Ini Tren Pendanaan Teroris Hasil Penelusuran PPATK
Berita

Ini Tren Pendanaan Teroris Hasil Penelusuran PPATK

Pendanaan terorisme saat ini dilakukan dengan mencari pendapatan di perusahan legal.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso. Foto: RES
Wakil Kepala PPATK Agus Santoso. Foto: RES
Banyak ragam pola pendanaan untuk menunjang kegiatan aksis teror. Terkait hal ini, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) berhasil memetakan tren pendanaan terorisme di Indonesia. Wakil Kepala PPATK Agus Santoso menyebutkan, pendanaan terorisme terus mengalami perubahan, baik dari segi pola maupun metode pengumpulan dana.

Perubahan itu, lanjutnya, disinyalir sebagai upaya untuk terus menghindari kejaran aparat penegak hukum yang terus menelusuri setiap aksi dan kegiatan terorisme di Indonesia. “Dia (teroris) berusaha menyamarkan (dana),” ujar Agus saat dihubungi hukumonline, Senin (25/1).

Paling tidak, kata Agus, ada dua sumber pendanaan terorisme yang selama ini biasa dilakukan oleh jaringan teroris di Indonesia. Meski begitu, dua sumber pendanaan tersebut juga mengalami pergeseran pola yang bertujuan mengaburkan penelusuran dari aparat penegak hukum.

“Kalau teroris itu yang uangnya berasal dari ilegal dan yang legal,” jelas Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu.

Pertama, lanjut Agus, pendanaan terorisme yang dilakukan dengan cara tidak sah atau ilegal. Biasanya, terduga teroris akan melakukan pola-pola yang melanggar hukum seperti perampokan bersenjata hingga melakukan perampokan melalui cara peretasan (hacking) di dunia maya. Namun, pengumpulan dana dengan cara merampok ini terakhir dilakukan pada tahun 2011 sampai 2013.

Menurut Agus, pendanaan dengan cara merampok ini umumnya dilakukan oleh terduga teroris yang berlatar belakang pendidikan rendah. Sedangkan perampokan melalui hancking ini dilakukan oleh terduga teroris berlatar belakang pendidikan cukup tinggi, seperti akademi atau sarjana di bidang teknologi informasi dan teknik elektro.

Biasanya, pola perampokan dengan cara hacking ini mengincar uang elektronik dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan, kata Agus, upaya menghimpun dana lewat hacking juga kerap mengincar uang virtual seperti BitCoin. “Kalau boleh dibilang tadinya mereka merampok uang cash, lalu uang elektronik, bahkan sekarang sudah ke uang virtual seperti BitCoin. Itu sudah dilakukan di Alam Sutera dan dia minta BitCoin. Jadi udah jauh lagi bukan uang elektronik tapi uang virtual,” papar Agus.

Untuk pola yang kedua adalah pendanaan teroris dengan cara sah atau legal. Biasanya, lanjut Agus, cara ini dilakukan dengan menjaring sumbangan dari simpatisan. Pola ini juga yang saat ini masih lazim digunakan untuk menjaring pendanaan terorisme. Bahkan, saat ini, dari hasil pantauan PPATK terdapat terduga teroris yang mencari pendapatan melalui perusahaan, seperti ikut menanam modal di suatu perusahaan.

Selain itu, pola lain yang dilakukan biasanya dengan ikut dalam bisnis Multi Level Marketing (MLM), bisnis obat herbal, bisnis buku, bisnis konveksi, hingga membuka jual beli lewat showroom mobil. Meski begitu, para terduga teroris tetap sadar bahwa pendanaan lewat transaksi keuangan formal mudah ditelusuri oleh otoritas berwenang.

Apalagi, kata Agus, telah ada UU Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang mengatur secara rinci dan spesifik terkait dengan pendanaan terorisme. “Karena mereka tahu kalau kirim-kiriman uang itu bisa ketahuan. Jadi mereka men-generate income sendiri ikut perusahaan,” katanya.

Sementara itu, Deputi Komisioner Manajemen Strategis I C Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Ivo mengatakan, OJK siap bekerja sama dengan institusi lain untuk mencegah terjadinya tindak pidana terorisme khususnya dari segi pendanaan. Menurutnya, dalam hal pencegahan, peran OJK tidak akan berfungsi baik jika tanpa ada koordinasi dengan pihak terkait lainnya.

Selain itu, lanjut Ivo, lewat fungsi pengawasan, bidang anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU-PPT) OJK akan mengkonsolidasikan laporan-laporan yang masih secara sektoral, seperti di sektor perbankan, pasar modal, dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) kepada bidang APU-PPT ini.

“Sehingga bisa terdeteksi, terawasi segala kegiatan terkait APU-PPT yang melakukan transaksi di sektor jasa keuangan,” kata Ivo.

Oleh karenanya, lanjut Ivo, OJK akan segera membuat mekanisme koordinasi antara APU-PPT dan sektor-sektor lain di internal OJK. Mekanisme koordinasi tersebut terkait dengan bentuk pengawasan dan mekanisme pertemuan dengan stakeholder. Ia berharap, melalui cara ini, data atau laporan bisa selalu di-update dan dilakukan monitoring serta melihat apa saja yang menjadi hambatan yang dialami oleh industri jasa keuangan.

Meski begitu, Ivo menilai, OJK tetap wajib berhati-hati dalam menjalankan fungsi ini. Di satu sisi, sistem keuangan nasional mesti bebas dari kegiatan pendanaan terorisme. Tapi di sisi lain, sistem keuangan nasional tetap membutuhkan investor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga dilematis.

Oleh karenanya, kata Ivo, OJK masih akan meminta tanggapan ke industri serta Bursa Efek Indonesia (BEI) terkait aturan apa yang paling efektif untuk mengatur ini. “Kan sering bertolak belakang. Satu sisi punya kepentingan men-clean-kan sumber dana. Di satu sisi kita juga harus mendatangkan investor harus masuk ke Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait