Ini Alasan Hukuman Mati Mesti Dihapus dari Hukum Positif
Utama

Ini Alasan Hukuman Mati Mesti Dihapus dari Hukum Positif

Mulai dari bentuk pelecehan terhadap Tuhan, bertentangan dengan HAM, hingga tidak bersifat mutlak dalam syariat islam.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RFQ
Foto: RFQ

Penerapan hukuman mati dalam hukum positif masih terus dipertahankan. Bahkan, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih dibahas antara DPR dengan pemerintah pun masih mempertahankan keberadaan penerapan hukuman mati. Pandangan pro kontra pun terbelah di tengah masyarakat. Sementara dalam hukum syariat islam, penerapan hukuman mati tidak bersifat mutlak. Kendati demikian terdapat beberapa alasan penghapusan hukuman mati.

Dosen pasca sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Siti Musdah Mulia, mengatakan ada delapan alasan perlunya hukuman mati dihapus dari hukum positif. Pertama, hukuman mati bertentangan dengan esensi ajaran semua agama dan kepercayaan yang mengajarkan pentingnya merawat kehidupan sebagai anugerah terbesar dari Tuhan. Dalam agama islam misalnya, seluruh ajarannya memihak kepada penghargaan martabat manusia sebagai Tuhan yang terbaik dan sempurna.

“Hukuman mati beratti pelecehan terhadap kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Tidak satu pun berhak mengakhiri hidup manusia, kecuali Dia sang pencipta,” ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Hukuman Mati dan Revisi KUHP Indonesia’ di Jakarta, Rabu (6/1).

Kedua, hukuman mati bertentangan dengan nilai demokrasi. Ia menilai berbagai penelitian mendalam bahwa penerapan hukuman mati  dominan dilakukan di negara kurang demokratis. Oleh karena itu, banyak negara demokratis menghapus penerapan hukuman mati. Ketiga, penerapan hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Pasalnya, hukuman mati justru merendahkan martabat manusia.

Keempat, hukuman mati hanya sebagai alat penindas. Sejarah panjang membuktikan penerapan hukuman mati acapkali digunakan sebagai alat penindasan terhadap kelompok kritis pro demokrasi. Kelima, bukan menjadi rahasia  bahwa penerapan hukuman mati acapkali dijadikan sebagai tindakan ajang balas dendam politik.

“Lihat saja apa yang terjadi dengan Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan –dieksekusi 4 April 1979 karena divonis membunuh lawan politiknya-. Jadi alasannya sangat politis, bukan membangun keadilan dan kesejahteraan,” ujarnya.

Keenam, hukuman mati acapkali diberikan terhadap mereka yang tidak terbukti bersalah. Akibatnya pelaksanaan hukuman mati kerap dilakukan secara ceroboh, tanpa ada bukti yang kuat dan cukup. Ketujuh, hukuman mati acapkali digunakan sebagai alat efektif untuk menghilangkan jejak penting dalam suatu perkara atau kasus intelijen.

Kedelapan, penerapan hukuman mati ironisnya tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan. Bahkan tingkat kejahatan  tak pula menurun. “Studi mendalam terhadap negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati membuktikan bahwa angka kriminalitas di negara tersebut meningkat setiap tahun secara signifikan,” ujar peraih penghargaan Yap Thiam Hien itu.

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menambahkan, penerapan hukuman mati di tengah bobroknya sistem hukum di Indonesia menjadi kebijakan yang patut dipertanyakan. Terlebih praktis mafia kasus, perilaku oknum penegak hukum korup serta banyaknya kasus salah tangkap terus mewarnai sistem penegakan hukum.

“Dalam bingkai itu bagaimana mungkin kita bisa percaya putusan hakim dalam menjatuhkan vonis akan selalu benar? Sementara di sisi lain hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang tidak bisa dikoreksi kembali apabila terjadi kekeliruan hakim,” ujarnya.

Atas dasar itulah, Indonesia sebagai negara beradab sudah saatnya menghapuskan hukuman mati dari seluruh ketentuan aturan hukum yang ada. Sementara hukuman mati dapat diganti dengan hukuman seumur hidup. Ia mendesak pemerintah dan DPR dalam membahas RKUHP menghapuskan sejumlah pasal hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup.

“Penghapusan itu akan memiliki makna yang sangat penting dari sisi upaya perlindungan hak asasi manusia,” ujarnya.

Ketua Harian Institute Criminal for Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, mengatakan hukuman mati memang sudah semestinya dihapus dari hukum positif. Ia berpandangan dalam RKUHP setidaknya terdapat 26 pasal yang mengatur hukuman mati. Menurutnya, legislatif di parlemen mayoritas menyetujui penerapan hukuman mati masuk dalam RKUHP. Padahal, penerapan hukuman mati bertentangan dengan HAM.

“Persoalan hukuman mati dalam RKUHP tidak akan meminimalisir persoalan di tingkat praktik. Meski ada masa tunda 10 tahun justru menimbulkan persoalan baru,” ujarnya.

Tidak bersifat mutlak dalam syariat islam
Musdah Mulia berpadangan penerapan hukuman mati sebagai salah satu bentuk penghukuman efektif untuk menekan kejahatan pada abad ke 7 Masehi. Berbeda dengan kekinian, peradaban manusia dahulu belum mencapai tingkat kesadaran kemanusian yan tinggi. Dalam syariat islam, kata Musdah Mulia, jenis hukuman tidak melulu diterapkan hukuman mati. Pasalnya, masih terdapat diat (denda) untuk jenis kejahatan pembunuhan atau pelukaan yang dilakukan tidak dengan sengaja.

“Persoalannya, bagaimana memastikan bahwa pembunuhan itu sengaja atau tidak sengaja,” ujarnya dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Hukuman Mati dan Revisi KUHP Indonesia’ di Jakarta, Rabu (6/1).

Menurutnya, memastikan peradilan di Indonesia bersih dan berlaku adil amatlah sulit. Ia berpandangan bila saja peradilan berjalan dengan cara yang adil, boleh jadi kebenaran dapat terungkap. Sebaliknya bila tidak, akan berdampak pemberian sanksi dan eksekusi hukuman mati tak dapat dikoreksi. Bila menelisik sejumlah ayat dalam kitab suci Al-Quran yang berbicara hukuman mati, kata Musdah Mulia, maka selalu ada alternatif hukuman.

Lebih jauh, peraih penghargaan Yap Thiam Hien itu berpandangan bila tak mmapu mmebayar diat, pilihannya adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Bahkan beberapat ayat dalam Al-Quran mengajurkan pemberian maaf terhadap pelaku dengan berdamai.

“Jadi tidak mutlak bahwa hukuman mati harus dilaksanakan. Selalu ada pilihan bagi penegak hukum atau keluarga korban untuk memaafkan terdakwa. Sebagai gantinya korban boleh membayar kafarat sebesar yang disepakati,” ujarnya.

Kendati demikian, ia berpandangan penerapan hukuman mati di masa kekinian, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia menghendaki penghapusan hukuman mati. Musdah Mulia menilai sudah saatnya hukuman mati dihapusakan dari draf RKUHP yang sedang dibahas DPR dengan pemerintah.

“Maka ajaran yang membolehkan hukuman mati itu dianggap sudah tidak berlaku lagi, karena tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan manusia yang menjadi inti dari seluruh bangunan syariat,” ujarnya.

Dosen  Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Lucia Ratih Kusumadewi, menelisik dari pandangan lain. Ia menegarai rezim hukuman mati dalam RKUHP tetap dipertahankan pemerintah sesuai kehendak politiknya. Menurutnya, RKUHP menjadi bagian instrumen untuk menjamin dan melanggengkan penerapan hukuman mati.

Ia berpendapat, hukum pidana hakikatnya alat untuk mencapai tujuan. Nah RKUHP bertitik tolak pada dua sasaran, yakni perlindungan masyarakat dan pembinaan individu pelaku tindak pidana. “Sedangkan dalam penerapan hukuman mati jelas menghilangkan tujuan perlindungan dan pembinaan pelaku pidana,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait