Tiga Pejabat Berbagi Kisah Sukses Kendalikan Gratifikasi
Berita

Tiga Pejabat Berbagi Kisah Sukses Kendalikan Gratifikasi

Masing-masing punya cara dan gaya sendiri dalam mengelola lembaga.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Tiga pejabat berbagi kisah sukses kendalikan gratifikasi. Foto: NNP
Tiga pejabat berbagi kisah sukses kendalikan gratifikasi. Foto: NNP
Sejumlah petinggi lembaga negara mulai dari menteri hingga gubernur memberikan sejumlah tips agar terbebas dari praktik gratifikasi. Mereka adalah  Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, serta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Hal itu mereka sampaikan dalam acara Forum Dialog Nasional Manajemen Pengendalian Gratifikasi: “Berbeda untuk Berubah” yang diselenggarakan oleh KPKdi gedung Sasana Budaya Ganesha ITB, di Bandung, Kamis (10/12).

Dialog tersebut merupakan rangkaian kegiatan dari ajang Festival Antikorupsi 2015. Dalam kesempatan itu, Jonan berbagi kisah sukses selama menahkodai lembaganya di Kementerian Perhubungan. Paling tidak, ada tiga aspek yang menurutnya mesti diperhatikan agar menghindarkan lembaganya itu dari praktik gratifikasi, yakni birokrasi, kompensasi, serta profesionalitas.

Untuk sistem birokrasi, lanjut Jonan, harus diurus dengan baik. Menurutnya, jika sistem birokrasi diurus secara tidak serius hasilnya juga akan tidak baik. Selain itu, buruknya pengelolaan sistem birokrasi bisa dianggap masyarakat  bahwa pemerintah tidak bekerja secara baik dan profesional.

“Karena kalau setengah-setengah nanti hasilnya jadi tidak baik. Rakyat juga marah karena sakit hati, kita yang kerja juga tidak terlalu senang. Harus ada satu measurement yang bagus supaya orang itu kerjanya bagus. Jadi produktifitas dan integritasnya juga bagus,” kata Jonan.

Aspek selanjutnya, kata Jonan adalah konsep pemberian kompensasi kepada pegawai atau Aparatur Sipil Negara (ASN) mesti dilakukan perubahan. Dia melihat konsep pemberian kompensasi kepada ASN dalam memberikan promosi dan mutasi jabatan selama ini dinilai tidak proporsional.

Alasannya, lanjut Jonan, selama ini pemberian kompensasi terhadap ASN seringkali dilatarbelakangi karena faktor pendidikan yang berhasil diselesaikannya ketika menjadi ASN. Ia mengusulkan, seharusnya tidak hanya karena faktor pendidikan tetapi karena prestasi yang dilakukannya selama menjadi ASN.

“Orang itu kalau kerjanya baik harus dipromosikan. Apalagi ASN ini unik sekali, naik pangkat kok karena sekolah? Ini harus diubah, yang dipromosi harusnya yang berprestasi kok malah yang sekolah,” katanya sambil bergurau.

Aspek yang terakhir adalah profesionalitas. Jonan percaya bahwa pemimpin yang bisa memberi contoh kepada jajaran di bawahnya akan lebih berdampak dibandingkan hanya sekedar mendorong melakukan kebaikan. Namun terlepas dari hal itu, dalam berorganisasi di lembaga atau institusi negara, ASN dilarang ada kedekatan yang primordial dan atau SARA.

Kedekatan secara primordial atau SARA itu, kata Jonan, bisa menimbulkan sentimen-sentimen antar ASN. Apalagi, ketika hal itu berkaitan dengan promosi atau mutasi seorang ASN. Untuk itu, dalam lembaga atau institusi yang menjadi ukuran adalah kinerja dan integritas seorang ASN.

“Ukurannya harusnya kinerja dan integritas. Pokoknya syarat memenuhi, dicek tidak ada masalah, suruh ikut assessment tertulis. Lulus atau gak lulus harus diumumkan, terbuka. Jadi tidak ada sentimen, karena ini dekat ini atau dekat itu,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Sudirman Said. Menurutnya, jika seseorang tidak terbebas dari adanya kepentingan dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya, hal itu akan menyulitkan seseorang dalam membuat keputusan. Selain itu, hal yang mudah sekalipun akan sulit dalam menentukan keputusan.

“Bagaimana kita bisa melepaskan diri dari vested interest? Ketika mengambil keputusan tapi diganduli oleh vested interest, yang mudah jadi sulit,” paparnya.

Di tempat yang sama, Ganjar Pranowo mengatakan, banyak cara untuk mendorong jajaran di bawahnya agar berubah ke arah yang lebih positif. Salah satunya dengan memberikan hadiah (reward). Menurutnya, memberi hadiah untuk mendorong jajaran di bawah bukanlah hal yang dilarang.

Terlepas dari hal itu, dalam bekerja Ganjar menggunakan ‘filsafat orang mandi’. Makna filsafat mandi yang bisa diambil adalah ketika menggunakan gayung saat menyiram tubuh dengan air. Menurutnya, ketika menyiram tubuh dari kepala, maka bagian lain di bawahnya akan ikut basah tersiram air.

“PNS itu gampang diatur, tergantung disiramnya dari mana. Mudah-mudahan pemimpin mau siram dari kepalanya sendiri,” katanya.

Best Practice
Praktik terbaik yang telah berhasil dilakukan oleh Menteri ESDM, Menterian Perhubungan, dan Gubernur Jawa Tengah dalam mengurangi gratifikasi patut dicontoh oleh lembaga atau institusi. Misalnya yang dilakukan Ganjar ketika memergoki para pegawai di Jembatan Timbang yang melakukan gratifikasi.

Ketika ditelurusi Ganjar, ternyata akar masalahnya adalah persoalan penghasilan yang kecil. Sehingga, ketika itu ia beserta jajarannya memutuskan untuk memangkas sejumlah mata anggaran dan dialihkan demi kenaikan gaji para jajaran di bawahnya di Jembatan Timbang. “Remunerasi itu mendorong perbaikan kinerja,” kata Ganjar.

Hal itu juga diamini oleh Sudirman. Dia sepakat bahwa perbaikan remunerasi juga menjadi pekerjaan rumah di Kementerian ESDM yang mesti segera diselesaikan. Menurutnya, ketika penghasilan seseorang khususnya di Kementerian ESDM jauh di bawah penghasilan pejabat perusahaan tambang swasta, dikhawatirkan memicu terjadinya praktik gratifikasi. Untuk itu, mesti ada kesamaan penghasilan antara kedua belah pihak.

“Menurut saya harus ada kesamaan. Nanti kalau tidak ada kesamaan akan ‘dibeli’ sama orang,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait