JK Sebut DOM Tak Harus Rinci, Jaksa: Itu Tak Retroaktif
Utama

JK Sebut DOM Tak Harus Rinci, Jaksa: Itu Tak Retroaktif

PMK tentang DOM yang dijadikan acuan oleh JK baru terbit pada 2014.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Wapres Jusuf Kalla saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Wapres Jusuf Kalla saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 268/PMK.05/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Dana Operasional Menteri/Pimpinan Lembaga mengatur pertanggungjawaban Dana Operasional Menteri (DOM) tak lagi harus dibuat secara detail.

PMK ini menggantikan PMK sebelumnya, yaitu PMK Nomor 03/PMK.06/2006 tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri. PMK Nomor 268 mengatur penggunaan DOM, 80 persen diberikan secara lumpsum kepada Menteri, sedangkan 20 persen lagi digunakan untuk dukungan operasional lainnya.

Jadi, menurut JK, pertanggungjawaban DOM yang sebesar 80 persen itu tidak lagi harus dibuat rinci dan tertulis sebagaimana aturan PMK Nomor 03. "Tapi (secara) lumpsum," katanya saat menjadi saksi meringankan dalam sidang mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (14/1).

JK menjelaskan, filosofi DOM adalah untuk representasi menteri. Ketika JK masih menjabat sebagai menteri, tidak ada istilah DOM. Dahulu, hanya ada istilah dana taktis menteri. Dana itu diberikan untuk membiayai kegiatan-kegiatan menteri yang tidak dianggarkan, sampai akhirnya diresmikan menjadi DOM pada 2006.

Menteri Keuangan membuat payung hukum tentang tata cara pelaksanaan DOM melalui PMK Nomor 03. Namun, JK berpendapat, ketentuan DOM dalam PMK Nomor 03 terlalu ketat dan tidak lagi sesuai dengan filosofi DOM. Alhasil, pada 2014, Menteri Keuangan melalui PMK Nomor 268 merevisi aturan DOM.

Pertimbangan yang muncul saat itu, lanjut JK, salah satunya gaji menteri yang hanya Rp19 juta. Dengan gaji tersebut, para menteri sulit untuk melaksanakan tugas dengan baik. Misalnya, sebagai Menteri Budaya dan Pariwisata (Menbudpar) tentu harus banyak promosi dan relasi. Untuk menunjang itu, menteri bisa mengundang makan relasi.

"Kalau makan dibayarin orang lain, nanti jadi masalah. Itulah makna filosofi dari dana DOM. Dana yang diserahkan kepada menteri untuk tugas-tugasnya. Tapi, sulit dipisahkan antara dia (pribadi) menteri dengan tugas-tugasnya. Makanya kami mencabut peraturan sebelumnya agar mempermudah menteri menggunakan DOM," ujarnya.

JK menyatakan, aturan DOM dalam PMK Nomor 268 dibuat lebih fleksibel dengan memberikan diskresi kepada menteri sebagai pengguna DOM. Dengan kata lain, menteri itu sendiri yang menilai apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, termasuk kegiatan sehari-hari patut menggunakan DOM atau tidak. "Tapi, tentu untuk yang bermanfaat," imbuhnya.

Ketika ditanyakan, apakah dengan diskresi dan tidak perlu pertanggungjawaban secara rinci ini berarti tidak ada kontrol pemerintah terhadap penggunaan DOM yang merupakan uang negara, JK hanya menjawab, yang mengontrol adalah menteri itu sendiri. JK meyakini, seorang menteri merupakan orang terpilih dan bermartabat.

"Oleh karena itu, pemerintah atau presiden memberikan kewenangan sesuai diskresinya. Menteri atasannya adalah presiden, tapi tidak mungkin presiden mengontrol semua hal. Maka, menteri diberikan kewenangan sesuai dengan azas dan kewenangan dia. Melihat dari tugas-tugas dan harkatnya," terangnya.

JK yang dahulu juga menjabat Wakil Presiden melihat Jero sebagai Menbudpar yang punya banyak prestasi. Ia beranggapan, seorang menteri yang diangkat untuk kedua kalinya tentu punya prestasi yang cukup baik. Faktanya, Jero memang diangkat menjadi Menteri ESDM setelah tidak lagi menjabat Menbudpar.

Terkait acara peluncuran buku yang diduga menggunakan DOM, JK punya pendapat lain. JK mengaku hadir di acara tersebut. Ia berpendapat acara itu bukan foya-foya, tetapi lebih banyak untuk diskusi. Buku yang diluncurkan pun memberikan makna untuk mengajarkan bagaimana meningkatkan pariwisata.

Menanggapi kesaksian JK, Jero merasa senang pernah menjadi bawahan JK. Ia sepakat dengan penggunaan PMK Nomor 268 yang menggantikan PMK Nomor 03. "Menteri mendapat kewenangan diskresi, tentu saya jaga martabat itu. Tidak mungkin saya gunakan DOM semau-maunya saya, tapi untuk kepentingan negara," ucapnya.

Tidak berlaku surut
Penuntut umum KPK, Yadyn mengatakan PMK yang berlaku saat Jero menjabat sebagai Menbudpar dan Menteri ESDM bukan PMK Nomor 268, melainkan PMK Nomor 03. Sesuai hukum positif, aturan yang baru diterbitkan setelah tempus delicti atau waktu kejadian tindak pidana tidak dapat berlaku surut atau retroaktif.

"Tidak bisa retroaktif. Pemberlakuan UU retroaktif itu berlaku bagi UU Terorisme walupun melanggar asas hukum. Jadi retroaktif itu tidak bisa berlaku terhadap hukum positif, mengingat aturan itu terbit setelah tempus delicti. Apa yang berlaku pada saat itu, itulah hukum positif yang digunakan," tuturnya.

Dengan demikian, Yadyn menegaskan, PMK Nomor 268 tidak dapat dijadikan patokan dalam menangani perkara Jero. Pasalnya, Jero diduga menyalagunakan DOM untuk kepentingan pribadi saat PMK Nomor 03 masih berlaku. PMK Nomor 03 baru dicabut dan digantikan oleh PMK Nomor 268 pada 2014.

Yadyn meyakini, ketika kasus Jero ini dibawa ke persidangan, penuntut umum sudah memiliki bukti-bukti yang mendukung surat dakwaan. "Insya Allah kami sudah yakin. Tapi, yang menentukan adalah alat bukti dan keyakinan hakim. Kami yakin (terbukti) karena kami mengacu pada alat bukti," tandasnya.

Untuk diketahui, Jero didakwa menyelewengkan DOM untuk kepentingan pribadi dan keluarga tanpa didukung bukti pertanggungjawaban yang sah. Akibat perbuatan yang diduga dilakukan secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya itu, Jero diperkaya Rp8,408 miliar, sehingga merugikan negara Rp10,597 miliar.
Tags:

Berita Terkait