Ada Isu Pengacara Probono dalam Revisi UU PPTKILN
Berita

Ada Isu Pengacara Probono dalam Revisi UU PPTKILN

Skema advokasi dan pembiayaan belum jelas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Anis Hidayah. Foto: SGP
Anis Hidayah. Foto: SGP
Panitia Kerja RUU PPILN (Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri) terus melakukan pembahasan dengan mengundang para pemangku kepentingan seperti pengusaha dan kelompok masyarakat sipil yang mengadvokasi isu-isu buruh migran. Ada beragam isu yang dibahas.

Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, mengatakan Panja RUU PPILN menjelaskan Panja mengundang sejumlah pemangku kepentingan untuk memberi masukan terhadap RUU PPILN. Masalah buruh migran tak sesederhana yang dibayangkan. Dalam konteks itu Panja ingin mendengar ide, pendapat, dan masukan para pemangku kepentingan.

Perlindungan hukum TKI yang bekerja di luar negeri menjadi isu penting dan kuat dalam proses pembahasan. Revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan lebih kepada para TKI. Dede menegaskan perlindungan menjadi tugas Pemerintah. Sudah menjadi kewajiban Pemerintah melindungi setiap warga negaranya yang bekerja di luar negeri.

Salah satu yang dibahas adalah advokasi, yakni bagaimana menyediakan pengacara bagi TKI. Opsinya bisa advokasi probono atau honorarium advokatnya diambil dari asuransi TKI. “Masih dipikirkan bagaimana menyediakan pengacara bagi TKI, apakah nanti menggunakan asuransi yang bisa mengcover biaya pengacara atau menggunakan cara lain,” jelas Dede Yusuf usai rapat Panja RUU PPILN di ruang sidang Komisi IX DPR, Rabu (17/2).

Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, menilai UU PPTILN memberikan perlindungan yang minim terhadap TKI. TKI masih dianggap sebagai komoditas sehingga perlindungan diserahkan kepada swasta lewat PJTKI/PPTKIS. Minimnya perlindungan itu bukan saja ketika TKI berada di luar tetapi juga di penampungan dalam negeri.

Anis berharap RUU PPILN memiliki paradigma yang jauh berbeda dengan UU PPTKILN. Paradigmanya harus berbasis HAM dan memberi mandat besar kepada pemerintah untuk memberikan pelayanan publik terhadap warga negaranya yang mau bekerja ke luar negeri. Pelayanan itu harus terdesentralisasi sampai ke tingkat desa. Dengan pelayanan terpadu dan berbasis online diharapkan mampu menghasilkan pelayanan yang mudah, murah dan cepat. Ia juga mengingatkan putusan Mahkamah Konstitusi Tahun 2013 mengabulkan permohonan pengujian Pasal 59 UU PPTKILN yang intinya membolehkan TKI untuk berangkat secara mandiri.

Anis juga melihat perlunya negara hadir memberi perlindungan optimal terhadap TKI, antara lain menyiapkan pengacara. “Di draft RUU PPILN ada mandat kepada pemerintah untuk menyediakan pengacara probono di berbagai wilayah,” katanya.

Anis juga mengingatkan agar sanksi pidana yang diatur dalam UU PPILN diselaraskan dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sebab selama ini TKI rentan terjebak dalam kejahatan perdagangan orang.
Tags:

Berita Terkait