RJ Lino Yakin Diskresinya Tak Melanggar Aturan
Berita

RJ Lino Yakin Diskresinya Tak Melanggar Aturan

Membuat diskresi memang kewenangan Lino selaku Direktur Utama Pelindo II.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Tersangka korupsi pengadaan QCC Pelindo II tahun 2010, Richard Joost Lino menjalani pemeriksaan perdana di Gedung KPK, Jumat (5/2). Mantan Dirut Pelindo II itu sebelumnya batal diperiksa karena mengalami sakit jantung ringan.
Tersangka korupsi pengadaan QCC Pelindo II tahun 2010, Richard Joost Lino menjalani pemeriksaan perdana di Gedung KPK, Jumat (5/2). Mantan Dirut Pelindo II itu sebelumnya batal diperiksa karena mengalami sakit jantung ringan.
Mantan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost Lino melalui pengacaranya, Maqdir Ismail mengatakan bahwa diskresi atau kebijakan yang diambilnya dalam proses pengadaan Quay Container Crane (QCC) tahun 2010 sudah sesuai aturan. "Saya kira semua sudah sesuatu aturan," kata Maqdir di KPK, Jumat (5/2).

Pernyataan itu disampaikan Maqdir usai mendampingi Lino yang diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan QCC Pelindo II tahun 2010. Lino diduga memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya, sehingga mengakibatkan kerugian negara.

Namun, Maqdir membantah tuduhan tersebut. Ia juga membantah jika Lino melakukan intervensi dalam proses pengadaan. Maqdir menjelaskan, perubahan peraturan yang dibuat Lino bukan sebagai bentuk intervensi, melainkan untuk menyesuaikan peraturan pengadaan Pelindo dengan peraturan Kementerian BUMN.

Dalam peraturan sebelumnya, pengadaan tidak boleh melibatkan pihak luar negeri. Kemudian, Lino mengubah peraturan dengan membuka peluang bagi perusahaan luar negeri untuk mengikuti lelang pengadaan di Pelindo II. Masalahnya, kala itu, tidak ada satu pun perusahaan dalam negeri yang mampu membuat QCC.

Akhirnya, Lino melakukan penunjukan langsung perusahaan asal Cina, Wuxi Huang Dong Heavy Machinery (HDMD) Co Ltd sebagai penyedia tiga unit alat bongkar muat peti kemas, dalam hal ini QCC untuk tiga pelabuhan di Indonesia. Menurut Maqdir, penunjukan langsung itu diperkenankan oleh peraturan Pelindo II dan Perpres.

"Kalau orang mengambil kebijakan, itu tidak bisa disebut intervensi. Sebab, kebijakan itu sesuai dengan tupoksi. Kalau orang nggak punya tupoksi melakukan sesuatu, baru kita sebut intervensi. Bagaimana pun juga terhadap hal seperti ini adalah kewajiban Direktur Utama untuk bertanggung jawab kepada pemegang saham," ujanya.

Terlebih lagi, lanjut Maqdir, perubahan aturan itu sudah dilaporkan ke pemegang saham Pelindo II. Nyatanya, pemegang saham pun tidak mempermasalahkan. Begitu pula tindakan Lino yang mengubah spesifikasi muatan dari 40 menjadi 60 tonase. Maqdir menyatakan, perubahan spesifikasi itu demi kebaikan dan kepentingan perusahaan.

Dengan demikian, Maqdir berpendapat, diskresi yang diambil Lino dalam pengadaan QCC tahun 2010 tidak melanggar aturan. "Kalau Direktur Utama nggak punya hak, nggak punya diskresi, ya nggak perlu jadi Direktur Utama. Jadi, yang pokok adalah apakah dia menerima atau mendapatkan sesuatu dari perubahan itu," ucapnya.

Mengenai pemilihan HDMD sebagai penyedia QCC, Maqdir menegaskan tidak ada masalah, meski HDMD merupakan bekas vendor di PT Aneka Kimia Raya (AKR) Guangxi, dimana dulu Lino menjabat sebagai Direktur. "Apa salahnya? Nggak ada salahnya kan? Siapapun kan bisa (ditunjuk sebagai penyedia pengadaan)" tuturnya.

KPK menetapkan Lino sebagai tersangka karena diduga secara melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya melakukan penunjukan langsung terhadap HDMD dalam pengadaan QCC tahun 2010. Atas perbuatannya, Lino disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebenarnya, dugaan korupsi pengadaan QCC yang sekarang disidik KPK pernah dipermasalahkan oleh Serikat Pekerja Pelindo II pada 2014. Ketika itu, Serikat Pekerja menolak penunjukan Lino kembali sebagai Direktur Utama Pelindo II karena selama masa kepemimpinan Lino perode 2009-2014 diduga banyak penyelewengan.

Dugaan penyelewengan itu telah disampaikan ke Kementerian BUMN. Dimana, berdasarkan hasil audit investigasi BPKP  tanggal 1 April 2011 tentang Investigasi Pengadaan Tiga Unit QCC, Lino diduga secara melawan hukum melakukan penunjukan langsung HDHM sebagai penyedia kegiatan pengadaan tiga unit QCC yang ditaksir merugikan negara sekitar AS$3,1 juta. 
Tags:

Berita Terkait