Pasal 207 KUHP Tak Tepat Digunakan dalam Sengketa Jurnalistik
Berita

Pasal 207 KUHP Tak Tepat Digunakan dalam Sengketa Jurnalistik

Pemerintah dinilai gagal jika hanya merevisi ancaman pidana pencemaran nama baik pada UU ITE. Sebaiknya UU ITE direvisi total.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar (kemeja biru), dilaporkan ke polisi karena menyampaikan opini dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC). Foto: RES
Peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar (kemeja biru), dilaporkan ke polisi karena menyampaikan opini dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC). Foto: RES
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Nawawi Bahrudin, menilai bahwa Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak tepat digunakan dalam menangani sengketa jurnalistik. Hal ini, menurutnya, karena narasumber merupakan bagian dari pertanggungjawaban media. Pemilihan narasumber tentunya sudah melewati proses redaksional, sehingga menjadi tanggung jawab media.

"Saya sangat menyayangkan tindakan polisi yang kontraproduktif terhadap kebebasan pers. Ini jelas ancaman terhadap kebebesan pers," ujarnya, di Jakarta, Selasa (9/2).

Sebagaimana diketahui, belum lama ini seorang peneliti Indonesian Legal Roundtable, Erwin Natosmal Oemar dilaporkan ke polisi karena menyampaikan opini dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC). Ia dilaporkan atas surat kuasa dari Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Erwin dianggap telah mengeluarkan pernyataan yang tidak mendasar, tendensius, dan sangat merugikan institusi Polri secara umum, serta Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Anton Charliyan.

Dewan Pers menilai bahwa acara ILC merupakan sebuah produk jurnalistik yang dilindungi oleh undang-undang. Oleh karenanya, para narasumber yang diundang untuk hadir dan bicara dalam acara tersebut pun dipilih dan diketahui oleh pemimpin redaksi. Sehingga, bila seorang narasumber dilaporkan karena opininya, maka menurut Yosep hal tersebut merupakan ancaman bagi kebebasan pers.

Nawawi mengatakan bahwa Pasal 207 KUHP tidak bisa digunakan dalam konteks pers karena memang mekanismenya berbeda. Menurutnya, sengketa jurnalistik harus diselesaikan melalui jalur alternatif terlebih dahulu sebelum masuk ranah pidana. Sehingga seharusnya perkara Erwin Natosmal Oemar dilaporkan kepada Dewan Pers, bukan kepolisian. “Lagi pula pers terbiasa menyampaikan kritik yang tajam," ujar Nawawi.

Selain itu, Nawawi melihat apa yang disampaikan Erwin dalam ILC bukanlah opini yang menghina kepolisian. Ia berpendapat bahwa opini Erwin Natosmal saat itu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah penghinaan terhadap lembaga kepolisian. Menurutnya, apa yang dikatakan oleh Erwin adalah murni pendapat pakar dan disampaikan dalam sebuah forum diskusi televisi.

Di sisi lain, Nawawi melihat bahwa pasal mengenai pencemaran nama baik memang pasal karet yang rawan disalahgunakan. Selain terdapat dalam KUHP, ia pun mengkritisi pasal pencemaran nama baik yang ada di dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE), Pasal 27. Ia pun meminta agar DPR menghapuskan secara utuh pasal tersebut.

Dalam Pasal 27 ayat (2) UU ITE diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan mentrasmisikan ataupun membuat dapat diaksesnya informasi elektronik maupun dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Pelanggaran atas pasal tersebut diancam dengan hukuman penjara enam tahun. Ketentuan tersebut rencananya akan direvisi menjadi empat tahun. Saat ini, draf revisi UU ITE sudah diterima oleh DPR.

Nawawi mengatakan bahwa pemerintah gagal jika hanya merevisi ancaman pidana pencemaran nama baik pada UU ITE. Menurutnya, pasal itu harus dihapus seutuhnya dari UU ITE. Selain penghapusan ancaman terhadap pencemaran nama baik, Nawawi juga menilai UU ITE harus direvisi total. “Pemerintah gagal jika hanya menurunkan ancaman pidana soal pencemaran nama baik itu,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo, mengingatkan bahwa ketika ada pihak yang merasa dirugikan mengenai kegiatan jurnalistik, maka ada mekanisme yang harus dilalui. Salah satunya, melalui mediasi ataupun ajudikasi dengan Dewan Pers. Pihak-pihak itu tidak bisa langsung melaporkan opini narasumber sebagai tindakan kriminal ke aparat kepolisian.

"Mestinya tidak langsung dikriminalkan, tetapi diselesaikan dulu melalui mekanisme di Dewan Pers, apakah itu sidang mediasi atau ajudikasi dan lain-lain," jelas Yosep.

Sebab, menurut Yosep, jika para narasumber yang berpendapat dalam suatu kegiatan jurnalistik itu dipidanakan, maka ke depannya tak hanya kebebasan pers yang terancam, tetapi juga para wartawan akan semakin kesulitan dalam mencari narasumber. Yosep menuturkan bahwa selain data dan fakta, wartawan sangat mengandalkan narasumber dan kerap berpendapat dengan meminjam mulut narasumber

"Kalau narasumber yang berpendapat dipenjarakan, ke depannya para jurnalis bakal susah mencari narasumber. Baik itu ahli, pengamat, pakar, dan lain-lain. Ini juga akan mengekang demokrasi atau keterbatasan menyampaikan pendapat," pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait