KY Jilid III: Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai
Kolom

KY Jilid III: Pekerjaan Rumah yang Belum Selesai

Di masa mendatang, pemisahan tugas dan fungsi yang lebih jelas antara KY dan MA merupakan pekerjaan legislasi yang harus dilaksanakan. Namun dalam jangka pendek, mau tidak mau perlu diupayakan kemitraan yang produktif antara dua lembaga.

Bacaan 2 Menit
Dian Rositawati. Foto: Istimewa
Dian Rositawati. Foto: Istimewa
Pada tanggal 17 Desember 2015 Presiden Joko Widodo telah melantik lima anggota Komisi Yudisial (KY) dengan komposisi sementara terdiri dari dua orang mantan hakim, satu orang wakil masyarakat, satu orang akademisi dan satu orang praktisi. Terlepas dari belum lengkapnya komisioner yang seharusnya berjumlah tujuh orang, dan terlepas dari kontroversi calon-calon yang  sebelumnya ditolak oleh DPR tanpa alasan yang jelas, tulisan ini hendak mengajak pembaca berefleksi tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang menjadi pekerjaan rumah KY ke depan dalam menghadapi tantangan untuk mewujudkan peradilan bersih.

Saat ini, para anggota KY jilid III ini dihadapkan pada tantangan: masih rendahnya tingkat kepercayaan publik pada pengadilan dan buruknya relasi antara KY dan pengadilan yang terjadi sejak KY jilid I. Pengajuan uji materiil atas UU KY terjadi beberapa kali dan selalu dilatarbelakangi oleh konflik yang terjadi antara MA dan KY. Terakhir di bulan Oktober 2015 salah satu kewenangan KY untuk melakukan rekrutmen hakim telah diamputasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

Pentingnya Keberadaan KY
KY di Indonesia pertama kali berdiri tahun 2004 atas amanat Amandemen ke III UUD 1945 Pasal 24B ayat 1 yang berbunyi “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Pasal ini kemudian diatur lebih lanjut melalui UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan kini telah disempurnakan melalui UU Nomor 18 Tahun 2011.

KY dibentuk dengan tujuan membangun sistem check and balances terhadap pilar yudikatif seiring dengan menguatnya independensi kelembagaan pengadilan melalui pelimpahan kewenangan mengelola administrasi dan keuangan pengadilan dari Pemerintah kepada MA yang dikenal dengan “sistem satu atap”. Keberadaan KY merupakan konkretisasi dari prinsip akuntabilitas pengadilan, yang merupakan pengimbang dari prinsip independensi peradilan. Prinsip akuntabilitas pengadilan di Indonesia diwujudkan dalam fungsi KY untuk melakukan pengawasan perilaku hakim dan seleksi hakim agung, dalam kerangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Di berbagai negara, lembaga sejenis KY dibangun dengan posisi dan fungsi yang berbeda. Di Belanda misalnya Raad voor de Rechtspraak (RvdR atau Council for the Judiciary), yang pertama kali berdiri tahun 2002, merupakan lembaga independen yang berfungsi mengelola keuangan dan pembinaan sumber daya manusia untuk pengadilan tingkat pertama dan banding. Keanggotaan RvdR terdiri dari 2 orang mantan hakim dan dua orang birokrat berlatar belakang keuangan dan pendidikan, sesuai dengan bidang tugasnya.

Sementara di New South Wales (NSW), salah satu negara bagian Australia, KY merupakan bagian dari peradilan dengan Ketua KY adalah ex-officio Ketua MA. Di NSW, KY merupakan suatu lembaga yang efisien dengan tugas mengelola administrasi peradilan, menangani pelanggaran hakim, dan turut menjaga konsistensi putusan.  

KY yang cukup mirip dengan Indonesia ada di berbagai negara Amerika Latin seperti Peru, Bolivia dan Venezuela, dengan komposisi keanggotaan yang beragam dan tugas mengawasi perilaku Hakim.

Berbagai KY tersebut memiliki posisi dan fungsi yang berbeda sesuai dengan konteks dan kebutuhan masing-masing negara. Namun berbagai Komisi tersebut memiliki kesamaan latar belakang, yaitu kebutuhan untuk menciptakan mekanisme check and balances yang pada akhirnya bertujuan memperkuat akuntabilitas peradilan.

Esensi KY bagi terbangunnya peradilan yang kuat dan bersih dengan demikian merupakan syarat yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Pernyataan beberapa hakim dan pimpinan MA bahwa KY tidak perlu ada, atau KY merupakan ‘kecelakaan konstitusi’, merupakan pernyataan keliru tanpa pikir panjang, yang bisa jadi merupakan reaksi akibat naik turunnya relasi KY dan MA. Namun apakah KY sendiri dalam perjalanannya telah memenuhi harapan ketika awal pembentukannya? Pertanyaan inilah yang kemudian perlu dijawab sehingga KY baru memiliki arah yang jelas kemana hendak menuju.

Refleksi Performa KY
Di mata publik, sentimen masyarakat terhadap KY dapat dikatakan cukup positif, apalagi ketika dihadap-hadapkan dengan lembaga peradilan. Meskipun demikian di mata pemangku kepentingan utama yaitu hakim dan pengadilan, justru citra KY sebagai mitra strategis masih belum terlihat. Namun demikian seharusnya citra kedua lembaga ini tidak dihadap-hadapkan dan perlu dilihat dalam sebuah wadah yang tidak terpisah. Jika integritas hakim masih dipertanyakan, maka pertanyaan ini seharusnya bukan hanya diajukan kepada MA tetapi juga diajukan kepada KY. Demikian juga jika kualitas profesional Hakim Agung masih belum memenuhi harapan, maka tanggung jawab yang sama juga harus diemban oleh MA maupun KY.

Berdasarkan Laporan Kiprah 9 Tahun KY yang dirilis pada tahun 2014, sejak tahun 2005 hingga tahun 2014, KY menyampaikan 272 usulan penjatuhan sanksi atau kira-kira 30 usulan sanksi per tahun. Ini adalah jumlah yang relatif sedikit bila dibandingkan dengan jumlah pemeriksaan yang ditindaklanjuti KY yaitu 1918 laporan dan pemeriksaan yang dilakukan atas 2531 orang. Masih rendahnya produktivitas KY dalam pengajuan rekomendasi, selain disebabkan oleh kekosongan fungsi pengawasan paska putusan uji materil tahun 2006, juga disebabkan oleh  permasalahan birokrasi pemeriksaan yang panjang.

Panjangnya proses ini juga berdampak pada isu kerahasiaan. Meski kehati-hatian pantas diterapkan, namun pada prinsipnya penanganan pengaduan hakim harus dilakukan secara cepat dan rahasia. Mengapa kerahasiaan dan kecepatan waktu dalam pemeriksaan hakim menjadi faktor penting? Semakin lama pemeriksaan dilakukan semakin sulit pula upaya menjaga kerahasiaan. Pengadilan pada prinsipnya bekerja berbasis pada kepercayaan publik. Apabila suatu pengaduan pelanggaran hakim yang belum terbukti diketahui publik, maka kepercayaan pencari keadilan dan masyarakat terhadap perkara yang sedang ditangani hakim tersebut akan menurun drastis.

Dalam kenyataannya pada periode-periode sebelumnya, pemberitaan media kerap diwarnai pro-kontra tentang dugaan pelanggaran hakim di tahap pemeriksaan. Jika ini terus terjadi, selain berdampak pada menurunnya kepercayaan publik pada pengadilan, juga akan berdampak kontra produktif terhadap proses pemeriksaan yang tengah berlangsung. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus, ini sama artinya KY turut serta menggerus kepercayaan publik pada pengadilan. Hal ini pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap tujuan pembentukan KY yaitu menjaga dan menegakkan martabat hakim dan pengadilan.

Pembelajaran dan Pekerjaan Rumah
Salah seorang anggota KY NSW dalam sebuah wawancara menjelaskan bahwa tugas KY memang sarat diplomasi: di satu sisi ia mengawasi dan menindak, namun pada saat yang sama ia harus tetap menjaga kewibawaan pengadilan. Di kesempatan lain, anggota RvdR Belanda menegaskan sensitifnya peran RvdR dalam berhubungan dengan pengadilan. RvdR adalah mitra yang sangat kritis kepada hakim dan pengadilan, serta tidak segan-segan berdebat dan berbeda pendapat dalam penentuan berbagai kebijakan bersama pengadilan. Tetapi saat berhadapan dengan publik atau lembaga negara lain, RvdR justru berupaya untuk menjadi jembatan bagi pengadilan. Ini memerlukan kemampuan diplomasi tinggi, yang disertai pemahaman komprehensif mengenai peradilan sehingga mampu memediasi kepentingan peradilan dan kepentingan publik.

Berbicara tentang pemahaman komprehensif terhadap isu peradilan, maka sudah sewajarnya para anggota KY memiliki pemahaman teknis yang mendalam tentang kompleksitas MA dan peradilan. Pada berbagai lembaga pengawas, seperti BPK misalnya, pemahaman atas obJek pemeriksaan merupakan kompetensi utama yang harus dimiliki oleh seorang pengawas. Pemahaman teknis yang dimaksud di sini adalah termasuk pengetahuan terhadap prinsip-prinsip peradilan secara universal, pengetahuan terhadap fungsi MA dan peradilan, pengetahuan tentang cara kerja birokrasi dan tata kerja organisasi peradilan di tingkat pertama hingga MA.

Pemahaman atas prinsip-prinsip peradilan dan bagaimana prinsip tersebut dioperasikan di tataran teknis merupakan hal penting untuk dipahami agar terhindar benturan-benturan yang kontra produktif terhadap pelaksanaan tugas KY. Selain itu diharapkan dengan pemahaman ini KY secara lebih baik dapat memetakan akar masalah, menemukan modus pelanggaran, dan merekomendasikan strategi dan solusi yang tepat. Beberapa kasus yang pernah dan masih terus terjadi misalnya adalah pemeriksaan yang hanya didasarkan pada permasalahan teknis yudisial atas benar salahnya putusan dan bukan pada persoalan pelanggaran perilaku yang terjadi. Terjadinya permasalahan ini menunjukkan lemahnya pemahaman pengawas atas prinsip independensi peradilan dan operasionalisasinya di tingkat teknis.

Untuk itu di tahap awal, ada baiknya agar para Komisioner KY duduk bersama para pemangku kepentingan di bidang peradilan untuk memetakan berbagai isu dan menggali pengetahuan yang diperlukan untuk kelancaran tugas lima tahun mendatang. Dialog secara intensif dengan MA juga akan berkontribusi untuk membangun kembali kemitraan dan menjembatani relasi yang pernah memburuk. Dalam konteks posisi dan fungsi KY berdasar Konstitusi dan perundangan yang ada saat ini, maka membangun hubungan kemitraan dengan KY merupakan hal yang esensial bagi keberhasilan KY.

Mengapa demikian? UU Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa dalam melaksanakan fungsinya banyak terdapat kata dilaksanakan “bersama” antara KY dan MA, misalnya dalam menyusun kode etik dan pedoman perilaku (Pasal 13), dalam melakukan pemeriksaan (Pasal 22E), dan dalam penyusunan berbagai aturan bersama (Pasal 13, Pasal 19A, Pasal 22E, dan Pasal 40A). Selain itu keputusan akhir dari apa yang dilakukan KY dalam banyak aspek berada di tangan MA, misalnya rekomendasi KY atas pelanggaran perilaku yang penjatuhan sanksinya ada di tangan MA. Artinya, apabila KY perlu merumuskan strategi untuk memastikan agar posisinya sebagai lembaga ‘mediari’ dapat berkontribusi terhadap reformasi peradilan.

Di masa mendatang, pemisahan tugas dan fungsi yang lebih jelas antara KY dan MA merupakan pekerjaan legislasi yang harus dilaksanakan. Namun dalam jangka pendek, mau tidak mau perlu diupayakan kemitraan yang produktif antara dua lembaga, misalnya melalui pemeriksaan bersama (KY dan MA), dialog berkala tentang berbagai isu, dan seterusnya. Proses pemeriksaan bersama ini meskipun telah disusun dalam Peraturan Bersama Nomor 03/2012, namun belum pernah dilakukan oleh dua lembaga ini. Padahal pemeriksaan bersama memiliki banyak aspek positif untuk membangun kepercayaan dan kemitraan, meningkatkan efisiensi dan menghindarkan hakim dari pemeriksaan berulang.

Hal terakhir yang perlu menjadi perhatian KY Jilid III adalah penguatan kelembagaan KY sendiri. Kapasitas organisasi yang kuat merupakan prasyarat utama untuk memastikan semua tugas dan fungsi KY dapat terlaksana secara baik dan mencapai tujuannya. Setidaknya terdapat tiga aspek utama dalam strategi penguatan organisasi KY: pertama soal struktur organisasi; kedua soal tata kerja lembaga; dan ketiga soal kapasitas sumber daya manusia.

Peningkatan kapasitas staf KY terutama pada manajemen level menengah (middle management) sangat penting agar organisasi tidak bertumpu hanya pada para Komisioner. Misalnya dalam konteks pelaksanaan pengawasan, seharusnya Komisioner tidak selalu harus turun langsung melakukan pemeriksaan, karena ketrampilan melakukan investigasi seharusnya merupakan kompetensi utama dari pengawas. Pendelegasian tugas secara proporsional akan mendorong efisiensi dan percepatan proses. Namun pendelegasian harus diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kompetensi, melalui proses rekrutmen yang selektif, pembinaan secara terus-menerus, dan evaluasi bagi mereka yang tidak memenuhi syarat kinerja yang diharapkan. Upaya meningkatkan efisiensi juga harus dilakukan melalui percepatan tata kerja dengan memperhatikan struktur organisasi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan kerja KY.

Lima tahun bukanlah masa kerja yang panjang, oleh karenanya perlu disusun target dan sasaran konkret yang ingin diselesaikan oleh KY episode 2015 – 2020. Target dan sasaran konkret inilah yang nantinya akan memandu strategi dan penentuan prioritas para Komisioner dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dengan demikian pada akhir masa jabatan publik dan warga peradilan dapat melihat capaian nyata dari kepemimpinan KY jilid III. Perubahan adalah proses yang panjang, tetapi dengan strategi yang tepat dan persistensi, perubahan adalah suatu hal yang realistis.

* Peneliti Senior pada Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Mahasiswa Program PhD pada Universitas Tilburg
Tags:

Berita Terkait