Pejabat MA Ditangkap, LeIP: Masih Ada Celah di MA
Berita

Pejabat MA Ditangkap, LeIP: Masih Ada Celah di MA

MA menegaskan kasus Andri di luar kontrol pengawasan MA.

Oleh:
NNP/ASH/RZK
Bacaan 2 Menit
Astriyani Achmad. Foto: Istimewa
Astriyani Achmad. Foto: Istimewa
Dunia peradilan kembali tercoreng setelah seorang pejabat Mahkamah Agung (MA) bernama Andri Tristianto Sutrisna terjaring operasi tangkap tangan KPK. Menduduki jabatan sebagai Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata MA, Andri diduga menerima suap atau gratifikasi dari seorang pengusaha melalui pengacaranya.

Dimintai komentarnya, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani Achmad mengatakan kasus Andri bisa terjadi karena prosedur penanganan perkara di MA memang masih menyisakan celah sehingga dimanfaatkan oleh oknum-oknum. Dia menjelaskan celah dimaksud terkait dengan aturan tentang alur penanganan perkara.

Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA) Nomor 138 Tahun 2009 yang kemudian direvisi oleh SK KMA 214 Tahun 2014, menurut Astriyani, sebenarnya sudah mengatur jangka waktu setiap tahapan alur penanganan perkara. Namun, lanjut dia, masih ada yang luput diatur yakni jangka waktu pengetikan berkas perkara oleh operator pengetik.

Lantaran tidak diatur, proses pengiriman putusan sejak perkara diputus oleh hakim agung sampai dikirim ke pengadilan pengaju, membutuhkan waktu yang cukup lama. “Bisa lebih dari dua bulan. Nah, celah ini lah yang dipakai sama oknum-oknum seperti ATS (Andri Tristianto Sutrisna),” ujar Astriyani.

Selain persoalan alur penanganan perkara, Astriyani mengatakan kasus Andri juga menunjukkan bahwa MA masih harus banyak melakukan perbaikan secara sistemik. Sejak Cetak Biru Pembaruan MA diluncurkan tahun 2003, dia akui MA memang banyak melakukan pembaruan terutama di sektor manajemen perkara.

“Tapi beberapa masih belum total dan berkompromi dengan resistensi internal dalam proses pengambilan kebijakan,” paparnya.

Menurut Astriyani, resistensi atau penolakan di internal MA bisa muncul karena beberapa hal. Di antaranya, sebagian kalangan internal MA tidak mau pekerjaannya bertambah, atau mungkin juga karena sebagian oknum ingin tetap ada peluang untuk mendapat keuntungan pribadi dari sistem yang lemah..

“Nah ketika Pimpinan berkompromi atas resistensi tersebut ya resikonya seperti yang terjadi sekarang,” kata Astriyani yang bersama LeIP turut membantu merumuskan dan kemudian melaksanakan Cetak Biru Pembaruan MA.

Sementara itu, Juru Bicara MA Suhadi menegaskan bahwa kasus Andri tidak ada kaitannya dengan sistem pengawasan di internal MA. Ia mengatakan, sistem pengawasan di MA sudah cukup ketat terutama dalam hal melakukan pengawasan atas berjalannya SOP penanganan perkara di MA.

“Kasus ATS di luar kontrol pengawasan MA, karena dia bertindak di luar tugas dan fungsinya sebagai Kasubdit Kasasi/PK Perdata MA,” kata Suhadi di Gedung MA, Senin (15/2).    

Namun begitu, diakui Suhadi, kasus Andri memang akan dijadikan pelajaran oleh MA, khususnya terkait penanganan perkara. “Dengan kejadian ini, tentunya upaya pengawasan oleh Badan Pengawas dan Panitera MA akan lebih diperketat lagi terutama dalam hal manajemen perkara,” tambahnya.

Sebelumnya, Sekretaris MA Nurhadi mengakui MA dan peradilan di bawahnya lemah dalam hal manajemen perkara terutama terkait kecepatan penyusunan salinan putusan secara lengkap di pengadilan (minutasi perkara). Untuk mengatasi itu, ia mengatakan akan melakukan uji coba program one day minutes, yakni program percepatan minutasi putusan dimana masyakarat bisa langsung mengakses putusan pengadilan sesaat setelah selesai dibacakan akan diuji coba di kamar-kamar MA.
Tags:

Berita Terkait