Ahok "Kecele" UPS Masuk dalam Perda APBD-P yang Ditandatanganinya
Utama

Ahok "Kecele" UPS Masuk dalam Perda APBD-P yang Ditandatanganinya

Ahok mengaku, jika tahu dari awal, semua sudah ditempeleng.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ahok saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/2). Foto: RES
Ahok saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/2). Foto: RES
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengaku tidak mengetahui kapan usulan anggaran Uninterruptible Power Supply (UPS) muncul dalam pembahasan APBD-P 2014. Pria yang akrab disapa Ahok ini mengatakan, apabila mengacu Kebijakan Umum APBD-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), UPS sama sekali tidak ada.

"UPS itu sama sekali nggak prioritas. Bahkan untuk bidang pendidikan, rehabilitasi gedung sekolah pun nggak ada. Padahal, yang prioritas itu tentu sekolah. Ada juga Puskesmas, pembebasan lahan, pembelian tanah, prioritas bebas banjir, dan macet," katanya saat bersaksi dalam sidang Alex Usman di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/2).

Ahok menjelaskan, pembahasan anggaran itu dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), dan DPRD DKI Jakarta. Sebelum melakukan pembahasan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) terlebih dahulu membuat Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk dijadikan acuan.

Program-program dalam RKPD itulah yang dibawa TAPD dalam pembahasan di DPRD. Menurut Ahok, jika ada penambahan atau pengurangan yang tidak sesuai RKPD, seharusnya tidak bisa masuk dalam pembahasan. Contohnya, saat ada program pembelian sapi yang lupa dimasukan dalam RKPD, ia pun tidak bisa memaksa memasukan.

Entah bagaimana UPS yang tidak ada dalam RKPD bisa masuk dalam APBD-P 2014. Ahok menduga UPS ini sebagai dana siluman. Ahok sendiri awalnya tidak menyadari UPS masuk dalam RAPBD-P 2014. Ia juga tidak mengetahui soal hasil evaluasi yang diberikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kepada TAPD.

Ahok beralasan hasil evaluasi itu didisposisikan kepada TAPD. Ia pun tidak pernah mendapat laporan dari TAPD bila sebenarnya RAPBD-P 2014 ditandatangani Ketua DPRD tanpa adanya pembahasan dengan TAPD. Oleh karena itu, saat disodorkan surat yang sudah diparaf, Ahok langsung menyetujui. "Saya pikir (TAPD) nggak mungkin main," ujarnya.

Alhasil, Ahok membuat surat kepada Ketua DPRD  yang meminta agar pimpinan dewan segera menyetujui RAPBD-P 2014 pada 21 Oktober 2014. Dalam surat itu, ada kalimat, "merujuk pada evaluasi Kemendagri", sedangkan Ahok sebelumnya mengaku tidak mengetahui hasil evaluasi Kemendagri karena langsung didisposisikan ke TAPD.

Menjawab hal ini, Ahok menyatakan bahwa format yang tercantum dalam surat itu sudah format baku. Bahkan, ia menyebutkan, surat di tahun-tahun setelahnya juga mencantumkan format serupa. Lantaran sebelumnya sudah ada paraf, Ahok tidak curiga jika ada yang tidak beres dalam pembahasan RAPBD-P 2014.

Setelah APBD-P 2014 disetujui, Ahok yang ketika itu menjabat Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta menandatangani Peraturan Daerah (Perda) No.19 Tahun 2015 tentang APBD-P 2014 2014 untuk selanjutnya diajukan ke Menteri Dalam Negeri. Saat menerbitkan Perda pun Ahok masih belum mengetahui adanya ketidakberesan.

Sampai akhirnya, pengadaan UPS untuk sejumlah sekolah dilaksanakan. Ahok baru mengetahui adanya ketidakberesan setelah ada ribut-ribut soal APBD-P 2014. Ia memanggil dan menanyakan kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), mengapa bisa ada kode nomenklatur dan nama rekening untuk UPS.

"Itu tugas Bappeda. (Kalau UPS tidak diusulkan sekolah dan SKPD, serta tidak dibahas bersama TAPD) Seharusnya bisa potong. Jadi, waktu itu saya panggil, tapi dia nggak ngaku. Katanya, ada anak buah yang main. Makanya saya pecat semua," ucap Ahok. Ia menambahkan, "Kalau (sejak) awal tahu, sudah saya tempeleng semua".

E-budgeting
Ahok menilai masuknya anggaran "siluman" UPS karena ketiadaan e-budgeting untuk menguji apakah benar APBD/APBD-P yang diajukan ke Kemendagri itu sudah sesuai dengan hasil pembahasan bersama antara TAPD dan DPRD. Ahok baru menyadari adanya celah untuk mengotak-atik APBD/APBD-P ketika ia dituduh DPRD memalsukan APBD 2015.

Ketika itu, Ahok mendapati dua versi APBD 2015 yang berbeda. Pertama, versi Ahok dan kedua versi DPRD. Ia menguji kedua versi tersebut dengan e-budgeting. Ternyata, versi Ahok lah yang benar. Ia menemukan anggaran yang semula tidak diusulkan, ada di dalam APBD versi DPRD, sehingga mencoret  anggaran itu untuk selanjutnya dituangkan menjadi Peraturan Gubernur.

"Saat saya tanya, semua bilang nggak tahu. Saya marah besar ada dokumen ganda. Makanya sampai saya tulis (di APBD versi DPRD) "ini pemahaman nenek lo". Dari situ kita (Ahok dan DPRD) berantem. Yang jelas, yang terbaik itu APBD 2016 dan APBD-P 2015 (sudah pakai e-budgeting). Kalau APBD-P 2014 itu menyalahi standar penyusunan anggaran," terangnya.

Pencitraan
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana yang turut hadir di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk menyaksikan Ahok, mengatakan kesaksian Ahok seolah ingin memberatkan dirinya sendiri. Ia meminta Ahok jujur dan tidak mengumbar pencitraan. "Jangan pamer pencitraan berantas korupsi, tapi di dalam pemerintah daerah itu ada korupsi," tuturnya.

Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang akrab disapa Lulung ini menduga dana "siluman" UPS muncul di eksekutif. Pasalnya, kode nomenklatur dan nama rekening UPS dibuat oleh pihak eksekutif, bukan DPRD. Kemudian, yang lebih mengherankan, Kemendagri sama sekali tidak mengevaluasi penganggaran untuk UPS.

Apabila UPS tidak ada dalam RPKD dan tiba-tiba muncul dalam hasil pembahasan di DPRD, tentu Kemendagri akan mengevaluasi. Nyatanya, menurut Lulung, Kemendagri tidak pernah mengevaluasi UPS. Oleh karena itu, ia berharap Ahok tidak menutup-nutupi. "Ahok sudah tidak boleh main-main," tandasnya.

Sebagaimana diketahui, Kasi Prasarana dan Sarana pada Suku Dinas Pendidikan Menengah (Sudin Dikmen) Kota Administrasi Jakarta Barat, Alex Usman, bersama-sama sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta dan pihak swasta didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan UPS di 25 SMAN/SMKN tahun anggaran 2014.

Akibat kongkalingkong yang diduga dilakukan Alex, anggota Komisi E dan Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta, Fahmi Zulfikar, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta H M Firmansyah, serta pihak PT Offistarindo Adhiprima dalam memuluskan penganggaran dan pengadaan UPS, kerugian negara ditaksir mencapai Rp81,433 miliar.

Tags:

Berita Terkait