Begini Cara Penghitungan Selisih Suara dalam Pilkada
Berita

Begini Cara Penghitungan Selisih Suara dalam Pilkada

Selisih suara maksimal 2 persen itu dihitung dari jumlah perolehan suara terbanyak yang ditetapkan KPUD.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang perdana sengketa pilkada di Gedung MK, Kamis (7/1). Foto: RES
Suasana sidang perdana sengketa pilkada di Gedung MK, Kamis (7/1). Foto: RES
Berlakunya Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) ternyata tak hanya menjadi batu sandungan bagi para pemohon sengketa hasil Pilkada. Pasal yang mengatur selisih suara dari 0,5 persen hingga 2 persen ini ternyata juga belum mengatur secara teknis formula penghitungan selisih suara dalam UU Pilkada.

Itu sebabnya, masih ada pemohon sengketa pilkada yang dinilai keliru menafsirkan formula penghitungan syarat selisih suara maksimal 2 persen dalam UU Pilkada. Salah satunya ketika sidang perdana sengketa hasil Pilkada Kabupaten Lebong, Bengkulu yang digelar pada Kamis (07/1).

Saat itu, Ketua Majelis Panel 3 yang diketuai Patrialis Akbar mempertanyakan hitung-hitungan perolehan suara pemohon yang mengklaim ada selisih 4 persen. Padahal, menurut hitung-hitungan versi Majelis Panel 3 selisihnya melebihi 4 persen.

Tak hanya kuasa hukum pemohon sengketa Pilkada Kabupaten Lebong, pengacara dari Bantuan Hukum Partai Nasdem Taufik Basari awalnya mengaku kebingungan dengan formula penghitungan selisih suara yang diatur dalam Pasal 158 UU Pilkada. Dia mengira selisih suara maksimal 2 persen itu adalah selisih persentase perolehan suara dari pasangan calon hasil rekapitulasi penghitungan suara yang ditetapkan KPUD.

Misalnya, pasangan calon A mendapat 54 persen suara dan pasangan calon B memperoleh 46 persen suara. Maka, selisih suaranya adalah 8 persen, sehingga tidak bisa mengajukan permohonan perselisihan hasil pilkada ke MK sesuai bunyi Pasal 158 UU Pilkada.

"Awalnya, kita akan ajukan sekitar 30-an permohonan dari sejumlah calon kepala dari yang diusung Partai Nasdem. Tetapi, setelah kita ketahui ada Peraturan MK No. 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Peraturan MK No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pilkada, kita hanya mengajukan 9 permohonan yang memenuhi syarat selisih suara," ujar Taufik di gedung MK, Jum'at (08/1).

"Intinya, Peraturan MK itu, selisih suara maksimal 2 persen itu dihitung dari jumlah perolehan terbanyak (pemenang pilkada versi rekapitulasi KPUD, red)."

Memang Peraturan MK No. 5 Tahun 2015 baru diterbitkan pada 30 November 2015 ini sebagai aturan teknis Pasal 158 UU Pilkada yang belum mengatur formula penghitungan selisih suara secara lengkap. Pasal 158 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan syarat pengajuan (pembatalan hasil perolehan suara) jika ada perbedaan selisih suara maksimal 2 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi bagi provinsi maksimal 2 juta penduduk. Bagi penduduk lebih dari 2 juta hingga 6 juta, syarat pengajuan jika ada perbedaan selisih maksimal 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan suara KPU Provinsi.

Namun, dalam Pasal 6 ayat (3) Peraturan MK No. 5 Tahun 2015 ini dijelaskan persentase sebagaimana dimaksud ayat (1) dan (2) dihitung dari suara terbanyak berdasarkan penetapan hasil penghitungan suara oleh Termohon (KPUD).

Sederhananya, tentukan dulu persentase selisih suara yang besarannya dari 0,5 persen hingga 2 persen tergantung dari jumlah penduduk di suatu kabupaten/kota atau provinsi. Setelah itu, dikalikan dengan jumlah perolehan suara terbanyak dari pasangan calon yang menjadi pemenang pilkada sesuai penetapan hasil rekapitulasi KPUD.

Misalnya, pilkada tingkat provinsi dengan penduduk 2-6 juta, perolehan suara pasangan calon Nomor 1 adalah 2.000.000 suara. Sedangkan, perolehan suara pasangan calon Nomor 2 adalah 1.990.000 suara. Perbedaan perolehan suara calon Nomor 1 dan Nomor 2 adalah 10.000 suara. Jadi formulanya, 1,5 persen x 2.000.000 suara = 30.000 suara. Dengan begitu, pasangan calon Nomor 2 memenuhi syarat ketentuan mengajukan permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan gubernur ke MK.

Pada Jum’at (08/1), Majelis Panel menyidangkan 45 permohonan sidang pendahuluan sengketa pilkada. Panel 1 menyidangkan 16 permohonan sengketa pilkada yakni Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten Pulau Taliabu, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Melawi, Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Boven Digoel (2 perkara), Kabupaten Situbondo, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Kabupaten Malang, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara, Kota Tomohon, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Jember.

Panel 2 (13 perkara): Provinsi Kalimantan Utara, Kabupaten Tanah Bumbu, Kabupaten Karimun, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Sragen, Kabupaten Pemalang (2 perkara), Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Pekalongan, Provinsi Kepri, Kabupaten Bangka Barat.

Panel 3 (16 perkara): Kabupaten Mamuju, Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Berau, Kabupaten Buru Selatan, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Mamuju Utara, Kabupaten Konawe Utara, Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Maluku Barat Daya, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna, Kabupaten Maluku Barat Daya.
Tags:

Berita Terkait