8 Putusan MK Menarik Sepanjang 2015
Refleksi 2015

8 Putusan MK Menarik Sepanjang 2015

Dari dibatalkannya UU SDA, polemik sumpah advokat, hingga rumusan delik aduan dalam KUHP.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Dari empat kewenangan yang dimilikinya, praktis sepanjang tahun 2015 ini, kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945 sangat dominan mewarnai kiprah Mahkamah Konstitusi (MK). Merujuk pada data perkara pada laman resmi MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id, terdapat perkara pengujian undang-undang yang teregister per 13 November 2015. Sebagian dari permohonan-permohonan itu telah rampung diputus MK. Berikut ini delapan putusan menarik yang dihasilkan MK s   Pertengahan Februari 2015, upaya jihad konstitusi Muhammadiyah dan kawan-kawan membuahkan hasil. Sebab, MK seluruh isi    mengusahakan air. Apalagi, pelaku usaha yang tetap mengusahakan air bisa terancam pidana.Pemerintah pun berinisiatif menyusun RUU SDA.      Nampaknya, isu regulasi dalam pengelolaan air pada 2016 akan tetap menjadi sorotan publik, khususnya bagi pembuat UU dan berbagai pemangku kepentingan.     Pada 28 April 2015, mungkin menjadi tanggal bersejarah bagi kalangan dunia praktisi hukum. Sebab, perdebatan objek praperadilan diakhiri lewat MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait tafsir bukti permulaan yang cukup dan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Sebab, objek praperadilan yang diatur Pasal 77 huruf a KUHAP yang dibatasi pada sah-tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penunutan lebih diperluas termasuk penetapan tersangka, penggeledehan, dan penyitaan.   (pendapat berbeda) dan     Menariknya, saat bersamaan putusan ini sekaligus mengakhiri polemik pascaputusan praperadilan PN Jakarta Selatan yang membatalkan status tersangka Komjen (Pol) Budi Gunawan (BG) oleh KPK. Tak jarang, putusan MK ini kerap dijadikan “senjata” untuk membatalkan proses penetapan tersangka melalui proses gugatan praperadilan.           Meski ditolak, permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1)  isu sensitif yang ditunggu-tunggu publik. Mahkamah menganggap perkawinan tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga aspek spiritual dan sosial. Agama juga telah menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan Undang-Undang menetapkan keabsahan administratif oleh negara.  

Dalam sidang yang memakan waktu berbulan-bulan ini, Mahkamah berinisiatif mengundang sejumlah organisasi keagamaan memberikan pandangan. Ada pula pihak terkait yang mengajukan intervensi, sehingga menimbulkan perdebatan panjang. Namun, dengan putusan MKbernomor 68/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 18 Juni 2015 ini, keinginan beberapa mahasiswa dan alumnus FHUI agar kawin beda agama dilegalkan pupus.   

4. Putusan Sumpah Advokat
Pasca terbitnya Surat KMA No.73/KMA/HK.01/IX/2015 tertanggal 25 September 2015, empat hari kemudian, MK mengukuhkan konstitusionalitas Pasal 4 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait kewenangan Pengadilan Tinggi (PT). Lewat putusan No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/PUU-XIII, MK menegaskan sumpah advokat di PT tanpa melihat asal organisasi advokat baik dari PERADI atau KAI. Putusan ini dinilai sejalan dengan SK KMA No. 73 itu. 

Putusan ini setidaknya memperkuat berlakunya SK KMA No. 73 ketika PT mengangkat sumpah advokat dari organisasi manapun. Sebab, beberapa tahun terakhir organisasi advokat sudah terpecah-pecah. Bahkan, PERADI yang selama ini dikenal sebagai wadah tunggal organisasi advokat sudah terpecah menjadi tiga kubu.

Pasca terbitnya putusan ini, beberapa PT sudah melaksanakan sumpah advokat tanpa melihat asal organisasi advokat. Misalnya, pada Oktober lalu, PT Surabaya telah mengangkat dan mengambil sumpah sekitar 303 advokat yang berasal dari Kongres Advokat Indonesia (KAI). Sebulan kemudian, PT DKI Jakarta juga telah mengambil sumpah ratusan advokat yang berasal dari PERADI dan KAI.

5. Putusan Calon Tunggal Pilkada  
Tak kalah menarik, pada 2 September 2015, MK memberi jalan keluar atas polemik pasangan calon tunggal dalam pemilihan gubernur, bupati, dan walikota (Pilkada) serentak 2015. Lewat putusan bernomor 100/PUU-XIII/2015 dalam pengujian UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada, MK memberi solusi bahwa pasangan calon tunggal tetap bisa mengikuti pilkada.

Lewat Peraturan MK No. 4 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Perselisihan Calon Tunggal dalam Pilkada, diatur tiga hal penting yaknisiapa yang memiliki legal standing mengajukan gugatan, keputusan KPUD terkait perbedaan selisih hasil penghitungan suara setuju dan tidak setuju, dan tenggang waktu pengajuan gugatan 3 x 24 jam. Alhasil, tiga daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon yakni Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, Timor Tengah Utara yang sebelumnya terancam ditunda tetap bisa menggelar Pilkada 9 Desember lalu.     

6. Putusan Pembatalan Kewenangan KY Rekrut Hakim
Sebulan berikutnya pada 8 Oktober 2015, MK membatalkan kewenangan KY dalam seleksi hakim tingkat pertama di tiga lingkungan peradilan melalui pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan. Dengan begitu, kewenangan seleksi calon hakim tetap menjadi wewenang tunggal Mahkamah Agung (MA). Putusan ini sempat menuai protes dari Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai pihak terkait dengan mengadukan empat hakim konstitusi ke Dewan Etik.  

Saat persidangan pun, pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan ini cukup banyak mendengar pandangan para ahli, terutama dari pihak pemohon dan pihak terkait dari KY. MA pun turut memberi keterangan sebagai pihak terkait. Makanya, proses pengujian tiga paket UU Bidang Peradilan yang diajukan IKAHI ini sempat mengundang konflik hubungan kelembagaan antara MA dan KY.

Apalagi, kedua lembaga sebelumnya sudah cukup lama merencanakan persiapan pelaksanaan seleksi calon hakim tingkat pertama secara bersama-sama hingga merumuskan draft Peraturan Bersama terkait seleksi calon hakim. Namun, lewat putusan MK bernomor 43/PUU-XIII/2015, seolah memupuskan angan-angan KY untuk terlibat lebih jauh dalam proses seleksi calon hakim di tiga lingkungan peradilan.            

7. Putusan PKWTT Lewat Penetapan Pengadilan
Tak berselang lama, pada 4 November 2015, MK memberi jalan hukum atas kebuntuan pelaksanaan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aturan itu terkait terpenuhinya syarat-syarat perubahan status perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) alias pekerja kontrak (outsourcing) menjadi pekerja tetap secara otomatis.

Prosesnya, pengesahan peralihan status dari PKWT ke PKWTT harus melalui penetapan pengadilan negeri. Sebelum ke pengadilan kedua pihak (pekerja dan pengusaha) telah menempuh upaya perundingan bipartit, tetapi tidak mencapai kesepakatan dan adanya nota hasil pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan pada Dinas Ketenagakerjaan. Sebab, selama ini penetapan tertulis pegawai pengawas ketenagakerjaan terkait peralihan pekerja PKWT ke PKWTT tidak pernah dijalankan secara sukarela oleh pengusaha. Penetapan ini pun tidak bisa dimintakan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) atau PTUN.

Lewat putusan bernomor 7/PUU-XII/2014 yang dimohonkan sejumlah aktivis buruh ini setidaknya bisa menjadi “modal” bagi pekerja kontrak/outsourcing yang memenuhi syarat untuk bisa diangkat sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan pengguna atau perusahaan pemberi jasa pekerjaan. Meski putusan ini terkesan melindungi buruh/pekerja kontrak, namun hingga kini belum ada aturan teknis dari instansi terkait prosedur pengajuan penetapan peralihan PKWT menjadi PKWTT ini ke pengadilan negeri.             

8. Putusan Penghinaan Pejabat Delik Aduan 
Jelang akhir tahun, lewat putusan MK bernomor 31/PUU-XIII/2015 tertanggal 10 Desember 2015, MK menyatakan Pasal 319 KUHP yang mengatur penghinaan pejabat harus dimaknai sebagai delik aduan. Artinya, penuntutan atas delik penghinaan pejabat atau pegawai negeri hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari pejabat atau pegawai negeri yang bersangkutan. 

Putusan ini dianggap konsisten dengan putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa.Setidaknya, putusan ini dapat menjadi dasar membebaskan dua aktivis Agus Slamet dan Komar Raenudin yang didakwa Pasal 319 KUHP lantaran  menghina Walikota Tegal lewat facebook atas pengaduan masyarakat atau berlaku bagi warga negara lain yang mengalami kasus serupa.  

140 permohonanepanjang 2015 yang berhasil dirangkum hukumonline:

1. Putusan Pembatalan UU SDA
membatalkanUU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dimohonkan. Alasannya, beleid itu belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan UUD 1945. Karena itu, MK kembali memberlakukan UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

Sebagai tindak lanjut putusan, Pemerintah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sumber Daya Air dan RPP tentang Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Namun, APINDO keberatan dengan isi kedua RPP karena potensial menutup peluang swasta

Beberapa bulan pasca terbitnya putusan MK, kalangan pengusaha melalui wadah APINDO khawatir terkait pelaksanaan putusan MK ini di lapangan. Sebab,UU Pengairan tak mengatur tegas model kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengusahaan air.

2. Putusan Perluasan Objek Praperadilan
putusan

Menariknya, putusan ini tidak diambil secara bulat karena diwarnai dissenting opinionoccurring opinion (alasan berbeda). Dari 9 hakim konstitusi, 3 hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion yakni I Gede Dewa Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Sementara 1 hakim kontitusi yang mengajukan concurring opinion yaitu Patrialis Akbar.

Putusan ini diklaim kuasa hukum terpidana korupsi kasus proyek biomediasiPT Chevron Bachtiar Abdul Fatah, Maqdir Ismail sebagai tonggak memperbaiki kondisi carut-marutnya prosedur penetapan tersangka yang sewenang-wenang oleh penyidik.

3. Putusan Kawin Beda Agama
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terkait konstitusionalitas nikah bedah agama tetap menjadi putusan menarik pada 2015 karena
Tags:

Berita Terkait