Gagal Masuk KPK, Surya Tjandra ‘Berjaya’ di Leiden
Liputan Eksklusif

Gagal Masuk KPK, Surya Tjandra ‘Berjaya’ di Leiden

Oleh:
ALI SALMANDE
Bacaan 2 Menit
Surya Tjandra. Foto: RES
Surya Tjandra. Foto: RES
Sebuah lagu bernada mirip dengan lagu “Internationale” berkumandang di sebuah aula di Academiegebouw (Academy Building) kampus Universiteit Leiden, Kamis (4/2). Di sana tidak lagi sedang digelar demonstrasi buruh, meski lagu itu sering diidentikkan sebagai lagu kaum buruh sedunia. Lagu itu dimainkan untuk merayakan keberhasilan Surya Tjandra, aktivis dan ahli hukum perburuhan yang baru saja meraih gelar PhD dari Universiteit Leiden.

Surya melalui disertasi yang bertajuk “Labour Law and Development in Indonesia” memang menuai pujian dari profesornya dalam sidang disertasi. Ia pun dihadiahi lagu tersebut oleh koleganya di Van Vallenhoven Institute (VVI). Adalah dosen senior sekaligus pembimbing, Prof. Adriaan Bedner yang menggubah lirik lagu tersebut sesuai dengan perjalanan hidup Surya dan memimpin lagu itu dimainkan melalui iringan piano.  

Misalnya, saat lagu itu menyinggung kegagalan Surya dalam seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Dewan Perwakilan Rakyat. “Arise o Surya from your slumber, forget about the KPK. Let science now furthermore encummber, both your thoughts and what you say,” demikian salah satu bait dari lirik lagu itu.

Surya pun seksama menyimak lagu itu dimainkan sambil sesekali tersenyum. Kepada Hukumonline, Surya mengaku mendapat kehormatan dengan dimainkannya lagu itu untuk dirinya. Ia menjelaskan bahwa di Van Vallenhoven Institute Universiteit Leiden memang ada tradisi pembuatan lagu bagi yang baru selesai mempertahankan disertasinya. Namun, yang berbeda, kali ini adalah lagu internationale.

“Itu tradisi biasa. Semua yang lulusan situ memang dibuatin lagu. Yang tak biasa memang  lagu internationale. Saya merasa terhormat. Ini kan lagu universal bagi semua orang kaum proletar. Dan dia bikin syair menarik. Itu yang saya pikir mengesankan,” jelasnya.

“Dia ngerti dan menjelaskan memahami siapa saya dan mengekspresikan dengan lagu, itu suatu kehormatan,” tambahnya.

Surya memang layak mendapat kehormatan tersebut. Walau gagal dalam seleksi pimpinan KPK beberapa bulan lalu di DPR, Surya berhasil membuktikan kehandalannya dalam bidang hukum perburuhan dengan menggondol gelar PhD (Doktor) dari Universiteit Leiden.

Lebih lanjut, Surya sempat menceritakan secara singkat isi disertasinya yang dikerjakan sejak 2004 (walau tidak dikerjakan secara full time) ini. “Ini tentang hukum perburuhan pasca reformasi. Jadi, cerita tentang bagaimana perubahan pembuatan hukum, proses dan dampaknya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Surya menjelaskan bahwa pasca reformasi ada tiga undang-undang inti yang berkaitan dengan perburuhan, yakni, UU No.21 Tahun 2000 tetang Serikat Pekerja dan Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Nah, tiga UU ini lah yang jadi fokus dari disertasi Surya.

Salah satu tema yang diangkat Surya dalam disertasi ini adalah mengenai keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Ia mengakui bahwa ada banyak desakan agar keberadaan PHI ditinjau ulang. Namun, lanjutnya, ketika berbicara mengenai hal ini, maka perlu dipahami terlebih dahulu masalah yang ada di dalam tubuh PHI sekarang.

“Kalau saya pribadi, kita harus mulai dengan mengevaluasi PHI yang sekarang kayak apa. Kekuatan dan kemenahannya gimana,” ujarnya.

Surya berkesimpulan bahwa PHI didirikan memang bukan untuk berhasil. “Di disertasi saya diceritakan salah satu argumennya PHI di bikin dari awal untuk gagal. Dia punya masalah karena ditaruh di bawah pengadilan negeri. PN Ini belum beres. Masih korup,” jelasnya. 

Lebih lanjut, Surya berpandangan sistem yang berlaku sekarang akan berhasil kalau sistem peradilan sudah beres. Namun, bila belum, maka cara selanjutnya adalah membuat sistem tersendiri bagi peradilan hubungan industrial yang terpisah dari peradilan negeri. “Misalnya, sistem acara sendiri, pengadilan tersendiri, hakimnya pun full time sendiri,” tegasnya.

Itu pula yang menjadi alasan penolakannya ketika ditanya apakah berminat kelak menjadi hakim PHI di Mahkamah Agung (MA), pasca mencoba peruntungan di seleksi pimpinan KPK. “Nggak, saya kalau pun mau jadi hakim, ya jadi hakim MK aja sekalian. Saya pikir hakim PHI di MA itu kurang punya pengaruh,” tukasnya. 

Meski begitu, ia mendorong rekan-rekannya sesama aktivis untuk ikut bertarung mengisi posisi-posisi jabatan publik. “Jabatan publik perlu ada yang mencoba dari kita-kita yang relatif punya jarak dari kekuasaan yang hadir karena relatif bisa memberi harapan dan gaya baru. Saya pikir perlu,” ujarnya.

“Kalau saya sendiri dan teman-teman aktivis anti korupsi sedang merancang program penguatan kapasitas masyarakat untuk pencegahan korupsi. Ini benar-benar bikin gerakan sosial untuk pencegahan korupsi. Mulainya dari yangg saya kenal, yakni: buruh, tani, nelayan, kaum miskin kota,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait