Berkah Saksi "Spesial" dan PMK Baru dalam Vonis Jero Wacik
Berita

Berkah Saksi "Spesial" dan PMK Baru dalam Vonis Jero Wacik

Jero berterima kasih kepada SBY dan JK.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Jero Wacik saat menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/2). Foto: RES
Jero Wacik saat menjalani sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/2). Foto: RES
Majelis hakim yang diketuai Sumpeno menghukum mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda Rp150 juta subsidair tiga bulan kurungan. Selain itu, majelis menghukum Jero dengan pidana membayar uang pengganti sebesar Rp5,073 miliar.

"Apabila uang pengganti tidak dibayar satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda terdakwa akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika tidak mencukupi, terdakwa dipidana penjara selama satu tahun," katanya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (9/2).

Sumpeno menyatakan Jero terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu alternatif kedua, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dakwaan kedua alternatif kedua, Pasal 11 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, dan dakwaan ketiga, Pasal 11 UU Tipikor.

Walau begitu, majelis tidak sependapat dengan semua perbuatan pidana yang dituduhkan penuntut umum KPK kepada Jero. Majelis membenarkan diskresi Jero yang menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) untuk kepentingannya, meski pertanggungjawaban tidak rinci dan hanya berbentuk kuitansi penerimaan.

Majelis bahkan menggunakan kesaksian meringankan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.268/PMK.05/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Dana Operasional Menteri/Pimpinan Lembaga yang baru berlaku tahun 2014 untuk mendukung pendapatnya.

Kehadiran JK sebagai saksi meringankan (a de charge) memang dianggap istimewa oleh majelis. Sumpeno, ketika itu, menyebut JK sebagai saksi "spesial" karena ia baru pertama kali memeriksa Wakil Presiden sebagai saksi. Malahan, Sumpeno sempat menskors sidang untuk berfoto bersama JK.

Rupanya, kesaksian JK ini menjadi salah satu rujukan majelis. Hakim anggota Ugo memaparkan, selain saksi-saksi dari penuntut umum, majelis perlu mengetengahkan keterangan JK yang pada pokoknya mengatakan fillosofi DOM adalah untuk membantu operasional menteri karena gaji menteri hanya Rp19 juta.

"(JK juga mengatakan) Penggunaan DOM adalah diskresi menteri yang dikeluarkan secara lumpsum. Penggunaannya pun sulit dipisahkan, dalam kapasitas selaku menteri atau pribadi. Terdakwa disebut sebagai menteri berprestasi, sehingga pada periode berikutnya diangkat kembali menjadi menteri," ujarnya.

Keterangan JK ini diperkuat pula oleh dua ahli meringankan, Dian Puji Simatupang dan I Gede Panca Astawa. Dimana, keduanya berpendapat, penerimaan DOM bersifat lumpsum dan penggunaannya tergantung pada diskresi menteri. Keduanya pun menafsirkan diskresi sebagai diskresi bebas yang lebih mengutamakan tujuan. 

“Digunakannya diskresi agar lebih efektif dan efisien, sehingga memiliki kebebasan bagaimana cara menggunakan kewenangan itu yang penting tujuannya tercapai. Diskresi tidak boleh diiuji karena tidak mungkin akan tercapai titik temu, sebab diskresi sifatnya subjektif,” terang Ugo mengutip keterangan Panca.

Selain keterangan JK dan dua ahli meringankan, majelis turut mempertimbangkan PMK No.268/PMK.05/2014 sebagai alasan untuk menunjukan bahwa PMK No.03/PMK.06/2006 tentang Dana Operasional Menteri/Pejabat Setingkat Menteri yang dijadikan patokan oleh penuntut umum belum sempurna.  

Ugo mengungkapkan, pengaturan DOM dalam PMK No.03/PMK.06/2006 multitafsir. Berbeda dengan PMK No.268/PMK.05/2014 yang mulai berlaku 31 Desember 2014, setelah Jero ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. PMK tersebut lebih fleksibel karena memberikan diskresi kepada menteri selaku pengguna DOM.

PMK itu juga mengatur 80 persen DOM diberikan secara lumpsum. Atas dasar itu, Ugo sependapat dengan pengacara Jero yang menyatakan PMK No.03/PMK.06/2006 multitafsir. “Bahkan, menurut terdakwa kalau pertanggungjawaban dengan kuitansi dianggap salah, maka asumsinya semua menteri bisa kena,” ucapnya.

Dengan demikian, majelis tidak sependapat jika Jero dianggap telah menyelewengkan DOM sejumlah Rp8,408 miliar saat menjabat Menteri Budaya dan Pariwisata (Menbudpar). Sebab, dari Rp8,408 miliar itu, yang dipergunakan Jero untuk kepentingan keluarganya hanya sejumlah Rp1,071 miliar.

Sisanya, menurut majelis, digunakan untuk kepentingan Jero dan telah dipertanggungjawabkan dengan kuitansi. Begitu pula saat Jero menjabat Menteri ESDM. Majelis tidak sependapat dengan penuntut umum yang menyatakan Jero telah melakukan pemerasan sejumlah Rp10,381 miliar.

Majelis menilai, Jero hanya terbukti menerima Rp1,44 miliar sebagai kelebihan penerimaan DOM yang ternyata berasal dari kickback para rekanan. Jero juga menerima pembiayaan dari Kementerian ESDM untuk acara ulang tahunnya dan istrinya, Triesna, serta peluncuran buku di Hotel Dharmawangsa sejumlah Rp1,991 miliar.

Di samping itu, Jero terbukti menerima pembayaran untuk bantuan operasional Daniel Sparringa sejumlah Rp610 juta. Jero terbukti pula menerima Rp349,065 juta dari Komisaris Utama grup perusahaan PT Trinergy Mandiri Internasional, Herman Afif Kusumo yang merupakan Wakil Ketua Umum Bidang Energi dan Pertambangan KADIN.

Sebelum menjatuhkan putusan, majelis terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan meringankan. Salah satu hal meringankan adalah Jero telah mendapat apresiasi atas keberhasilannya selama menjabat sebagai menteri, baik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Hal meringankan lainnya, Jero selaku Menbudpar dan Menteri ESDM telah memberikan kontribusi dalam meningkatkan devisa negara, serta perbuatan Jero dianggap bukan semata-mata kesalahannya, tetapi karena kurang kontrolnya Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM selaku Kuasa Pengguna Anggaran.

Menanggapi putusan, Jero mengaku masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Jero juga berterima kasih kepada SBY dan JK yang mengapresiasi kinerjanya selama menjadi mentero. Selain itu, Jero sependapat dengan majelis yang menyatakan bahwa hal ini terjadi karena kurangnya kontrol terhadap bawahannya.

Diskresi
Penuntut umum KPK, Dody Sukmono mengatakan pihaknya menghormati putusan majelis, meski putusan itu masih jauh dari tuntutan jaksa, yaitu sembilan tahun penjara dan uang pengganti Rp18,79 miliar. Ia juga mengatakan ada beberapa pertimbangan majelis yang tidak sesuai, khususnya mengenai diskresi dan pertanggungjawaban DOM.

“Ini masalahnya penafsiran. Kalau kami tetap berpijak pada aturan yang berlaku saat itu (PMK No.03/PMK.06/2006). Yang namanya diskresi, menteri boleh melakukan apapun sesuai dengan kewenangannya. Tapi ingat, dia tidak bisa menggunakan (DOM) dengan cara semau-maunya, harus ada koridornya,” tuturnya.

Pada prinsipnya, Dody menilai DOM merupakan uang negara yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, penggunaan dan pertanggungjawabannya pun harus tunduk pada aturan-aturan pengelolaan keuangan negara.

Akan tetapi, lanjut Dody, majelis menafsirkan bahwa pertanggungjawaban DOM selesai hanya dengan menandatangani kuitansi penerimaan. Padahal, sesuai aturan pengelolaan keuangan negara, pertanggungjawaban harus dibuat rinci dengan menyertakan bukti-bukti pembelanjaan. Hal itu sesuai dengan penghitungan ahli dari BPK.

“Undang-undang kan memberi waktu kami untuk pikir-pikir selama tujuh hari. Kami akan menyampaikan dulu hasilnya kepada pimpinan, baru ditentukan upaya hukum berikutnya. Tuntutan kami sembilan tahun dan ini diputus empat tahun meski dakwaan terbukti semua. Hanya masalah strafmaat-nya,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait