengketa di MK,” ujar Ketua MK, Arief Hidayat usai membuka short course bagi 13 negara anggota Asosiasi MK se-Asia dan Lembaga Sejenis di gedung MK.

Dia menegaskan apabila seorang hakim konstitusi menanggapi hal-hal potensial menjadi objek sengketa di MK bentuk pelanggaran kode etik. “Jadi hakim konstitusi tidak boleh menanggapi atau mengomentari hal-hal yang melanggar kode etik. Sebab, kalau RUU itu disahkan menjadi UU dan digugat tentunya menjadi perkara di MK, makanya secara etika saya tidak boleh berkomentar,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait