Dua Hal yang Perlu Diatur dalam Revisi UU Pemberantasan Terorisme
Berita

Dua Hal yang Perlu Diatur dalam Revisi UU Pemberantasan Terorisme

Mulai keleluasaan aparat penegak hukum melakukan pemberantasan terorisme, hingga kewajiban negara memberikan rehabilitasi dan ganti rugi ketika aparat kepolisian salah tangkap sasaran dengan tetap mengedepankan hak asasi manusia.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Suasana penanganan teror bom di Sarinah, Kamis (14/1). Foto: RES
Suasana penanganan teror bom di Sarinah, Kamis (14/1). Foto: RES
Serangan pelaku tindak terorisme di Sarinah, Kamis (14/1), menjadi pusat perhatian dunia. Regulasi terhadap pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi darurat untuk direvisi. Pemerintah pun sudah mengutarakan agar DPR dapat segera melakukan revisi. Setidaknya, ada dua hal yang perlu dilakukan revisi agar pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi lebih kuat.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, dua hal yang perlu diatur secara lebih detil dalam Revisi Undang-Undang (RUU) No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Pertama, aparat kemanan atau penegak hukum diberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.

Kedua, ketika aparat penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melakukan salah sasaran penindakan, maka diperlukan rehabilitasi. Menurutnya, aparat penegak hukum berkewajiban melakukan rehabilitasi secara terbuka. Caranya, negara memberikan ganti rugi yang layak terhadap korban salah sasaran penegak keamanan.

“Dua hal itu yang perlu diatur dengan rumusan yang lebih detil dan jelas,” ujarnya kepada hukumonline, Jumat (15/1).

Sementara, pihak Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), kata Arsul, meminta agar revisi UU itu mengatur tegas penindakan penegakan hukum terhadap organisasi yang sudah diklasifikasi kelompok teroris. Namun, hal itu perlu dirumuskan lebih detil agar tidak melanggar hak asasi manusia.

Kendati demikian, semangat revisi hendaknya tak hanya memberikan kerangka hukum terhadap lembaga pemberantasan terorisme seperti BNPT dan Polri, tetapi dalam rangka menegakan prinsip perlindungan hak asasi manusia. “Sehingga mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam penindakan terorisme,” ujarnya.

Anggota Komisi X  Jhon Kennedy Aziz menambahkan, melihat pergerakan aksi terorisme belakangan ini, perlu diatur kerangka hukum yang lebih kuat dalam pemberantasan aksi tersebut. Misalnya, revisi mengatur mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana terorisme mulai penyelidikan, penindakan, penyidikan, penuntutan hingga penghukuman yang layak terhadap pelaku.

“Karena terorisme ini luar biasa, tidak punya hati dan nurani,” ujarnya.

Mantan anggota Komisi III dari Fraksi Golkar itu berpandangan, hal lain yang perlu diatur adalah dengan mekanisme penguatan terhadap intelijen. Menurutnya, upaya pencegahan dan deteksi dini menjadi lini dan peran fungsi intelijen. Lembaga-lembaga yang memiliki intelijen mesti diperkuat perannya untuk melakukan koordinasi dalam rangka pencegahan dini terjadinya aksi peledakan bom.

“Ini lah peran intelijen guna mendeteksi dini pergerakan teroris,” ujarnya.

Anggota Komisi I Sukamta mengatakan, selain revisi yang mesti dilakukan, pemerintah mesti fokus dalam pemberantasan teroriosme. Ia menilai pemerintah tak terlalu berlebihan dalam penanganan kasus ledakan bom di Sarinah kemarin. Menurutnya, aparat keamanan memiliki keterbatasan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Itu sebabnya, revisi mesti segera dilakukan.

“Pemerintah harus terkendali dan terukur karena kita tidak ingin Indonesia terseret ke dalam skenario besar ini. Kita fokus saja pada pemberantasan teroris yang ada di dalam negeri. Bersihkan sampai ke akar-akarnya dan sikat mastermindnya,” kata politisi PKS itu.

Untuk diketahui,Komisi III DPR pernah mengajukan RUU tentang Badan Nasional Pemberantasan Terorisme. Sementara, Kementerian Hukum dan HAM mengusulkan revisi atas UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Posisi pembahasan RUU ini sudah masuk tahap harmonisasi.    

Diupayakan Masuk Prolegnas Prioritas 2016
Meski menjadi keharusan  melakukan revisi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun DPR  berharap agar usulan revisi berasal dari pemerintah. Sedangkan pemerintah sedang berupaya meminta DPR agar merevisi UU tersebut. “Kami sedang meminta kepada DPR untuk merevisi Undang-Undang Pemberantasan Terorisme, sehingga bisa ada upaya preventif,” ujar Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan.

Menurut Luhut, revisi terhadap UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dapat segera dilakukan agar penegak hukum dapat melakukan penahanan terhadap orang yang diduga pelaku terorisme. Setidaknya, penahanan sebagai upaya pencegahan agar tidak terjadi tindakan peledakan bom di tempat publik. Revisi setidaknya, kata Luhut, dapat menyempurnakan UU tersebut dengan menambahkan beberapa pasal.

“Karena (di UU 15/2003, red) selama ini tidak ada. Jadi kalau sudah patut diduga, kami bisa menahan,” ujarnya.

Arsul Sani mengamini perlunya penambahan beberapa pasal dalam revisi. Hanya saja, Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, namun tidak masuk dalam daftar Prolegnas prioritas 2015. Meski Prolegnas prioritas 2016 belum disahkan, namun DPR dalam daftarnya tidak mengusulkan revisi UU tersebut.

Kendati demikian, bila merujuk pada insiden aksi peledakan bom di Sarinah, maka perlu dipertimbangkan revisi UU tersebut untuk masuk dalam Prolegnas prioritas 2016. “Saya tidak keberaratan, namun inisiatifnya biar datang dari pemerintah saja,” pungkas politisi Partai Persatuan Pembangunan itu.
Tags:

Berita Terkait