Mau Relokasi Perusahaan? Cermati Dulu Ketentuannya
Utama

Mau Relokasi Perusahaan? Cermati Dulu Ketentuannya

Perusahaan bisa mengikutsertakan pekerja untuk relokasi atau melakukan PHK. Transparansi rencana relokasi penting.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Begitu isu PHK massal merebak, Pemerintah sibuk mengklarifikasi. Termasuk isu perusahaan elektronik hengkang dari Indonesia. Pemerintah, baik Kementerian Ketenagakerjaan maupun Badan Koordinasi Penanaman Modal, menjelaskan yang terjadi adalah relokasi perusahaan.

Relokasi adalah peristiwa perpindahan lokasi suatu perusahaan ke tempat lain karena pertimbangan tertentu. Secara umum, relokasi dilakukan untuk efisiensi. Pertanyaan yang muncul, apa yang harus diperhatikan perusahaan sehubungan dengan kewajiban ketenagakerjaan jika ingin melakukan relokasi? Secara umum, perusahaan harus benar-benar mencermati ketentuan UU No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dosen FH Universitas Airlangga, Hadi Subhan, mengingatkan UU No. 7 Tahun 1981 telah mengatur bahwa perusahaan yang akan pindah, membuka atau menutup usahanya wajib lapor ke Dinas Ketenagakerjaan atau Kementerian Ketenagakerjaan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Perusahaan juga harus menjelaskan alasan pindah, menutup atau membuka usahanya. Untuk relokasi, perusahaan juga harus menjelaskan alasannya perpindahan domisili itu kepada pekerja. Perusahaan wajib melapor ke instansi ketenagakerjaan 30 hari sebelum pindah (relokasi), menutup atau membuka usahanya.

Perusahaan yang melakukan relokasi atau menutup usahanya, dikatakan Subhan, tidak boleh meninggalkan persoalan khususnya di bidang ketenagakerjaan. Jika memberi dampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pekerja/buruh, maka pesangon dan penghargaan harus diberikan sesuai ketentuan. “Ketika dampaknya PHK maka hak-hak pekerja/buruh harus menjadi perhatian utama,” katanya kepada hukumonline, Selasa (9/2).

Subhan menjelaskan, UU Ketenagakerjaan mengatur skema untuk perusahaan yang melakukan akuisisi, merger atau konsolidasi. Antara lain, pengusaha dapat melakukan PHK ketika terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Kewajiban yang perlu ditunaikan pengusaha yakni membayar pesangon kepada pekerja/buruh sebesar satu kali ketentuan. Namun, jika perusahaan tidak bersedia menerima pekerja maka pekerja berhak menerima uang pesangon sebesar dua kali ketentuan.

Relokasi menimbulkan dampak bagi pekerja. Misalnya, lokasi perusahaan setelah pindah jaraknya lebih jauh dari rumah pekerja. Sehingga pekerja harus berangkat kerja lebih awal dan pulang ke rumah lebih lama daripada biasanya. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur kewajiban pengusaha untuk memberi insentif kepada buruh sebagai dampak dari relokasi, tetapi menurut Subhan, bukan berarti pemberian insentif itu tidak mungkin dilakukan. Kedua pihak dapat mengaturnya dalam Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama atau kesepakatan bersama.

UU Ketenagakerjaan hanya mengatur relokasi antar daerah di wilayah Indonesia. Jika perusahaan pindah ke luar negeri, itu erarti sama saja dengan tutup. Jika alasan tutup karena merugi maka besaran peangon yang berhak diterima pekerja/buruh sebesar satu kali ketentuan. Kalau perusahaan tutup dengan alasan efisiensi, pekerja berhak menerima pesangon sebesar dua kali ketentuan.

Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemenaker, Sahat Sinurat, mengatakan relokasi pasti memberikan dampak terhadap pekerja dan keluarganya. Jika lokasi pindah masih berada di satu daerah, yang berubah biasanya jarak tempuh sehingga perusahaan perlu juga menyediakan transportasi antar jemput untuk pekerja.

Tapi jika perusahaan relokasi ke daerah lain maka perusahaan perlu menyiapkan sarana yang dibutuhkan buruh untuk pindah. Misalnya, perusahaan menyediakan mess atau tempat tinggal dan biaya pindah untuk buruh dan keluarganya.

“Paling penting diperhatikan bagi perusahaan yang ingin melakukan relokasi yakni menjalin komunikasi dengan pekerja. Kenapa perusahaan melakukan relokasi, insentif apa yang akan diterima pekerja,” ujar Sahat.

Namun, tidak semua pekerja mau ikut perusahaan relokasi. Jika itu terjadi, Sahat mengatakan perusahaan harus melakukan perundingan dengan pekerja bersangkutan. Secara umum UU Ketenagakerjaan mengatur hak-hak apa saja yang bisa diterima pekerja ketika di PHK sebagai dampak perusahaan yang berubah status, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan. Tidak jarang perusahaan yang melakukan relokasi sebagai akibat dari berubahnya status perusahaan, melakukan penggabungan atau peleburan perusahaan.

Jika perusahaan yang mau relokasi tidak ingin membawa buruh, Sahat mengatakan buruh berhak mendapat pesangon sebesar dua kali ketentuan. “Resiko hukumnya seperti itu,” tukasnya.

Menurut Sahat perusahaan perlu menyediakan fasilitas bagi pekerj yang ikut relokasi seperti tempat tinggal, biaya pindah dan insentif. Itu bisa dilihat sebagai bentuk itikad baik dan keseriusan perusahaan yang ingin melakukan relokasi. Jika perusahaan tidak menyediakan apapun maka itu bisa disebut sebagai moral hazard.

Upah yang diterima pekerja di lokasi baru harus sama dengan yang diterima selama ini. Intinya, tidak boleh merugikan buruh yang ikut relokasi. Untuk pekerja yang baru direkrut oleh perusahaan dengan masa kerja kurang dari setahun dan lajang, acuan besaran upahnya terserah kebijakan perusahaan, yang terpenting tidak dibayar lebih rendah dari upah minimum di daerah yang bersangkutan.

Sahat menjelaskan salah satu perusahaan yang melakukan merger sehingga melakukan relokasi yakni PT Panasonic Lighting Indonesia. Perusahaan elektronik asal Jepang itu relokasi dari Kawasan Industri EJIP Cikarang ke Pasuruan dan Bogor. Pihak perusahaan memberi tawaran kepada pekerja apakah mau ikut relokasi atau PHK.
Tags:

Berita Terkait