Bahasa Indonesia di Ranah Hukum
Catatan Awal Tahun 2016:

Bahasa Indonesia di Ranah Hukum

Para penyusun kebijakan ingin menempatkan bahasa Indonesia sebagai tuan di negeri sendiri. Muncul masalah hukum di lapangan.

Oleh:
MUHAMMAD YASIN
Bacaan 2 Menit
Salah satu diskusi pembatalan kontrak berbahasa asing. Foto: Project-HOL
Salah satu diskusi pembatalan kontrak berbahasa asing. Foto: Project-HOL
Tepat 15 Januari 2016, genap sudah dua tahun usia Undang-Undang No. 2 Tahun 2014  tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Undang-Undang Jabatan Notaris ini termasuk salah satu peraturan perundang-undangan yang menyinggung bahasa Indonesia dalam ranah hukum.

Pasal 43 ayat (1) Wet itu menegaskan ‘akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia’. Jika orang yang menghadap notaris itu tak paham bahasa Indonesia, notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta dalam bahasa yang dimengerti penghadap. Kalau notaris tak bisa menerjemahkan atau menjelaskan dalam bahasa penghadap, akta diterjemahkan oleh penerjemah resmi. Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU Jabatan Notaris menyebut bahasa Indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia yang baku.

Selain UUJN, ada banyak peraturan perundang-undangan yang menempatkan bahasa Indonesia dalam kedudukan tinggi. Dalam lalu lintas perdagangan, misalnya, berlaku Peraturan Menteri Perdagangan No. 73/M-DAG/PER/9/2015 tentang Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa Indonesia pada Barang. Beleid ini memang memuat sejumlah pengecualian, tetapi secara umum ada kewajiban untuk mencantumkan bahasa Indonesia guna melindungi kepentingan konsumen di dalam negeri.

Di lingkungan badan usaha plat merah, ada Surat Edaran Menteri BUMN No. SE-12/MBU/2009 Tahun 2009 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Setiap Nota Kesepahaman atau Perjanjian yang Melibatkan BUMN. Ada pula PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak elektronik. Pasal 48 ayat (1) PP ini menyebutkan ‘kontrak elektronik dan bentuk kontrak lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia’.

Bahasa Indonesia semakin mendapat perhatian di dunia hukum setelah Pemerintah dan DPR menyetujui bersama UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan (UU Bahasa).

Kalangan praktisi dan akademisi bahasa Indonesia juga memberi dukungan besar. Kongres Bahasa Indonesia ke-10 di Jakarta, Oktober 2013, menghasilkan 32 rekomendasi, yang antara lain merekomendasikan ‘sanksi tegas bagi pihak yang melanggar Pasal 36 dan Pasal 38 UU No. 24 Tahun 2009’ meskipun konteksnya adalah untuk nama dan media informasi pelayanan umum. 

UU Bahasa kemudian ditindaklanjuti dengan PP No. 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia. Pihak yang diberi tugas mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa Indonesia adalah pemerintah, baik di pusat maupun di daerah.

Sekilas norma hukum kewajiban berbahasa Indonesia dalam beberapa peraturan perundang-undangan tersebut tak menimbulkan masalah serius. Tetapi jika ditelisik ke dunia praktek, kewajiban itu membawa implikasi yuridis. Masalah itulah yang terjadi dalam perkara gugatan PT Bangun Karya Pratama terhadap Nine AM Ltd. Kedua belah pihak adu arumentasi di setiap tahapan pengadilan hingga perkaranya masuk ke Mahkamah Agung. Informasi yang diperoleh hukumonline, permohonan kasasi Nine AM ditolak majelis hakim.

Kata ‘wajib’
Salah satu pangkal persoalan hukum yang mencuat adalah pada kata ‘wajib’ dalam rumusan UU Bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi 1990), lema ‘wajib’ mengandung arti ‘harus dilakukan’, ‘tidak boleh tidak dilaksanakan’, ‘tidak boleh ditinggalkan’. Bisa juga mengandung arti ‘sudah semestinya’, atau ‘harus’

Bagi sebagian praktisi hukum, penggunaan kata ‘wajib’ dalam norma hukum mengandung konsekuensi sanksi. Sanksi memperlihatkan sisi  hukum yang memaksa (dwingend recht). Kalau kewajiban tidak dijalankan, maka ada sanksinya. Tetapi dalam kamus, makna ‘wajib’ tak dihubungkan dengan sanksi.

UU Bahasa, UUJN, dan sejumlah peraturan lain menggunakan kata ‘wajib’. Masalah timbul karena tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi jika pasal-pasal yang mengatur kewajiban itu dilanggar. Sama halnya jika dibuat rumusan norma ‘anak wajib menghormati orang tua’, dan tidak ada sanksi pidana, misalnya, jika si anak tak menghormati orang tuanya.

Bagaimana dengan UUJN? UU ini mewajibkan akta dibuat dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan tetap membuka peluang pengecualian. Pasal 43 ayat (3) UUJN menyebutkan akta bisa dibuat dalam bahasa asing jika para pihak menghendaki. Artinya, kehendak para pihaklah yang menentukan. Kehendak para pihak adalah esensi dari sebuah kontrak. Namun, ayat (4) Pasal 43 yang sama mewajibkan notaris menerjemahkan akta ke dalam bahasa Indonesia jika akta itu –sesuai kehendak para pihak—dibuat dalam bahasa asing.

Rumusan semacam itu, yakni kewajiban berbahasa Indonesia dalam dokumen hukum, bukan tanpa manfaat. Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ahmad Fikri Assegaf, meyakini rumusan itu lambat laun akan memperkaya bahasa Indonesia hukum. Sebab, mau tidak mau, akan banyak dokumen hukum berbahasa asing–seperti perjanjian dan akta—yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan itu sedikit banyak mendorong munculnya bahasa Indonesia hukum yang baku, yang lama kelamaan diterima kalangan hukum. “Itu akan akan memperkaya bahasa Indonesia hukum,” ujar Fikri kepada hukumonline.

Selain itu, kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam dokumen hukum akan berdampak pada jasa penerjemahan. Lambat laun, penerjemah tersumpah akan berkembang sebagai profesi pendukung bagi kalangan praktisi hukum.

Tantangan di 2016
Hukumonlinesudah menyelenggarakan tiga kali diskusi mengenai masalah bahasa Indonesia ini dengan mengundang para praktisi, akademisi, dan hakim agung. Hingga kini masih ada pertanyaan yang penting untuk dijawab ke depan.

Pertanyaan yang paling mengemuka adalah posisi atau kedudukan bahasa sebagai salah satu syarat untuk membuat perjanjian. Hakim Agung T. Gayus Lumbuun berpendapat kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak merupakan syarat formil perjanjian. Syarat subjektif perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata meliputi kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan syarat objektifnya adalah suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Menurut Gayus, pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil merupakan pengecualian dari asas konsensualisme.

Advokat Eri Hertiawan berpendapat solusi yang bisa ditempuh para pihak untuk mencegah ancaman pembatalan kontrak ke depan adalah bilingual agreement. Solusi ini penting karena bagaimanapun tetap terbuka peluang bagi salah satu pihak dalam perjanjian untuk mengajukan pembatalan kontrak ke pengadilan dengan alasan tidak paham isi perjanjian berbahasa asing.

Pertanyaan lain adalah mengenai bahasa daerah. Selama ini fokus perdebatan terlalu bermuara pada bahasa asing. Bagaimana jika perjanjian dibuat dalam bahasa daerah yang dipakai kelompok masyarakat di Indonesia? Apakah suatu perjanjian dapat dibatalkan hanya karena menggunakan bahasa daerah? Bukankah Konstitusi mengakui keberadaan bahasa daerah?

Jadi, persoalan pembatalan kontrak karena alasan bahasa masih sangat mungkin menjadi perdebatan pada tahun-tahun mendatang.
Tags:

Berita Terkait