Nestapa Napi Perempuan yang Terhambat PP Remisi
Berita

Nestapa Napi Perempuan yang Terhambat PP Remisi

Helen tak bisa memperoleh pembebasan bersyarat, padahal hampir seluruh syarat telah dipenuhi.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Helen (kiri) dan Sri Susilarti (kanan). Foto: RES
Helen (kiri) dan Sri Susilarti (kanan). Foto: RES
Helen, narapidana pada Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur, mengeluhkan keberadaan PP No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP Remisi).

Menurut wanita yang sehari-hari ikut kegiatan program pembuatan kue di rutan ini, vonis 5 tahun 3 bulan kepada dirinya yang membuat syarat PP tak terpenuhi. Akibatnya, Helen tak bisa mengajukan pembebasan bersyarat (PB) sebagaimana diatur dalam PP maupun UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Padahal, lanjut Helen, dirinya sudah menjalani masa tahanan lebih dari 2/3 sebagaimana yang diatur PP. Ia telah menjalani tahanan selama 3 tahun 7 bulan. Jika dilihat dari vonis, ukuran 2/3 masa tahanan dirinya adalah 3 tahun 4 bulan. Bukan hanya itu, ia juga kerap bersikap kooperatif, bahkan berkelakuan baik dalam tahanan.

Hanya saja, lanjut Helen, vonis 5 tahun 3 bulan yang diterimanya menjadi ‘akar’ hambatan dirinya untuk memperoleh PB. Padahal, dirinya mengaku memiliki barang ‘haram’ itu semata-mata untuk melindungi suaminya yang saat itu sedang sakit jantung. Kini, suaminya telah meninggal dunia. Helen hanya bisa menjalani sisa masa tahanannya tanpa harus memperoleh remisi maupun PB.

“Dalam kasus ini belum tentu semua yang (vonis) 5 tahun itu bersalah, dalam hal ada yang membela suami, seperti saya, suami saya pemakai, saya membela suami, saya ambil barang itu, efeknya ke saya panjang,” cerita Helen saat ditemui hukumonline di dapur pembuatan kue di dalam Rutan Pondok Bambu, Jakarta, Senin (18/1).

Ia berharap, pemerintah dapat segera mengkaji ulang syarat dalam PP. Menurutnya, syarat tak berlakunya remisi maupun PB karena vonis lebih dari lima tahun merupakan syarat yang berat. “Belum tentu semua yang terlibat kasus (vonis) 5 tahun ke atas itu dia bersalah,” lirihnya.

Untuk diketahui, Pasal 43A ayat (2) PP Remisi menyebutkan bahwa pemberian pembebasan bersyarat untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terogranisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan Pasal 43 ayat (2), juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.

Pertama, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan. Kedua, telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana dengan ketentuan 2/3 masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan. Ketiga, telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ dari sisa masa pidana yang wajib dijalani. Keempat, telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar setia kepada NKRI secara tertulis bagi WNI atau tidak mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi narapidana WNA.

Sedangkan syarat yang diatur dalam Pasal 43 ayat (2) antara lain, berkelakuan baik paling singkat 9 bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 masa pidana. Telah mengikuti program pembinaan dengan baik, tekun dan bersemangat serta masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana.

Namun, syarat-syarat tersebut tak berlaku jika narapidana tersebut merupakan napi yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika dengan pidana penjara lebih dari 5 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 43A ayat (2) PP Remisi.

Kepala Rutan Klas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur, Sri Susilarti tak menampik PP Remisi kerap menghambat warga binaan untuk memperoleh haknya. Ia berharap, pemangku kepentingan bisa mengkaji ulang PP tersebut. Menurutnya, beberapa warga binaan yang terjerat pidana dalam PP juga telah berkelakuan baik.

Misalnya yang dilakukan Helen. Menurut Sri, selama di dalam rutan, Helen telah berkelakuan baik yang ditunjukkan dengan ikut serta program pembuatan kue di dapur rutan. Bahkan, Helen menjadi sosok yang mengajarkan warga binaan lain membuat kue di rutan.

“Awalnya dia (Helen) enggan ‘menularkan’ pengetahuan pembuatan kue ke warga binaan lain. Tapi setelah diberi pengertian, akhirnya dia mau,” tutur Sri.

Menurut Sri, kegiatan program pembuatan kue ini telah berjalan sejak Juni tahun lalu. Bahkan, banyak hal positif dari program ini dan kue yang dibuat bisa dipasarkan ke warga binaan lain, keluarga warga binaan yang menjenguk, hingga masyarakat luas yang pernah mengetahui pembuatan kue di rutan. Ia berharap, saat warga binaan bebas, bisa menggunakan pengetahuannya ini di masyarakat.
Tags:

Berita Terkait