Pakar: Publik Jangan Yakin Revisi UU KPK untuk Memperkuat KPK
Berita

Pakar: Publik Jangan Yakin Revisi UU KPK untuk Memperkuat KPK

Tidak perlu semua persoalan diselesaikan dengan perubahan undang-undang.

Oleh:
ANT
Bacaan 2 Menit
Pakar hukum tata negara UGM, Refly Harun. Foto: RES
Pakar hukum tata negara UGM, Refly Harun. Foto: RES
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Refly Harun, menilai revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan untuk menghilangkan eksistensi lembaga antirasuah tersebut.

Dilihat dari perspektif kekuasaan, kata dia, tidak ada pihak yang suka gerak-geriknya diawasi maka selalu ada upaya menghilangkan eksistensi KPK salah satunya melalui inisiasi revisi UU KPK.

"Karena hanya KPK yang bisa menembus pakem-pakem kekuasaan di tingkat legislatif, eksekutif, bahkan yudikatif," ujarnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan lembaga nirlaba Populi Center di Jakarta, Sabtu (13/2).

Menurut mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) itu, revisi UU KPK yang kini terus menjadi polemik di masyarakat, justru berpotensi kuat melemahkan kinerja lembaga antikorupsi itu.

Revisi UU KPK yang sudah disepakati sejauh ini oleh beberapa fraksi di DPR selain Demokrat dan Gerindra meliputi pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan dan penyitaan harus seizin dewan pengawas, pemberian wewenang bagi KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.

Selanjutnya, ada pula revisi mengenai larangan bagi pimpinan KPK yang mengundurkan diri untuk menduduki jabatan publik, serta pemberhentian bagi pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

"Empat poin yang dibahas itu 90 persen melemahkan (kinerja KPK), publik tidak bisa diyakinkan bahwa materinya bertujuan memperkuat. Dalam konteks ini, ada upaya pelemahan KPK terutama dari kalangan politisi," tutur Refly.

Refly menambahkan bahwa sejauh ini kewenangan KPK tidak berlebihan dengan adanya kontrol dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

"Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa faktanya 100 persen tersangka atau terdakwa KPK pasti terbukti bersalah dan divonis. Jadi kerja KPK sudah 'on the right track'," katanya.

Sependapat dengan Refly, pengamat hukum tata negara dari University of Warwick, Inggris, Bivitri Susanti juga menganggap tujuan perubahan UU KPK sangat tidak jelas dan lebih diwarnai ketidaksukaan terhadap KPK sehingga banyak sistem yang ditabrak.

Meskipun mengakui bahwa ada beberapa hal yang harus 'ditambal' dalam kinerja KPK, ia menilai mengubah undang-undang bukanlah hal yang mendesak dilakukan saat ini. "Daripada merevisi UU, kita bisa mengaktivasi hal-hal yang sudah ada dalam hukum acara pidana," ujarnya.

Sebagai contoh, karena KPK tidak bisa mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), maka dapat menggunakan dakwaan bebas seperti yang diatur dalam KUHAP. "Intinya tidak perlu semua persoalan diselesaikan dengan perubahan UU," tutur Bivitri.

Tags:

Berita Terkait