Bila merujuk konstitusi, tidak terdapat amanat untuk pembuatan aturan tentang Jabatan Hakim. Namun, merujuk perbandingan dengan beberapa negara, terdapat aturan Jabatan Hakim. Misalnya di India, Cina dan Canada. Bahkan di Canada, disebutkan pula gaji yang diterima seorang hakim. Sementara di Cina disebutkan, remunerasi yang diterima hakim dalam UU Jabatan Hakim yang bernama Judge Law.
Meski draf RUU yang dibuat oleh BKD atas permintaan Komisi III, namun setidaknya bertujuan untuk memperkuat para hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai ‘Wakil Tuhan’. RUU itu pun disetujui untuk diserahkan ke Badan Legislasi (Baleg) untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi.
Dalam RUU Jabatan Hakim, aturan hakim sebagai pejabat negara dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1). Ayat itu menyatakan, “Hakim berkedudukan sebagai pejabat negara yangm elakukan kekuasaan kehakiman”. Sedangkan ayat (2) menyatakan, “Jabatan hakim terdiri atas; a.Hakim ;dan b.Hakim ad hoc”. Status hakim memang perlu dipertegas dan diperjelas.
“Nah ini jantungnya adalah memberikan status pada hakim itu sendiri,” ujar Johnson.
RUU tentang Jabatan Hakim terdiri dari 7 Bab dengan jumlah 62 Pasal. Merujuk pada Bab V mengatur tentang hak dan kewajiban. Pasal 13 mengatur hak yang diperoleh seorang hakim. Yakni, keuangan, cuti dan fasilitas. Nah, Pasal 14 ayat (1) mempertegas hak keuangan yang diperoleh hakim, mulai gaji pokok, tunjangan jabatan, penghasilan pensiun dan tunjangan lain.
Sedangkan ayat (2) mengatur tentang hak cuti, mulai cuti tahunan dan cuti khusus. Kemudian ayat (3) mengatur fasilitas yang diterima seorang hakim. Mulai rumah jabatan milik negara, sarana transportasi milik negara, jaminan kesehatan, kedudukan protokol sesuai ketentuan peraturan berlaku hingga jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya.
Johnson mengatakan, RUU Jabatan Hakim menyatukan berbagai peraturan perundangan dalam rangka pengaturan manajemen, pengangkatan, perlindungan dan pemberhentian hakim. Sebagai pejabat negara, hakim pun tidak tunduk terhadap ketentuan pegawai negeri sipil.
“Jantung dari RUU ini adalah menyatukan peraturan begitu banyak terkait hakim dan memberikan status dan manajemen itu sendiri. Kami sudah melakukan penyempurnaan RUU tersebut,” katanya.
Wakil Ketua Komisi III, Triemdya Panjaitan, mengatakan RUU Jabatan Hakim merupakan usul inisiatif Komisi III yang pembuatan naskah akademik dan draf nya dibantu oleh BKD. Menurutnya, draf resmi bakal diserahkan ke Baleg setelah mendapat persetujuan dari anggota komisi.
“Intinya kita ingin ada penguatan soal hakim. Terutama soal jenjang karir, penghasilan, fasilitas. Begitu juga penguatan pengawasan,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berpandangan, dengan adanya RUU tersebut, status jabatan hakim bakal diperjelas sebagai pejabat negara. Pasalnya, bila berada di tingkat provinsi, di banding Kapolda dan Kejaksaan Tinggi, hakim di Pengadilan Tinggi kurang mendapat perhatian dalam Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).
“Nah itu timpang. Itu yang akan diperkuat, terutama soal penggajian, remunerasi dari hakim tingkat pertama sampai Mahkamah Agung,” ujarnya.
Anggota Komisi III Arsul Sani menambahkan, Baleg memiliki 3 draf yang diberikan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan sekelompok hakim muda indonesia. Ia mengapresiasi pengaturan jabatan hakim diatur dalam sebuah RUU. “Karena ini menjadi inisiatif DPR, rutenya akan ke baleg dulu untuk diharmonisasi terlebih dahulu,” pungkas politisi PPP itu.