Aturan Gratifikasi Dokter Swasta, Ini Pandangan IDI
Berita

Aturan Gratifikasi Dokter Swasta, Ini Pandangan IDI

Cegah gratifikasi dokter, IDI berencana terbitkan standar operasional prosedur.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilham Oetama Marsis. Foto: idikotim.org
Ilham Oetama Marsis. Foto: idikotim.org
Menyikapi isu gratifikasi di bidang kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berencana menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mencegah terjadinya gratifikasi khususnya terhadap dokter swasta. IDI juga sudah membahas masalah ini dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Ilham Oetama Marsis, mengatakan ada beberapa kesepakatan dalam rangka mencegah profesi kedokteran dari tindakan pelanggaran hukum. Khususnya terkait gratifikasi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ilham membenarkan selama ini dokter kerap menerima sponsorship dari perusahaan farmasi. Ia memastikan kode etik kedokteran Indonesia telah mengatur dan memberi batasan yang ketat.

Namun, dikatakan Ilham, ada yang menilai sponsorship sebagai bentuk gratifikasi. Itu sebabnya KPK juga ikut menaruh perhatian. Guna mencegah gratifikasi dari perusahaan farmasi, dokter tak boleh langsung berhubungan dengan perusahaan farmasi. Semua tawaran sponsorship dan undangan kegiatan ilmiah kepada dokter tidak diberikan langsung oleh perusahaan kepada dokter, tapi melalui lembaga. Misalnya, untuk dokter berstatus PNS tawaran itu harus disampaikan ke institusinya dan bagi dokter swasta lewat organisasi profesi.

Menurut Ilham kesepakatan itu perlu dituangkan dalam bentuk regulasi teknis. Untuk dokter berstatus PNS, pencegahan gratifikasi sudah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan seperti UU No. 20 Tahun 2001 dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Namun, payung hukum itu belum mengatur pencegahan gratifikasi terhadap dokter swasta. Pemerintah perlu menerbitkan peraturan sebagai cantolan hukum baik berbentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri. “Kalau pemerintah sudah membuat cantolan hukumnya nanti kami akan mengatur lebih teknis. Misalnya, IDI menerbitkan SOP agar dokter tidak bisa menerima langsung sponsorship tapi harus melalui lembaga atau organisasi profesi,” kata Ilham dalam jumpa pers di kantor PB IDI di Jakarta, Kamis (11/2).

Secara umum, Ilham menegaskan IDI mendukung upaya pemberantasan korupsi terutama di bidang kesehatan. Menurutnya, IDI harus membuat kajian mendalam dalam membuat SOP tersebut sehingga regulasi itu dapat terimplementasi dengan baik di lapangan.

Wakil Sekretaris 1 PB IDI, Kemas Abdurrohim, mengatakan pengaturan mengenai sponsorship itu diharapkan dapat mencegah potensi gratifikasi terhadap dokter. Pencegahan gratifikasi itu bisa didorong lebih baik lagi jika program Jaminan Kesehatan Nasional yang digelar BPJS Kesehatan berhasil mencapai universal health coverage (UHC) pada 2019 sebagaimana roadmap DJSN.

Jika UHC bisa dicapai maka hampir 100 persen penduduk Indonesia sudah tercakup dalam program JKN. Dengan sistem asuransi sosial itu diharapkan dapat meminimalisir praktik fee for service yang masih banyak digunakan saat ini di bidang pelayanan kesehatan. “Kalau UHC bisa tercapai maka ini (celah untuk terjadinya gratifikasi dokter,-red) bisa ditekan,” tukasnya.

Ketua Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi kelembagaan PB IDI, Mahesa Paranadipa, berpendapat dalam hukum, gratifikasi hanya menyasar PNS dan penyelenggara negara. Praktik sponsorship dalam profesi dokter sudah lazim dilakukan khususnya dokter swasta. Kode Etik Kedokteran Indonesia yang telah direvisi terakhir tahun 2012 juga sudah mengatur batas-batas sponsorship yang dibolehkan. Seperti untuk biaya akomodasi, transportasi dan registrasi.

Namun, sebagai bentuk komitmen IDI dalam upaya pemberantasan korupsi, Mahesa mengatakan pencegahan gratifikasi terhadap dokter swasta juga layak dilakukan. Ia mengakui bukan tugas mudah bagi IDI untuk membuat SOP dalam rangka mencegah gratifikasi dokter swasta. “PR besar kami yakni membuat rambu-rambunya untuk mencegah agar perusahaan (yang memberikan sponsorship,-red) tidak melakukan Kontak langsung dengan dokter,” pungkasnya.

Pandangan MKI
Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI) ikut memberikan pandangan mengenai masalah ini. Dalam pernyataan resminya MKI menilai kenaikan harga obat tak berhubungan dengan sponsorship perusahaan farmasi kepada dokter.

“Tidak adil dan tidak proporsional  jika sponsorship dokter dianggap menjadi sebab mahalnya harga obat, karena mesti diperiksa secara makro tata niaga obat dan audit hukum kebijakan pemerintah”, kata Ketua MKI, Muhammad Joni, di Jakarta (12/2).

Menurut  Joni, berdasarkan audit ada tiga faktor strategis yang mesti dibenahi pemerintah. Pertama, kebijakan hulu yang menambah pasokan dan penyaluran obat generik, sehingga pasar tidak tergantung pada sediaan obat bermerek saja yang mengakibatkan harga obat mahal.   Persediaan obat generik masih kecil, hanya untuk 12,8  bulan padahal semestinya 18 bulan, apalagi untuk daerah terpencil di Indonesia Timur.

Kedua, sebagai  barang kebutuhan strategis dan terkait hak konstitusional atas pelayanan kesehatan, pemerintah mesti mengubah orientasi  industri farmasi milik pemerintah untuk kepentingan publik bukan komersial. Tersebab itu, industri farmasi nasional milik badan usaha milik negara (BUMN) jangan berorientasi profit untuk kebutuhan publik di dalam negeri,  sehingga berkontribusi bagi kemahalan obat  yang membebani masyararakat dan pemerintah dengan skim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ketiga, memberi insentif kepada industri farmasi domestik terutama BUMN dan mengeliminasi monopoli obat bermerek  dengan dalih  hak milik intelektual (property rights),  karena kebutuhan obat bukan hanya untuk skim komersial namun juga pelayanan publik  guna melaksanakan kewajiban konstitusional Pemerintah atas pelayanan kesehatan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Momentum legalisasi sponsorship dokter, kata Joni. mestinya dijadikan pemerintah sebagai pintu masuk membenahi total tata niaga dan kebijakan obat dan alat kesehatan.  “MKI mendesak pembenahan regulasi,  termasuk mewajibkan apoteker  mengganti obat bermerek menjadi obat generik, sehingga perlu audit dan revisi PP No. 51 Tahun 2009 yang memanjakan industri farmasi”.
Tags:

Berita Terkait