Jalan Berliku Revisi UU KPK
Berita

Jalan Berliku Revisi UU KPK

DPR akan memboyong RUU KPK ke rapat paripurna untuk diambil keputusan tingkat pertama. Sejumlah catatan diberikan fraksi, semisal KPK tetap diberikan kewenangan mengangkat penyelidik dan penyidik independen.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES
“Ada sembilan fraksi yang memberikan persetujuan untuk dilanjutkan pembahasan. Sedangkan satu fraksi menolak. Persetujuan ini akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan perundangan yang berlaku”. Demikian kalimat akhir Ketua Badan Legislasi, Supratman, di ujung rapat pleno pengambilan keputusan atas kelanjutan Revisi Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang KPK di Gedung DPR, Rabu (10/2). Seolah ingin mempercepat pembahasan, Baleg sudah merancang strategi agar Revisi UU KPK dapat segera diboyong untuk pengambilan keputusan tingkat satu dalam rapat paripurna.

Jalan berliku DPR dan pemerintah untuk melakukan revisi UU KPK sejak 2012 tak berjalan mulus. Keinginan kuat DPR itu pun gagal. Ya, desakan publik saat menolak keras upaya dan langkah DPR dapat ‘dijegal’. Kekuatan masyarakat sipil anti korupsi menengarai langkah merevisi sebagai bagian bentuk pelemahan terhadap KPK dalam pemberantasan korupsi. Terlebih, banyaknya terdakwa korupsi yang berlatar belakang politisi senayan.

Niatan DPR dan pemerintah nampaknya tak kunjung padam. Berulang kali kedua belah pihak memasukan RUU KPK dalam Prolegnas prioritas, namun berujung kandas. Lagi-lagi desakan publik dan aktivis pegiat anti korupsi menyuarakan penolakan. Hingga di penghujung anggota DPR masa bakti 2009-2014, DPR tak dapat mewujudkan niatnya merevisi UU KPK. Padahal, berbagai peristiwa di KPK menjadi sorotan sebagai celah dilakukannya revisi.

DPR periode 2014-2019, RUU KPK masuk dalam Prolegnas jangka panjang. Sebanyak dua kali, niatan merevisi pun gagal. Pada pertengahan 2015, pemerintah memberikan persetujuan RUU KPK masuk Prolegnas prioritas. Namun hingga waktu yang ditentukan, pemerintah menarik diri. Pasalnya publik mendesak agar Presiden Jokowi melakukan penundaan pembahasan RUU KPK. Alasannya, draf yang beredar kala itu bermuatan pelemahan.

Tak berhenti, DPR dan pemerintah pun kembali membuat kesepakatan terkait dengan poin yang bakal direvisi. Pertama, terkait dengan aturan kewenangan penyadapan. Kedua, kewenangan pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK. Ketiga, pemberian kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Keempat, terkait dengan Dewan Pengawas.

Atas empat poin itulah DPR dan pemerintah menyepakati RUU KPK masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. Sebanyak 45 anggota dewan dari 6 fraksi sebagai pengusul. Ya, partai penguasa yakni PDIP sebagai motor penggerak RUU KPK. Rapat Baleg yang digelar pada Rabu (10/2) memberikan persetujuan agar RUU KPK diboyong ke dalam rapat paripurna untuk diambil keputusan tingkat pertama, Kamis (11/2).

Dalam rapat pleno Baleg, sejumlah partai yang memberikan persetujuan dengan catatan. Pandangan Fraksi PKS yang dibacakan Almuzzamil Yusuf  memberikan catatan. Misalnya Pasal 32 dan 36 RUU KPK tidak memberikan norma yang jelas ketika pimpinan KPK mengundurkan diri dari jabatan publik. Akibatnya, bukan tidak mungkin bakal membuka konflik kepentingan, barter hukum dan politik. “Usulan itu dimasukan bukan untuk pimpinan KPK dan juga Dewan Pengawas,” ujarnya.

Anggota Komisi I itu lebih jauh berpandangan, keberadaan Dewan Pengawas mesti dipermanenkan. Namun pula Dewan Pengawas hanya di ranah etik. Ia pun tidak sependapat bila penyadapan mesti mengantongi izin dari Dewan Pengawas, karena akan melemahkan kerja KPK. Hal lainnya, PKS pun memberikan persetujuan KPK mengangkat penyidik dan penyelidik independen.

Fraksi Nasdem dalam pandangan mininya yang dibacakan Sulaiman Hamzah memberikan catatan. Pertama, perumusan pembahasan RUU KPK emsti dilakukan secara terbuka dan akomodatif dengan melibatkan seluruh stakeholder. Kemudian, adanya aturan khusus terhadap pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran hukum ketika menjabat.

Hal itu setidaknya untuk menghindari kemungkinan adanya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum jauh sebelum menjadi pimpinan lembaga antirasuah itu. Seperti yang dialami mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. “KPK tidak perlu didikriminalisasi pelanggaran hukum sebelum jadi pimpinan KPK,” ujarnya.

Sama halnya dengan PKS dan Nasdem, Fraksi Demokrat, PDIP, PKB, PPP, Hanura, PPP, dan Golkar memberikan catatan sebatas pada empat poin yang disepakati DPR dengan pemerintah. Namun PAN dan PPP pun sependapat agar KPK tetap diberikan kewenangan mengangkat penyelidik dan penyidik independen, selain dari institusi Polri.

Gerindra tetap menolak
Dari sepuluh fraksi, hanya Fraksi Gerindra yang tegas menolak dilakukannya revisi terhadap UU KPK. Pandangan Fraksi Gerindra yang dibacakan Aryo Djojohadikusumo mengatakan, sejarah dibentuknya KPK menjadi semangat dalam pemberantasan korupsi kala awal reformasi.

Menurutnya sepanjang KPK berdiri, setidaknya sudah banyak melakukan tindakan pencegahan dan penyelematan keuangan negara. Hanya saja langkah KPK itu tak terekspose oleh media. Misalnya, KPK sudah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp205 triliun.

Gerindra, kata Aryo, menilai empat poin yang menjadi kesepakatan DPR dan pemerintah dalam revisi UU KPK adalah bentuk pelemahan kewenangan lembaga anti rasuah itu dalam pemberantasan korupsi. “Kami menyuarakan agar revisi UU KPK dihentikan. Pelemahan jangan dikamuflasekan dengan penguatan. Fraksi Gerindra menolak revisi UU KPK,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait