Pakai Jasa Tax Planner di Lawfirm, Siapa Takut
Berita

Pakai Jasa Tax Planner di Lawfirm, Siapa Takut

Legalitas skema tax planning masih perlu diperjelas.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Semakin besar penghasilan kantor pengacara (lawfirm) semakin besar potensi pajaknya. Selain pajak badan (firma), pajak penghasilan pribadi si advokat juga biasanya juga dipotong. Bagaimana hitung-hitungan pajak firma hukum dan advokat, tak semua advokat tahu atau mencurahkan waktu dan pikirannya untuk melakukan perhitungan dan pelaporan.

Daripada pikiran terpecah untuk detail perhitungan pajak badan, pajak orang pribadi, pajak sewa kantor dan pajak lainnya, firma hukum bisa memanfaatkan jasa perencana pajak alias tax planner. Pentingnya kehadiran tax planner juga dirasakan advokat Taufik Basari. Pendiri Taufik Basari and Asscoaites itu mengaku menggunakan perencana pajak dari kantor konsultan pajak. Tujuannya sederhana, ingin taat pajak dan meminimalisasi kesalahan pelaporan.

“Dalam menyusun laporan pajak dan audit laporan keuangan, saya memang pakai jasa konsultan pajak. Tujuannya sederhana saja, mau taat pajak dan meminimalisasi kesalahan pelaporan,” kata Taufik kepada hukumonline, Rabu (10/2).

Menurut advokat yang punya firma hukum di Depok ini  penggunaan jasa konsultan pajak bukanlah persoalan penting atau tidak penting. Bagi sebuah firma hukum yang ingin taat hukum, perencana pajak dibutuhkan meskipun tidak wajib. “Tanpa konsultan pajak pun sebenarnya bisa saja,” kata politisi Partai Nasional Demokrat itu.

Penggunaan tax planner atau konsultan pajak juga dinilai efektif oleh pengamat pajak, Yustinus Prastowo. Perencanaan keuangan dimungkinkan karena ada pilihan-pilihan yang bisa menghemat keuangan, sejauh tujuannya adalah untuk mencapai efisiensi dengan cara-cara yang legal. “Saya kira efektif sejauh tax planner itu tujuannya mencapai efisiensi dengan cara-cara yang legal,” kata Yustinus kepada hukumonline.

Penggunaan tax planner bukan kewajiban bagi lawfirm. Lebih baik lagi, lanjutnya, ada aturan yang diperjelas untuk mengurangi grey area, sehingga lawfirm bisa menjalankan hak dan kewajiban dengan baik. Salah satu upaya untuk mengurangi grey area pajak lawfirm adalah melakukan revisi terhadap perundang-undangan perpajakan secara menyeluruh. Misalnya, aturan tentang apa yang jadi subjek, objek, biaya dan lain sebagainya, perlu diperjelas untuk menghindari multitafsir. “Dan rambu-rambu mana yang boleh dan tidak boleh, artinya apakah sebuah skema tax planning itu legal atau ilegal,” tuturnya.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty berpendapat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus memahami pendapatan pajak lawfirm yang jumlahnya selalu variabel tiap tahunnya. DJP, lanutnya, tidak bisa menyamaratakan pajak lawfirm dengan yang lain.

Penghasilan lawyer atau lawfirm tergantung jumlah perkara yang mereka tangani dan itu setiap tahun tidak pernah sama. Masalahnya, kata Telisa, aturannya tak mendukung. Misalkan tahun ini lapor Rp1 milliar, tahun depan setengah miliar, itu diperiksa kenapa menurun. Sikap ‘curiga’ demikian bisa berimbas pada kesukarelaan untuk melaporkan penghasilan.  “Menyebabkan orang malas melaporkan pendapatan variabel karena mereka (DJP--red) tidak memahami nature dari profesi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait