Ini Hal yang Perlu Diatur RUU Advokat Terkait Lawfirm Asing
Berita

Ini Hal yang Perlu Diatur RUU Advokat Terkait Lawfirm Asing

Mulai standarisasi kantor hukum, persyaratan mendirikan kantor hukum, hingga mekanisme pengawasan.

Oleh:
RFQ/HAG
Bacaan 2 Menit
Sejumlah advokat asing saat mengikuti ujian PERADI. Foto: RES.
Sejumlah advokat asing saat mengikuti ujian PERADI. Foto: RES.

Model aturan ruang gerak lawfirm asing di Indonesia mesti disepakati oleh pemerintah dan DPR dalam penyusunan sebuah UU yang mengatur profesi advokat. Bila mengkuti aturan yang ada, law firm asing memang tidak diperbolehkan membuka kantor langsung di Indonesia, meski praktiknya dapat disiasati dengan kerjasama dengan lawfirm lokal. Demikian disampaikan anggota Komisi III Arsul Sani di Gedung DPR, Rabu (3/2).

Aturan detil batasan kebebasan kantor hukum asing memang perlu diatur dalam Revisi UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Namun sayangnya, RUU Advokat  ‘gagal’ masuk dalam Prolegnas prioritas 2016. Kendati demikian, masih terbuka peluang RUU Advokat masuk dalam Prolegnas di tahun berikutnya.  

Dikatakan Arsul, beragam aturan memang perlu dikaji mendalam antara pemerintah dan DPR. Tentunya, berbagai aturan internasional, regional maupun multilateral agreement yang telah diratifikasi menjadi kajian pembuat undang-undang dalam menyempurnakan aturan terkait dengan advokat, khususnya lawfirm asing dan lokal.

“Bagi saya, apapun legal policy yang nanti diputuskan oleh pembentuk UU, maka yang paling penting adalah jangan sampai kantor hukum asing merajalela di Indonesia, dan menjadikan negara ini hanya sebagai market,” ujarnya.

Misalnya, kata Arsul, aturan perpajakan terhadap lawfirm pun mesti dipertegas. Setidaknya hal itu dapat meminimalisir kemungkinan lawfirm asing yang memiliki klien di Indonesia. Begitu pula jasa hukumnya diberikan di Indonesia. Namun tagihan pembayaran dilakukan oleh lawfirm asing di negara lain.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpandangan, di kebanyakan negara, advokat asing hanya diperbolehkan memberikan jasa hukum yang  terkait dengan hukum dari negara di mana izin praktik diberikan. Sebaliknya, bila tak mengantongi izin dari pihak otoritas pemberi izin praktik jasa hukum, dipastikan tak dapat melaksanakan praktik hukum di Indonesia. Bahkan, advokat asing pun tidak dapat berlitigasi di hadapan pengadilan Indonesia. Menurutnya, ruang gerak lawfirm asing yang ada perlu disempurnakan aturannya dalam RUU Advokat.

“Bahkan menurut saya, mereka seharusnya juga tidak bisa beracara di suatu lembaga arbitrase yang prosedur arbitrasenya juga tunduk pada hukum acara perdata di Indonesia,” imbuhnya.

Presiden Kongres Advokat Indonesia  (KAI), Tjoetjoe S Hernanto, berpandangan aturan terhadap lawfirm asing perlu diatur dalam RUU Advokat. Sayangnya masih terdapat persoalan, kata Tjoetjoe, yakni aturan terhadap lawfirm pun belum diatur secara detil dalam UU 18/2003.

“Makanya saya bersama teman-teman sempat menggagas pembentukan organisasi lawfirm. Kalau sekarang  yang ada kan organisasi advokat, harusnya ada organisasi lawfirm-lawfirm,” ujarnya.

Ia menilai dengan adanya aturan dan keberadaan organisasi lawfirm setidaknya terdapat klasifikasi level kantor hukum. Ia mencontohkan seperti hotel yang memiliki kelas seperti bintang 1 hingga 5. Dengan begitu, ke depan nantinya terdapat aturan lawfirm mana saja yang dapat mempekerjakan pekerja asing, dan mana yang belum boleh.

Dikatakan Tjoetjoe, dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) aturan terhadap lawfirm asing diperlonggar. Pasalnya, dengan era globalisasi membuka peluang bagi advokat lokal untuk bersaing dengan advokat asing, begitu pula sebaliknya. Menurutnya, Pasal 23 UU Advokat sudah tidak relevan untuk dipertahankan. Pasalnya dengan diberlakukannya MEA, pekerja asing pun dapat masuk ke Indonesia untuk bersaing, begitu pula sebaliknya warga negara Indonesia dapat melakukan hal serupa.

“Jadi kenapa takut. Tidak fair rasanya kalau tidak memperbolehkan mereka di era MEA,” imbuhnya.

Pasal 23 (1) menyatakan, “Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia”. Ayat (2) menyatakan, “Kantor Advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin Pemerintah dengan rekomendasi Organisasi Advokat”.

Ayat (3) menyatakan, “Advokat asing wajib memberikan jasa hukum secara cuma-cuma untuk suatu waktu tertentu kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum”. Sedangkan ayat (4)  menyebutkan, “Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara memperkerjakan advokat asing serta kewajiban memberikan jasa hukum secara cuma-cuma kepada dunia pendidikan dan penelitian hukum diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri”.

Sementara Sekretaris Jenderal (Sekjen) PERADI kubu Juniver Girsang, yakni Hasanuddin Nasution mengamini dilakukannya revisi terhadap UU Advokat. Hanya saja, revisi lebih fokus terkait dengan advokat asing. Ia berpandangan tak adanya dasar hukum yang kuat terhadap keberadaan advokat asing. Ujungnya, advokat asing melakukan pratik secara sembunyi-sembunyi. “Advokat asing harus dikoreksi. Sekarang pengawasan terhadap mereka kita tidak bisa apa-apa,” ujarnya.

Lebih jauh, Hasanuddin berpendapat pengawasan terhadap advokat asing mesti diberikan kepada organisasi advokat. Pasalnya Kementerian Hukum dan HAM sebatas memberikan rekomendasi, lantaran lembaga negara. Namun, terkait dengan profesi menjadi ranah organisasi advokat. “Di dalam itu (UU Advokat, -red)  hanya disebutkan advokat asing dalam melaksanakan profesi di Indonesia tidak boleh beracara. Sebelum dia menjalankan profesinya dia harus mendapatkan rekomendasi dari kita,” imbuhnya.

standardisasi lawfirm
Aturan keberadaan lawfirm yang mesti diatur dalam RUU Advokat, kata Tjoetjoe, yakni standardisasi kantor hukum. Pasalnya, dengan tidak diaturnya aturan lawfirm dalam UU 18/2003 menjadikan advokat yang belum memiliki jam terbang dapat mendirikan kantor hukum. Menurutnya, pihak yang dapat mendirikan kantor hukum mesti memiliki pengalaman, misalnya 5-10 tahun menjalani profesi advokat.

“Apakah advokat baru bisa mendirikan lawfirm, kan harus ada syarat-syaratnya.  Siapa yang dapat mendirikan lawfirm, kalau baru satu tahun menjadi advokat harusnya tidak boleh. Lawfirm itu kan membuat legal opinion. Jadi harus ada pengalaman,” ujarnya.

Selain itu adanya aturan terkait transaksi tunai yang dilakukan oleh lawfirm. Tujuannya, agar kantor hukum dapat diaudit dalam rangka memudahkan melakukan pembayaran pajak. Selain itu, mengurangi potensi oknum advokat menggunakan keuangan untuk melakukan suap-menyuap. Nah, dengan adanya aturan itu setidaknya dapat menjaga profesi advokat  dalam menjalankan tugas dan kewajibannya memberikan bantuan hukum terhadap masyarakat pencari keadilan.


Tags:

Berita Terkait