Butuh Konsep Hukum yang Jelas Bila Ingin Hidupkan GBHN
Berita

Butuh Konsep Hukum yang Jelas Bila Ingin Hidupkan GBHN

Mengamandemen UUD 1945 secara terbatas dikhawatirkan menimbulkan persoalan pendistribusian kekuasaan dan sistem ketatanegaraan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RFQ
Foto: RFQ
Wacana memberlakukan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) di era kekinian tak akan bertahan dalam waktu panjang. Berbeda dengan era orde baru dan lama, negara dipimpin oleh orang yang dapat mengendalikan pembuat GBHN. Hal ini disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Saldi Isra, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Jumat (22/1).

‘Menghidupkan’ GBHN setidaknya mesti melakukan amandemen UUD 1945. Menurutnya, melakukan amandemen tak dapat dilakukan terbatas. Sebab, akan menyentuh berbagai pasal. Ia menilai iklim politik beberapa tahun terakhir tidak mendukung untuk menentukan haluan negara bertahan lama. Pasalnya, mekanisme pemilihan presiden secara langsung mengakibatkan masing-masing calon memiliki visi misi sendiri. “Konstitusi saja bisa diubah oleh kekuatan politik,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini berpandangan, pemberlakuan GBHN tak dapat dituangkan dalam ketetapan MPR semata, namun mesti mengamandemen konstitusi. Pilihannya, Saldi melanjutkan, bila ‘menghidupkan’ GBHN adalah kembali ke UUD sebelum amandemen atau melakukan amandemen UUD hasil amandemen.

Ia menyarankan wacana tersebut perlu didiskusikan di berbagai kalangan. Setidaknya, dapat menyerap aspirasi terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan untuk menghidupkan GBHN kembali. Menurutnya, pengkajian terhadap wacana ‘menghidupkan’ GBHN tak dilakukan oleh alat kelengkapan MPR, namun dilakukan oleh badan independen.

“Ini wacana jangan dulu bergerak mengubah UUD. Biarlah wacana ini berkembang dulu. Karena hampir tidak masuk akal kalau melakukan perubahan terbatas, karena akan punya konsekuensi lain dengan DPR dan DPD. Saya minta jangan terlalu cepat untuk mengubah konstitusi, karena bisa menabrak ke sana kemari,” ujarnya.

Saldi mengakui arah pembangunan sejak era reformasi memang maju mundur. Oleh sebab itu, dibutuhkan konsep sistem terkait dengan bentuk hukum yang akan digunakan dalam menghidupkan GBHN, maka diperlukan pengkajian mendalam.

“Kita memang memerlukan sistem pola arah pembangunan. Tapi bagaimana bentuk hukumnya harus dibentuk lebih lanjut. Karena konsepsi sistemnya harus dipikirkan lebih jauh kalau mau mengubah konstitusi,” ujarnya.

Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di MPR, Ahmad Basarah, berpandangan partainya memang menjadi pihak yang mewacanakan menghidupkan kembali GBHN. Menurutnya, PDIP tengah menyerap berbagai aspirasi terkait dengan arah pembangunan negara sejak MPR dipimpin oleh Taufik Kiemas (almarhum). Tim menyebar ke berbagai kampus dan masyarakat untuk mendengar berbagai masukan.

Di penghujung DPR periode 2009-2014, sidang paripurna MPR merekomendasikan sistem perencanaan pembangunan model GBHN sebagai haluan negara. “Jadi konsepsi GBHN merupakan seperangkat nilai warisan pendiri bangsa,” katanya.

Menurutnya, bila Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Panjang (RPJMP) menjadi sekadar haluan rezim pemerintah yang berkuasa. Sedangkan GBHN berlaku terhadap setiap rezim pemerintah yang berkuasa selama waktu tertentu. “Tapi situasi di Indonesia seperti tari poco-poco, sehingga setiap pergantian rezim pemerintahan akan berganti konsep, kapan kita akan mencapai tujuan itu tidak terukur,” ujarnya.

Menurutnya, acapkali pemilihan presiden dan kepala daerah, masing-masing calon menggelontorkan programnya masing-masing. Namun, menjadi lebih terarah dan terukur dengan adanya GBHN, di mana setiap calon kepala pemerintahan dan daerah mesti menjadikan haluan negara sebagai program di kala kampanye. Menurutnya, partai tempatnya bernaung memandang penting keberadaan GBHN dihidupkan kembali.

“Tapi MPR masih mendalami oleh badan pengkajian. Kita menyepakati konsepsi GBHN seperti apa, dan amandemen terbatas pada UUD 1945 hasil amandemen, khususnya menyangkut kewenangan MPR. Karena haluan negara bukan sekedar pembangunan. Sistem pemilihan tetap langsung oleh rakyat dan presiden bukan mandataris MPR,” ujarnya.

Dosen Ilmu Politik Universitas Indonesia, Valina Singka Subekti, berpendapat wacana tersebut layak untuk terus dilakukan pendalaman. Menurutnya, meski memiliki UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, namun berbeda halnya dengan GBHN. “Kalau GBHN itu sistemnya top down, kalau sistem sekarang itu bottom up. Tapi saya setuju haluan negara,” ujarnya.

Kendati demikian mesti diperdalam bentuk hukum dalam rangka menghidupkan GBHN. Pasalnya itu tadi, bila menghidupkan GBHN otomatis bakal menghidupkan ketetapan MPR. Ia khawatir dengan melakukan amandemen terbatas justru bakal menimbulkan persoalan pendistribusian kekuasaan dan sistem ketatanegaraan.

“Kalau mengacu amandemen terbatas, saya khawatir akan menimbulkan kompilkasi di pendistribusian kekuasaan dan sistem ketatanegaraan,” pungkas mantan komisioner KPU itu.
Tags:

Berita Terkait