Baper Lawyer, Pengacara Ber-Stand Up Lewat Buku
Resensi

Baper Lawyer, Pengacara Ber-Stand Up Lewat Buku

Dari total sembilan bab, di luar kata pengantar yang diplesetkan menjadi ‘peringatan’ dan perkenalan serta profil penulis dan deskripsi tentang apa itu stand up comedy, terdapat dua bab yang eksplisit menggunakan istilah “pengacara”.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Biasa tampil di panggung, stand up comedian atau biasa disebut komika, Arry Wibowo mencoba wahana lain untuk melawak. Arry menulis buku dengan judul Baper Lawyer: Berani Curcol Gak Berani Lapor.

Buku Baper Lawyer dengan tebal 130 halaman ditulis Arry yang kebetulan berprofesi sebagai lawyer, dengan misi untuk menunjukkan bahwa hukum itu tidak melulu identik dengan sesuatu yang kaku dan serius. Hukum itu (ternyata) juga bisa dikemas dengan santai dan jenaka, lho.

Upaya Arry bersama tim editor dan penerbit mewujudkan misi tersebut sudah nyata terlihat sejak sampul halaman muka. Pemilihan gambar karikatur penulis yang tengah berstand up di panggung adalah simbol jelas bahwa buku Baper Lawyer bukan buku serius. Ketidakseriusan itu semakin jelas ketika kita menegok ke dalam isi buku.

Di bagian dalam, tidak hanya semakin banyak dan beragam gambar yang muncul, pemilihan jenis huruf ‘santai’ yang lazim dipakai buku komik, hingga yang utama tentunya materi redaksional yang disajikan Arry seolah-olah ingin mengajak pembaca, yang belum tentu orang hukum, untuk menyelami dunia hukum dengan ‘kacamata bercanda’.

Senafas dengan latar belakang profesi penulis, mayoritas materi buku ini memang bercerita tentang kehidupan pengacara. Dari total sembilan bab, di luar kata pengantar yang diplesetkan menjadi ‘peringatan’ dan perkenalan serta profil penulis dan deskripsi tentang apa itu stand up comedy, terdapat dua bab yang eksplisit menggunakan istilah “pengacara”.

Pertama, bab “Pengacara Aneka Gaya” yang berisi lima sub bab. Kedua, bab “Pengacara Ngondek” yang berisi empat sub bab. Di luar dua bab ini, Arry tetap berupaya menyelipkan kisah pengacara. Misalnya, sub bab “Tahanan Kota” yang berkisah tentang pengalaman seorang pengacara ketika mengurus kliennya yang akan menjadi tahanan.

Berikutnya, sub bab “Tak Batak, Maka Tak Terkenal” dan “Tanya Pengacara Saya” pada bab “Salah Sambung” yang berkisah tentang stereotip pengacara yang kebanyakan dari suku batak dan begitu dominannya peran pengacara yang mendampingi klien dari kalangan selebritis atau pejabat.  

Menggeluti dunia pengacara litigasi dan korporasi selama puluhan tahun, Arry cukup fasih dalam menuturkan berbagai aspek kehidupan seorang pengacara. Bahkan, sebagian kisah dalam buku diakui Arry dengan tanda pagar #TrueStory berasal dari pengalaman nyata yang dilaluinya. Mulai dari persoalan tarif, suka duka mendampingi klien, hingga bagaimana serunya berhadapan dengan ragam karakter aparat penegak hukum.

Sesuai dengan judulnya Baper Lawyer – Baper adalah akronim dari ‘bawa perasaan’, istilah yang populer di kalangan anak muda zaman sekarang -, buku ini sejatinya memang tempat curahan hati Arry sebagai seorang pengacara yang resah melihat kondisi hukum Indonesia yang carut marut.

Apa yang dituturkan Arry dalam buku ini, sebagian atau seluruhnya, mungkin terdengar tidak asing bagi anda. Misalnya soal praktik suap menyuap dalam proses tilang yang sepertinya menjadi rahasia umum di masyarakat. Atau soal perilaku sebagian advokat yang senang mempertontonkan kemewahan. Ditambah lagi dengan tindak tanduk para pengacara artis yang kerap tampil di acara infotainment.

Terlepas dari isinya, keputusan Arry berani menulis buku mungkin bisa disebut sebagai ‘uji nyali’, karena sebagai komika, Arry tentunya lebih terbiasa melawak secara lisan, bukan tulisan. Keduanya jelas memiliki tantangan yang berbeda.

Sebagian kalangan mungkin berpendapat tampil di panggung berhadapan langsung dengan penonton lebih mudah ketimbang melawak melalui buku yang sulit diraba siapa pembacanya, dari latar belakang apa, laki-laki atau perempuan dan sebagainya.  

Jika tampil di panggung, seorang komika bisa secara langsung membaca situasi. Penonton ketawa berarti lawakan komika berhasil, dan jika sebaliknya alias tidak berhasil, komika bisa langsung atur strategi bagaimana caranya supaya penonton tertawa. Berbeda jika melalui buku, komika tidak mendapat respon langsung dari pembaca.

Sebagian kalangan lain mungkin berpendapat sebaliknya. Melawak melalui buku lebih mudah, karena komika setidaknya memiliki waktu yang panjang, bisa hitungan bulan atau tahun, untuk merumuskan materi lawakan yang terbaik agar pembaca tertawa. Berbeda, jika tampil di panggung, komika sangat mengandalkan spontanitas.

Sebagai catatan, Arry Wibowo bukan komika pertama yang menulis buku. Sebelumnya, Raditya Dika, Ernest Prakasa, dan Soleh Solihun juga menulis buku. Sejauh ini, jika merujuk pada website penilaian buku yang cukup terkenal www.goodreads.com, ketiga komika yang disebut tadi mendapat penilaian cukup bagus. Rata-rata mendapat nilai lebih dari 3, dengan skala penilaian tertinggi 5.

Pertanyaannya, apakah buku Baper Lawyer karya Arry Wibowo akan mengikuti jejak Raditya Dika dkk? Kita tunggu saja. Sambil menunggu, silakan anda ke toko buku terdekat untuk mendapatkan buku perdana lawyer comic yang sudah bergelar haji ini.

Tags:

Berita Terkait