Ada Celah Dokter Terlibat dalam Praktik Jual-Beli Organ
Berita

Ada Celah Dokter Terlibat dalam Praktik Jual-Beli Organ

Kebanyakan praktik jual beli organ melibatkan calo sebagai perantara. Namun, ada kemungkinan dokter terlibat meskipun tidak langsung.

Oleh:
KAR/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi jual beli organ: BAS
Ilustrasi jual beli organ: BAS
Praktik jual-beli organ tubuh manusia sebenarnya sudah lama terjadi. Hanya saja aktivitas tersebut terjadi di bawah permukaan, sehingga sangat sulit untuk membuktikan adanya transaksi komersial dalam transplantasi organ. Hal ini diungkapkan Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, dr. Kartono Mohamad, kepada hukumonline di Jakarta, Kamis (4/2).

Menurut Kartono, sulitnya pembuktian karena kebanyakan donor akan mengaku bahwa dirinya tidak menjual organ. Hanya saja, atas jasanya memberikan organ tersebut, di kemudian hari yang bersangkutan mendapatkan hadiah sebagai ucapan terima kasih dari pihak pasien.

“Kalau mereka bilang tidak ada jual-beli, susah juga kita buktikan,” ujar Kartono.

Kartono melihat para donor organ yang bukan keluarga memang biasanya berasal dari keluarga miskin. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang sudah putus asa untuk mendapatkan uang. Sehingga, iming-iming imbalan sejumlah uang akan sangat mudah membuat mereka rela menyerahkan organ tubuhnya.

Kartono mengisahkan, biasanya praktik jual-beli organ melibatkan pihak perantara. Sebab, donor yang kebanyakan berasal dari kalangan ekonomi lemah tidak memahami birokrasi rumah sakit. Perantara tersebut, menurut Kartono bisa saja orang luar sama sekali yang memahami seluk beluk rumah sakit dan berprofesi sebagai calo.

“Bisa saja dari oknum orang dalam rumah sakit. Tetapi kebanyakan perantaranya memang para calo yang bukan pekerja rumah sakit,” kata Kartono.

Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri telah menetapkan tiga orang yang disangka melakukan penjualan organ ginjal. Mereka diduga menawarkan uang sekitar Rp50 juta kepada para korban yang merupakan masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke bawah jika mau menyerahkan ginjal mereka. Kemudian, ginjal para korban itu dijual kepada pembeli sekitar Rp200 juta hingga Rp300 juta.

Lelaki yang merupakan penggagas Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEKI) saat dirinya menjadi Ketua Ikatan Dokter Indonesia ini mengakui, ada celah bagi para dokter bisa terlibat dalam jual-beli organ. Celah keterlibatan itu menurutnya adalah jika dokter menginformasikan kepada pihak lain yang tidak berkepentingan, seperti calo, bahwa ada pasien kaya yang membutuhkan organ tertentu.

“Sebagai tenaga profesional dokter seharusnya hanya bertugas untuk melakukan transplantasi saja. Tidak perlu terlibat dalam praktik semacam itu,” tuturnya.

Kendati demikian, Kartono mengatakan bahwa keterlibatan dokter dalam jual-beli organ sangat sulit ditelusuri. Selain itu, sanksi pidana yang mengancam pun hanya menjerat orang-orang yang melakukan transaksi jual-beli. Sementara itu, dokter yang tidak terlibat langsung sebagai penjual atau pembeli hanya dikenakan sanksi etik.

Sebagaimana diketahui, di dalam Pasal 64 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diatur bahwa transplantasi organ atau jaringan tubuh hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan. Secara tegas ayat (3) pasal tersebut menyebut bahwa organ maupun jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun. 

Pelanggaran atas larangan jual-beli organ ataupun jaringan tubuh diancam dengan sanksi pidana. Tak tanggung-tanggung, orang yang terbukti melakukan jual-beli organ bisa dipenjara hingga sepuluh tahun. Selain itu, ada pula ancaman hukuman denda bagi pelaku jual-beli organ senilai Rp1 miliar.

Untuk mencegah terjadinya praktik jual-beli organ, Kartono mengatakan perlu ada mekanisme kontrol yang berjalan dengan baik. Ia menyebut, kontrol itu harus dimulai dengan keterbukaan informasi di koperasi pencangkokan organ. Harus ada penjelasan dari mana organ-organ yang tersedia itu bisa didapatkan. Sebab, hingga saat ini tak pernah ada penjelasan ihwal cara mendapatkan organ-organ yang bisa dicangkok di rumah sakit.

Selanjutnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan harus aktif melakukan pengawasan. Ia memandang perlunya keterlibatan Kemenkes dalam memantau penyediaan organ untuk di cangkok di rumah sakit. Sebab, menurutnya jika tidak ada pengawasan maka praktik memilukan penjualan organ bisa saja terus terjadi.

“Polisi juga bisa saja dilibatkan. Kalau ada indikasi jual-beli organ yang memang melanggar aturan, aparat bisa menindak pelaku,” katanya.

Bantah terlibat
Terpisah, Direktur Utama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menegaskan bahwa pihaknya tidak terlibat dalam dugaan praktik perdagangan organ ginjal."Kalau masalah jual beli, itu di luar skup RS. Kami hanya melakukan proses transplantasi sesuai prosedur," kata Dr. dr. C. H. Soejono, Sp. PD,K-Ger.

Ia menjelaskan, selama ini RSCM telah memiliki tim advokasi transplantasi ginjal yang bertugas menyeleksi calon pendonor ginjal untuk mencegah kemungkinan terjadinya praktik jual beli ginjal.Seleksi tersebut berupa wawancara mendalam untuk mengetahui bahwa tindakan pendonor untuk mendonorkan ginjal ini dilakukan tanpa adanya tekanan.

"Calon donor harus diperiksa dulu, dinilai apakah dia sudah dewasa, punya gangguan mental atau tidak, berada dibawah tekanan apa tidak, cakap dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri atau tidak, rencana usai operasi kedepannya bagaimana," katanya.

Tim tersebut terdiri atas beberapa orang dokter di antaranya psikiater forensik, ahli ginjal dan ahli medikolegal. Mereka bertugas untuk mengecek kesehatan fisik dan mental pasien calon pendonor.

Soejono mengatakan, tidak semua pengajuan operasi transplantasi ginjal ke RSCM diterima. Pihaknya mencatat ada sebanyak 30 persen pengajuan operasi transplantasi ginjal di RSCM, ditolak karena tidak lolos tahap verifikasi tim advokasi.

"Tiga puluh persen kami tolak karena ada yang ketahuan berbohong, ada yang ternyata pengguna (narkoba). Tujuan kami melindungi, mencegah supaya calon pendonor betul-betul murni dari hatinya untuk menolong orang," katanya.

Selain verifikasi dari tim advokasi, RSCM juga menilai berkas riwayat kesehatan dari calon pendonor untuk memastikan bahwa yang bersangkutan layak untuk menjalani operasi transplantasi ginjal.

Tags:

Berita Terkait