Ini Tantangan Advokat Pembela Terduga Teroris
Berita

Ini Tantangan Advokat Pembela Terduga Teroris

Karena stigma, hukum dikesampingkan dalam tindak pidana terorisme.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Mahendradatta (tengah). Foto: SGP
Mahendradatta (tengah). Foto: SGP
Dituduh dan diadili karena telah merampas dan mengancam hak hidup orang banyak, terduga teroris sering kali menjalani proses hukum tanpa advokat. Hal ini tak ditampik kebenarannya oleh Muhammad Mahendradatta, advokat yang kerap disebut sebagai pengacara teroris.

Menurutnya, bukan hal yang mudah untuk menjadi kuasa hukum dari terduga teroris. Pasalnya, stigma yang terbentuk di masyarakat mengenai terorisme begitu kuat. “Dulu sebenarnya stigma tidak telalu berat, tapi berikutnya ada penyebaran stigma. Sekarang terorisme sedang dicoba dibunuh dengan stigmatisasi,” tuturnya kepada hukumonline, Senin (25/1).

Atas dasar itu, lanjut pria yang tergabung dalam perkumpulan advokat bernama Tim Pengacara Muslim (TPM) ini, melawan stigma tersebut yang akhirnya menjadi tantangan terbesar advokat dalam menegakkan hukum bagi para terduga teroris.

Mahendradatta berujar advokat harus lebih berupaya menyajikan fakta-fakta hukum kepada masyarakat di saat yang lainnya memojokkan terduga dengan opini-opini buruk tentang kejahatan terorisme yang akhirnya terlanjur melekat juga pada diri pelaku terorisme.

Lebih jauh, karena stigma, hukum terkesan dikesampingkan dalam tindak pidana satu ini. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini menggambarkannya dengan memberi contoh proses hukum dalam tindak pidana korupsi. Menurutnya, kepada para terduga teroris, seakan-akan hukum tak lagi berlaku.

“Kalau di tindak pidana korupsi, demikian sangat hati-hatinya aparat dalam rangka menyebutkan tersangka. Tapi ini terorisme? Belum apa-apa sudah langsung tuding. Contohnya yang paling gampang aja yang terjadi sekarang ini. Tiba-tiba polisi sudah langsung declare Bahrun Naim yang gini gini gini,” ujarnya.

Akibat stigma pula, advokat Hariadi Nasution atau akrab disapa Ombat sampai harus kehilangan empat kliennya saat menangani kasus Muhammad Jibril yang diduga menjadi perantara aliran dana tindakan terorisme di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton tahun 2009 silam.

Keempat klien tersebut terdiri dari satu perusahaan dan tiga klien litigasi. Keempat kliennya itu mencabut kuasa yang semula diberikan kepada kantornya Muhammad Hariadi Nasution & Partners tanpa memberikan alasan yang jelas. Keluarganya pun ikut heboh saat tahu Ombat menerima kasus Jibril.

“Keluarga gue yang dari Medan dan dari mana-mana pada nelpon ke kakak gue, ke adek gue. Mereka nanyain, ‘itu si Ombat gimana ituuu?’ Mereka udah pada nangis-nangis ngga jelas ngelihat gue di tv,” cerita Ombat yang merupakan vokalis band metal Tengkorak ini.

Meski begitu, Ombat menyikapi semua tantangan tersebut dengan tenang. Alasannya, karena advokat tak bisa diidentikkan sama dengan kliennya. Ia percaya, dirinya adalah kuasa hukum, bukan kuasa perasaan. “Kalau gue membela hak-hak hukum terduga teroris bukan berarti gue pro terhadap terorisme,” katanya.

Pria yang kini tengah menempuh pendidikan program doktoral di Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah itu juga tak takut akan kehilangan rezekinya jika dicap sebagai pengacara teroris. Ia percaya, rezeki sudah diatur oleh Sang Pencipta.

Menurut Ombat, di luar stigma yang melekat, seorang terduga teroris juga tetap memiliki hak hukum yang perlu dibela. “Gawat atuh kalau semua advokat pikirannya cuma duit mulu mah,” ujarnya.

Harus Sabar
Salah satu hal yang wajib dimiliki advokat pendamping terduga teroris adalah kesabaran. Hal ini dirasakan Mahendradatta saat membela Abu Bakar Ba’asyir. Dari pengalamannya itu, akses pengacara untuk bertemu klien saja ikut-ikutan dipersulit jika menyangkut kasus terorisme.

Bahkan, lanjut Mahendradatta, pernah rekannya sesama advokat harus melepas pakaiannya untuk pemeriksaan di Rumah Tahanan Markas Korps Brigadir Mobil (Rutan Mako Brimob) saat hendak bertemu dengan klien. “Teman kami waktu besuk sampai kayak penggeledahan, buka baju segala. Takutnya  menyembunyikan sesuatu untuk diberikan kepada klien,” ujarnya.

Selain sabar, para pembela terduga teroris juga wajib berpegang teguh pada fakta hukum. Ia berharap, para pengacara jangan terpancing mengangkat pembicaraan non juris dan menunjukkan persetujuan maupun ketidaksetujuan terhadap ideologinya yang didampingi.

Tags:

Berita Terkait