Ungkap Jaringan Teroris via Aliran Dana, Begini Caranya
Berita

Ungkap Jaringan Teroris via Aliran Dana, Begini Caranya

Namun tak mudah, PPATK harus follow the money hingga beberapa lapisan untuk meyakinkan bahwa dana tersebut benar-benar untuk pendanaan terorisme.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso. Foto: RES
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso. Foto: RES
Mengungkap jaringan teroris memang tak semudah yang dibayangkan. Aparat penegak hukum kerap kali dihadapkan dengan situasi sulit saat membongkar jaringan teroris. Terlebih lagi, jaringan teroris tidak hanya berdomisili di tanah air, tapi juga menyebar ke sejumlah negara yang tentunya sulit sekali ditelusuri keberadaan dan keterkaitan aliran dananya.

Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan bahwa sistem jasa keuangan formal bisa menjadi ‘pintu masuk’ dalam membongkar jaringan terorisme di Indonesia. Penggunaan sistem jasa keuangan formal oleh jaringan terorisme sebagai media transaksi untuk pendanaan terorisme akan memudahkan aparat penegak hukum untuk membuka jaringan terorisnya.

“PPATK sifatnya membantu membuka jaringan karena PPATK bisa tahu transaksi antara si A dan si B, C, dan D,” ujar Agus saat dihubungi hukumonline, Senin (25/1).

UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme memberikan kewenangan yang sama kepada PPATK terhadap ketentuan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Meski begitu, fungsi ini bisa berjalan jika PPATK berkoordinasi dengan Detasemen Khusus 88 (Densus 88).

“Jadi PPATK melalui metode follow the money mencoba membantu membuka jaringan terorisnya. Sedangkan Densus 88 dengan metode follow the suspect tentu mengikuti orangnya,” tambahnya.

Dijelaskan Agus, sebetulnya PPATK berperan hanya melakukan pencegahan dengan cara ‘memotong aliran dana’ baik dari dan/atau untuk orang yang diduga sebagai teroris. Hal ini berpedoman dari Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) baik yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PPATK menelusuri nama-nama yang termuat dalam DTTOT.

Kemudian, PPATK menelusuri satu per satu nama yang tercantum dalam DTTOT yang terdaftar di sistem jasa keuangan formal. Biasanya, PPATK akan mengkuti aliran dana dari pengirim asal hingga ke penerima lain sampai ke beberapa lapisan (layer). Penelusuran daftar nama inilah yang dimaksud oleh Agus bisa membantu membuka jaringan terorisme di Indonesia.

Pola umum yang sering ditemukan, lanjut Agus, pelaku teroris umumnya menyamarkan asal usul dana yang digunakan untuk pendanaan terorisme. Artinya, orang yang diduga teroris tidak langsung mengirim ke pihak yang langsung menggunakan untuk kegiatan terorisme. Sehingga, penelurusan di layer ke-1 atau layer ke-2 belum bisa mengungkap siapa saja jaringan yang diduga terlibat.

“Misalnya anda dikirimi uang dari seseorang. Kan saya ngga tahu dipakai buat apa. Kamu pasti ngga akan kirim ke teroris, tapi ke teman dulu. Dia berusaha menyamarkan,” terangnya.

Terkait hal ini, PPATK akan terus menelusuri aliran dana hingga ke lapisan berikutnya. Pada tataran teknis, kata Agus, umumnya PPATK sudah bisa menyimpulkan apakah aliran dana itu digunakan untuk pendanaan terorisme setelah berada di layer ke-3 atau layer ke-4 penerima aliran dana.

“Ya, kita biasanya mengikuti layering mereka itu. Misalnya, ada uang dari Timur Tengah masuk ke Indonesia. Kita nggak tahu itu uang apa, terus kita ikuti ternyata di layer ke-4, ada uang yang merembes ke supporting jaringan teroris. Dia berusaha menyamarkan, jadi biasanya penyamaran itu baru kelihatan di layer ke-3 atau ke-4,” jelasnya.

Agus mengatakan bahwa peran pencegahan yang dilakukan PPATK dalam menjaga sistem keuangan di Indonesia mesti juga ditopang institusi terkait lain seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurutnya, OJK punya peran dalam mengisolir pelaku kejahatan teroris baik yang sudah masuk DTTOT atau yang belum masuk daftar.

Sebab, keberadaan aliran dana dari terduga teroris yang masuk dalam sistem lembaga keuangan formal bisa merusak sistem keuangan di Indonesia. Oleh karena itu, Agus juga mendorong OJK agar melaksanakanrisk base approach untuk setiap calon nasabah yang ingin memasuki lembaga keuangan formal. Pasalnya, tindak pidana terorisme tidak mungkin dapat dilakukan tanpa didukung ketersediaan dana.

“Ketika mereka mencoba menjadi nasabah, begitu kita kenakan prinsip Know Your Customer, bahwa nasabah sangat berisiko tinggi, itu ngga usah diterima jadi nasabah. Atau kalau yang sudah keburu jadi nasabah di freez (bekukan) supaya tidak jadi nasabah dan tidak ada hubungan transaksi lagi,” tukasnya.

Terpisah, Deputi Komisioner Manajemen Strategis I C Otoritas Jasa Keuangan Hendrikus Ivo mengungkapkan bahwa pengaturan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT) di OJK masih belum berjalan optimal. Hal ini dikarenakan pengaturan APU-PPT di sektor jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) belum terakomodir secara baik.

Sebagai contoh, aturan terkait dengan APU-PPT di sektor pasar modal yakni POJK Nomor 22/POJK.04/2014 Tahun 2014 tentang Prinsip Mengenal Nasabah oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal. Aturan itu, kata Ivo, masih belum mengatur secara detil mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah.

Hal sebaliknya, lanjut Ivo, pengaturan penerapan prinsip mengenal nasabah di sektor perbankan sudah jauh lebih maju dan lebih rigid. Setidaknya, ada dua Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/28/PBI/2009 Tahun 2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum dan PBI Nomor 14/27/PBI/2012 Tahun 2012 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan terorisme Bagi Bank Umum.

“Kalau ada ketimpangan soal APU PPT di sektor perbankan yang lebih ketat dibanding pasar modal ini akan tidak governance, artinya orang akan cari loop hole (celah hukum). Saya susah masuk perbankan, saya masuk saja ke pasar modal,” kata Ivo kepada hukumonline di kantornya, Selasa (26/1).

Oleh karena itu, ke depan lewat fungsi pengaturan yang dimiliki oleh bidang APU-PPT, OJK akan merancang POJK tentang pengawasan APU-PPT di sektor jasa keuangan yang terintegrasi. Nantinya, aturan itu akan menggabungkan aturan-aturan yang masih terpisah di setiap sektor, antara lain perbankan, pasar modal, dan IKNB. Targetnya, konversi aturan mengenai prinsip mengenal nasabah yang telah ada bisa selesai diidentifikasi pada akhir Januari 2016 ini.

“Itu nanti harus saya konversi. Cuma nanti kalau ada yang lebih spesifik dari masing-masing sektoral, tidak semua sama. Nanti akan dibuat SEOJK, jadi turunan dari POJK yang terintegrasi, derivatifnya SEOJK yang mengatur spesifik di sektor perbankan, pasar modal, IKNB,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait