Tiga Implikasi Pembatalan Kontrak Bahasa Asing Terhadap Investasi
Utama

Tiga Implikasi Pembatalan Kontrak Bahasa Asing Terhadap Investasi

Meski tak menjadi pertimbangan utama investor, kepastian hukum adalah bagian terpenting dalam investasi.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Diskusi pembatalan kontrak berbahasa asing di Jakarta, Kamis (10/12). Foto: RES
Diskusi pembatalan kontrak berbahasa asing di Jakarta, Kamis (10/12). Foto: RES

Berhati-hatilah membuat kontrak dengan bahasa asing atau bahasa daerah. Jika perjanjian yang dibuat di Indonesia dan melibatkan warga negara atau badan hukum Indonesia tak menggunakan bahasa Indonesia, perjanjian dimaksud bisa dibatalkan oleh pengadilan. Putusan pengadilan dalam perkara Nine AM Ltd dan PT Bangun Karya Perkasa membuktikan sinyalemen tersebut.

Sesuai Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, isi kontrak wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Jika tak dibuat dalam bahasa Indonesia sewaktu-waktu perjanjian terancam batal jika salah satu pihak mempersoalkannya. Kekhawatiran senada itulah yang mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan hukumonline di Jakarta, Kamis (10/12).

Implikasinya tak hanya terhadap para pihak yang membuat perjanjian, tetapi juga terhadap iklim investasi di Indonesia. Kepala Pusat Bantuan Hukum BKPM Riyatno mengatakan pada dasarnya pembatalan kontrak yang menggunakan bahasa asing sebagai bagian dari kepastian hukum di Indonesia tidak menjadi pokok utama yang menjadi alasan asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Faktor utama yang menjadi pertimbangan asing untuk berinvestasi di Indonesia adalah faktor keuntungan ekonomi, disusul kepastian hukum, dan stabilitas politik. “Meskipun begitu, kepastian hukum tetap menjadi hal yang penting,” kata Riyatno kepaa hukumonline usai menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Pembatalan Kontrak Bahasa Asing: Permasalahan dan Antisipasi” tersebut.

Riyatno mencatat ada tiga implikasi pembatalan kontrak berbahasa asing terhadap investasi Indonesia. Pertama, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakpastian berusaha, dan ketidaknyamanan dalam berusaha. Kedua, dikhawatirkan menurunkan minat investasi asing. Ketiga, ada kemungkinan Pemerintah Indonesia digugat ke arbitrase internasional.

Untuk mengatasi problem yang mungkin muncul, Riyatno menegaskan kontrak yang dilakukan oleh pemerintah dengan asing, misalnya kontrak dalam sektor minyak dan gas (migas), atau renegosiasi kontrak sudah dilakukan dalam dua bahasa (bilingual). Jika dalam kesempatan renegosiasi kontrak pihak asing turut hadir, maka akan disertakan dengan penerjemah.

BKPM tidak memiliki kebijakan tertentu terkait penggunaan Bahasa Indonesia dalam kontrak, tetapi selama ini seluruh kontrak dibuat dalam dua bahasa. Namun yang menjadi persoalan, lanjutnya, adalah jika terjadi dispute antar pihak yang berkontrak, bahasa yang digunakan dalam arbitrase adalah Bahasa Inggris.

“Berdasarkan pengalaman, yang tidak kalah penting adalah penggunaan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris kalau terjadi permasalahan dan diselesaikan di arbitrase. Kalau ada dispute dengan investasi asing, Bahasa Indonesia yang lebih dipentingkan. Kalau ini tidak diatur akan menjadi bom waktu,” jelasnya.

Terkait hal tersebut, praktisi hukum Eri Setiawan menegaskan pada dasarnya penggunaan Bahasa Indonesia dalam proses beracara ditingkat arbitrase diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 27 UU Abitrase menjelaskan bahwa ‘bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan’.

“Berdasarkan pengalaman saya, penggunaan Bahasa Indonesia diatur dalam UU Arbitrase,” jelasnya.

Hakim Agung, T. Gayus Lumbuun, berpandangan perjanjian yang melibatkan negara, instansi pemerintah RI, lembaga swasta atau perorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 UU tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan wajib menggunakan Bahasa Indonesia dan merupakan syarat formil suatu perjanjian atau kontrak. Jika dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Menurut Lumbuun, semestinya perkara pembatalan kontrak dalam bahasa asing ini harus merujuk pada UU yang mengatur atau membutuhkan suatu ketentuan yang lex specialis terhadap bahasa. “Saya belum menemukan ini di beberaa lembaga seperti UU Jabatan Notaris seperti harus menggunakan Bahasa Indonesia sehingga menjadikan putusan ini sebagai putusan yang batal demi hukum,” kata Gayus.

Lumbuun menegaskan hakim mempunyai kewenangan untuk memberikan pertimbangan atau penafsiran terhadap sebuah keadaan. Ketika hakim akan memutus, lanjutnya, hakim atau majelis akan menggunakan penafsiran ahli, penafsiran pembuatan UU atau diwakili ahli pembuat UU.  “Tapi ingat, kalau batal karena hukum, bisa digugat lagi. Ini bisa menjadi awal gugatan berbeda terhadap masalah ini. Ini bisa diadili lagi oleh hakim yang lebih spesifik,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait