Handoko Wibowo: Rela Tutup Law Firm Demi Dampingi Petani
Berita

Handoko Wibowo: Rela Tutup Law Firm Demi Dampingi Petani

Awalnya, Handoko sempat bercita-cita ingin menjadi desainer.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Handoko Wibowo saat menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award beberapa waktu lalu. Foto: RES
Handoko Wibowo saat menerima penghargaan Yap Thiam Hien Award beberapa waktu lalu. Foto: RES
Lebih memilih bekerja dalam sunyi dan jauh dari sorotan media membuat nama Handoko Wibowo, aktivis yang senantiasa mendampingi petani dalam memperjuangkan hak-haknya itu, tak banyak dikenal orang. Meski begitu, hal tersebut tak menghalangi kiprah Handoko, bahkan hingga terdengar ke telinga orang-orang di Yayasan Yap Thiam Hien saat hendak mempersiapkan penjurian untuk Yap Thiam Hien Award 2015.

Handoko pun keluar sebagai penerima anugerah tersebut dan menyisihkan belasan nama lainnya. Siapa sebenarnya sosok Handoko Wibowo ini? Di Malam Penganugerahan Yap Thiam Hien Award yang digelar di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (20/1), Handoko bercerita soal kisah hidupnya.

Lahir di Pekalongan, 9 November 1962, Handoko merupakan anak dari seorang pengusaha cengkeh sukses di kampungnya, Batang, Jawa Tengah. Ayah Handoko yang semula hanya bekerja sebagai sopir dipercaya untuk mengelola uang oleh majikannya sehingga akhirnya lewat kerja keras itu ayahnya menjadi orang yang serba cukup.

Namun, di balik kesuksesan yang dimiliki sang ayah, ternyata tersimpan cerita miris yang membayangi dan memaksa Handoko akhirnya menempuh pendidikan hukum hingga menjadi seorang advokat. Ayah Handoko pernah dituduh sebagai bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dikurung selama tiga bulan pada 1965.  Walaupun tidak terbukti bersalah dan terbebas dari tuduhan PKI, hingga akhir hayatnya, ayah Handoko kerap jadi ‘sapi perasan’.

Ayah Handoko juga pernah berurusan dengan mafia peradilan terkait tanah yang dibelinya sekitar tahun 1974. Dengan tujuan memohon pendampingan untuk menghadapi kasus yang menimpanya, berangkat lah sang ayah ke kantor Yap Thiam Hien. Sayangnya Yap menolak dan mengatakan ‘kasus ini menarik dan kasihan, tapi terlalu jauh Jakarta ke Batang sana.’

“Karena itu, akhirnya bapak nyampein gini, ‘kamu itu harus sekolah hukum. Percuma kalau nggak sekolah hukum. Kamu kaya seperti apapun kayak bapakmu ini, toh tetep selalu dihina orang. Selalu diperas orang.’ Nah, terpaksa lah saya sekolah hukum,” tuturnya dengan logat Jawa di atas panggung.

Padahal Handoko sudah punya mimpi dan cita-cita sendiri waktu itu. Ia ingin pergi ke Paris, Perancis untuk mengambil sekolah desainer selama dua tahun begitu lulus dari SMA. Padahal, keinginannya tersebut pernah diamini sang ayah. Namun, saat tantenya datang, tantenya mengatakan kepada Handoko bahwa desainer itu sama seperti tukang jahit.

“Bapak yang sebelumnya sudah mempertimbangkan pilihan saya sekolah desainer kemudian ngomong, ‘eh kamu mau sekolah desainer jauh-jauh ke Paris ngapain? Sana ke Pak Ikhsan di belakang rumah tuh. Belajar jahit sana!’ kata bapak,” cerita Handoko yang disambut gelak tawa dari seluruh tamu malam itu.

10 Tahun Jadi Advokat
Handoko berhasil menyelesaikan kuliahnya di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah dan meraih gelar Sarjana Hukum pada tahun 1987. Berselang empat tahun setelahnya ia pun berhasil memperoleh izin beracara sebagai advokat. Namun malang, di tahun yang sama perusahaan cengkeh keluarganya bangkrut.

Ibu Handoko pun sempat menyicipi berada di balik jeruji besi selama satu minggu. Sejak itu tak hanya bertekad menjadi advokat untuk membantu membayar hutang-hutang keluarganya, Handoko juga bertekad tak akan memungut biaya untuk kasus-kasus pidana yang ia tangani.

“Waktu mamah bangkrut dan sempat ditahan satu minggu, saya berjanji suatu saat kalau saya jadi pengacara, nggak usah bayar lah yang pidana-pidana itu. Eh ternyata itu jadi media beriklan. Dari situ saya ya memang bisa hidup mapan. Saya bisa bayar hutang bapak saya yang macet di BRI,” ungkapnya.

Namun karier ini hanya ditekuninya selama sepuluh tahun. Di tahun 2001 Handoko mulai merasa berat karena sering terbentur antara jadwal mendampingi klien yang membayarnya atau menemani teman-teman petani yang dia bimbing di bawah naungan organisasi bernama Omah Tani.

Ia pun memutuskan mundur dari advokat, menutup law firmnya, dan fokus mendampingi para petani. Meski memilih jalan hidup yang justru jauh dari kemapanan, Handoko mengatakan, ia tidak pernah merasa perjuangannya sekarang sebagai beban. Handoko malah menilai, perbuatannya ini hanya biasa saja dan bukan sebuah pengorbanan.

“Menjadi tidak biasa karena ada ketidakmampuan kawan-kawan untuk bertahan terlalu lama. Tak heran kalau kemudian mereka gatal jadi bupati, jadi DPR, atau bahkan jadi calo kasus, calo proyek, dan sekarang mengisi ruang-ruang KPK (tersangka korupsi, RED). Itu kan karena ketidaksabaran mereka dalam situasi yang sangat sulit sekali di negara ini,” tutur Handoko.

Padahal, lanjut Handoko, Indonesia butuh lebih dari itu. Pria keturunan Tionghoa ini mengatakan, Indonesia hanya butuh orang-orang yang berani berbuat benar. “Kita berbicara di media tentang bagaimana pemerintah ini menuju kepada demokratisasi, kita konvensi peraturan ini konvensi peraturan itu, tapi pertanyaan saya adalah adakah guru yang ada di lapangan yang menjelaskan demokrasi itu apa,” kritiknya.

Dari situ lah Handoko memilih untuk berada di tengah para tetangga dan petani di Batang sejak tahun 1999. Karena jalan hidup yang dipilihnya itu juga ia bisa berorasi di tengah riuh tepuk tangan dan disaksikan oleh banyak kerabatnya malam itu.

“Berbahagia sekali orang yang punya sahabat hangat daripada punya harta melimpah,” tutupnya mengakhiri cerita dan ucapan terima kasih atas anugerah yang diberikan kepadanya.

Tags:

Berita Terkait