Adu Norma di Laut Tiongkok Selatan
Kolom

Adu Norma di Laut Tiongkok Selatan

Kapal Perang AS ‘pura-pura’ melintas di perairan LTS dengan mendekati pulau-pulau yang diperebutkan oleh negara di kawasan. Tujuannya untuk memastikan bahwa norma tentang kebebasan navigasi yang dijamin oleh UNCLOS dihormati oleh siapa pun pemilik pulau itu.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Melintasnya Kapal Perang AS (USS Curtis Wilbur) mendekati Pulau Triton di gugusan Parcel di  Laut Tiongkok Selatan (LTS) akhir Januari 2016 kembali memantik pertikaian terbuka antara Tiongkok dan AS. Terlepas dari konflik antara kedua negara di kawasan ini, kelihatannya LTS saat ini bukan hanya menjadi ajang perebutan pulau oleh negara di kawasan melainkan juga sebagai ajang untuk menguji norma UN Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 oleh negara-negara yang berkepentingan. Dalam perkara gugatan Filipina terhadap Tiongkok pada Arbitrasi di Den Haag, UNCLOS saat ini sedang diuji yakni antara lain apakah normanya merestui 9 garis putus (9 dash lines) yang ditoreh oleh Tiongkok di peta klaimnya yang konon hampir menutup 2/3 wilayah LTS. Arbitrase akan mengeluarkan putusannya tahun 2016 ini.

Uji norma di peradilan adalah lumrah. Namun belakangan ini uji norma UNCLOS justru terjadi di laut. Saat ini uji norma telah mengarah ke ‘adu norma’. Untuk kesekian kalinya AS melakukan apa yang disebut fredom of navigation operation program (FONOP) di LTS. Kapal Perang AS ‘pura-pura’ melintas di perairan LTS dengan mendekati pulau-pulau yang diperebutkan oleh negara di kawasan. Tujuannya untuk memastikan bahwa norma tentang kebebasan navigasi yang dijamin oleh UNCLOS dihormati oleh siapa pun pemilik pulau itu.

Namun lebih dari itu, AS sebenarnya sedang gusar dengan reklamasi pulau/karang di LTS oleh Tiongkok dan ‘bingung’ bagaimana melarangnya. AS menyadari bahwa kegiatan reklamasi itu sendiri tidak melanggar norma apa pun. Melarang Tiongkok untuk melakukan reklamasi dengan dalih bahwa itu bukan miliknya akan berkomplikasi pada posisi netral AS selama ini karena dengan demikian AS telah memihak dalam persoalan sengketa pulaunya. Satu-satunya dalih adalah imbauan kepada Tiongkok untuk ‘menahan diri’ dengan alasan bahwa reklamasi ini akan berpotensi meningkatkan konflik. Ini alasan politik bukan alasan hukum. Aktivitas reklamasi Tiongkok ini mungkin melanggar hukum jika ternyata merusak lingkungan lingkungan laut berdasarkan norma UNCLOS. Soal ini sudah termasuk materi gugatan oleh Filipina melawan Tiongkok di Arbitrase yang saat ini sedang berlangsung. 

Konon, menurut AS, operasi uji norma di laut ini adalah operasi rutin dan dilakukan hampir di semua kawasan dunia. Namun karena dilakukan di LTS maka uji norma ini menjadi terkomplikasi dengan konflik di LTS itu sendiri. AS sendiri bersikeras bahwa operasi ini bukan bentuk pemihakan kepada suatu negara terkait perebutan pulau namun murni untuk memastikan dihormatinya kebebasan navigasi. Tiongkok bereaksi keras terhadap AS.

Bagi pengamat hukum laut, uji norma ini menjadi menarik. FONOP pertama bulan Oktober 2015, Kapal USS Lassen sengaja ‘berpura-pura” masuk kedalam wilayah 12 mil pulau buatan Tiongkok Subi Reef. Operasi ini justru sedang menguji status Subi Reef yang sedang digugat oleh Filipina di Arbitrasi. Kata Filipina, karang ini adalah elevasi surut yang tertelan laut pada saat pasang. Artinya karang ini adalah bagian dari laut dan tidak berhak atas 12 mil laut teritorial sesuai kata UNCLOS. AS sependapat dengan dalil Filipina ini dan kemudian mengujinya dengan berlayar bebas di perairan ini dan memperlakukannya sebagai laut bebas. Tentu saja aksi ini membuat murka Tiongkok. Dapat dibayangkan betapa rentannya pulau buatan Tiongkok yang telah dilengkapi dengan fasilitas landasan udara ini, jika ternyata oleh negara lain diperlakukan sebagai bagian dari laut bebas.

Hajatan USS Lassen kelihatannya kental diarahkan ke Tiongkok dan terlalu membela Filipina khususnya gugatannya di Arbitrasi. Untuk itu AS baru-baru ini melakukan FONOP berikutnya melalui USS Curtis Wilbur yang melintasi Pulau Triton di gugusan Parcel. Operasi ini dikemas agak netral. Pertama, berbeda dengan yang terdahulu, operasi ini diarahkan ke semua negara yang mengklaim Pulau Triton. Negara yang mengklaim pulau ini bukan hanya Tiongkok melainkan juga Vietnam dan Taiwan, dan kebetulan tidak termasuk Filipina. Pesan yang tersirat adalah bahwa FONOP kali ini menargetkan semua perairan laut  yang relevan tanpa peduli siapa pemiliknya, mengurangi kesan bahwa AS hanya ingin menarget Tiongkok.  

Kedua, operasi ini dilakukan secara diam-diam dan katanya berlangsung saat tidak ada kapal militer Tiongkok di sekitar pulau itu. Walaupun konon katanya Tiongkok mengklaim bahwa Angkatan Udara-nya berhasil “memberi peringatan dan mengusir Kapal AS ini keluar dari laut teritorialnya”. AS tampaknya ingin memberi pesan bahwa pihaknya bukan bermaksud membuat keributan di LTS, apalagi dengan Tiongkok, melainkan hanya ingin menguji norma hukum laut tanpa harus konflik terbuka.

Di balik aksi dan reaksi kedua negara adidaya ini sebenarnya sedang terjadi ‘adu norma’, yaitu pembentukan norma yang masih “janin” yang tampaknya sedang digadang-gadang oleh Tiongkok namun dibendung oleh AS. Oleh AS reklamasi karang ini dikhawatirkan pada akhirnya memberi hak bagi Tiongkok untuk mengklaim laut teriotrial dan ZEE yang ditarik dari pulau-pulau palsunya. Lalu lalangnya kapal militer AS di LTS  ini dimaksudkan untuk menahan agar ‘janin’ norma ini tidak mengkristal. AS mengedepankan UNCLOS, pertama, elevasi surut (karang yang muncul ke permukaan pada saat air surut) adalah bagian dari laut dan tidak berhak atas laut teritorial. Kedua, karang yang tidak dapat menopang kehidupan manusia tidak berhak atas ZEE. Berdasarkan norma UNCLOS ini maka AS berpendapat bahwa reklamasi dengan membangun pulau buatan di atas elevasi surut maupun karang sama sekali tidak menjadikannya sebagai ‘pulau’ sebagai yang dimaksud oleh UNCLOS. Artinya, pulau palsu ini tidak berhak mendapatkan laut teritorial (jika dibangun di atas elevasi surut) atau ZEE (jika di atas karang).

Tiongkok sendiri berkali-kali meyakinkan dunia bahwa pihaknya menghormati kebebasan navigasi di LTS. Namun pengamat hukum yang jeli gampang mendeteksi bahwa Tiongkok sedang diam seribu bahasa tentang apakah pulau buatannya ini berhak atas 12 mil laut teritorial dan 200 mil laut ZEE. Protes Tiongkok terhadap FONOP AS ini tampaknya mengarah ke pembentukan ‘janin’ norma bahwa pulau palsu ini berhak atas zona maritim.

Pada FONOP Oktober 2015 argumen Tiongkok masih bernas dengan dalil hukum,  antara lain, menegaskan bahwa hak lintas damai dengan niat propaganda akan menganulir sifat damainya.  Namun argumennya pada FONOP 2016 kali ini cenderung retorik dan nasionalistis namun bermakna mendalam. Kali ini Tiongkok lebih menekankan bahwa AS telah melanggar hukum nasional Tiongkok ketimbang melanggar hukum inernasional.  Pakar hukum internasional tentu tidak tertarik dengan dalil ini, karena soal ini urusan hukum internasional dan semua tahu bahwa sesuai adagium par parem non habet imperium negara tidak tunduk pada hukum nasional negara lain.

Namun di balik itu, kelihatannya Tiongkok sedang membangun suatu dalil hukum (melalui hukum nasionalnya) bahwa pulau buatan hasil reklamasi tidak tunduk pada UNCLOS namun merupakan rezim hukum tersendiri yang diatur di luar UNCLOS. Salah satu pakar hukum Tiongkok telah memulai membangun dalil ini. Pakar Tiongkok mengakui bahwa menurut UNCLOS pulau buatan tidak berhak atas laut teritorial dan tidak mempengaruhi delimitasi maritim. Namun selain pulau buatan yang dibangun dengan struktur yang tertanam pada dasar laut, terdapat pula jenis lain pulau buatan dengan struktur yang terbangun diatas fitur alamiah (elevasi pasang surut, karang, dan pulau di tengah laut). Pulau buatan ini sulit disebut ‘artificial’ atau pun ‘alamiah’ karena merupakan kombinasi dari keduanya. Reklamasi di Mischief Reef dan Johnson Reef termasuk dalam kategori ini. Berdasarkan karakternya yang bersifat artificial dan sekaligus alamiah maka tidak tepat jika pulau ini tunduk pada rejim “artificial islands” seperti yang diatur oleh UNCLOS. Dalam hal ini menurut pakar Tiongkok hukum internasional belum mengatur tentang status pulau semacam ini dan mengkatogorikannya sebagai ‘issue hukum baru’ dalam hukum laut yang perlu mendapat perhatian pakar hukum.

Wacana baru para pakar hukum Tiongkok ini tentu akan melahirkan kontroversi baru baik dalam tataran politik praktis maupun dalam perdebatan hukum laut. Namun suka atau tidak suka, baik aktivitas reklamasi Tiongkok maupun FONOP AS di LTS merupakan pergulatan norma yang diproyeksikan di lapangan. Ini adalah adu norma yang bagi AS adalah untuk membendung terbentuknya norma baru, namun bagi Tiongkok adalah menciptakan norma baru.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah adu norma oleh AS dan Tiongkok ini akan memperjelas atau justru semakin menimbulkan ketidakpastian. Ketidakjelasan dan membisunya Tiongkok tentang status perairan yang diklaimnya, termasuk perairan disekitar pulau buatannya, mungkin merupakan pemicu sehingga negara lain ingin memastikan penghormatan terhadap norma lintas bebas ini. Seyogiyanya AS mengujinya di Peradilan yang sudah disediakan oleh UNCLOS. Namun sayangnya, AS belum meratifikasi UNCLOS sehingga tidak bisa memanfaatkan forum yang lebih terhormat ini. Akibatnya dunia melihat AS menegakkan  dan menguji norma-norma ini ala street justice.

* Penulis adalah dosen dan pengamat hukum internasional
Tags: