Advokat Kembali Tertangkap, Anggota DPR Usul Penerapan Sanksi Permanen
Berita

Advokat Kembali Tertangkap, Anggota DPR Usul Penerapan Sanksi Permanen

Masuk dalam RUU Advokat. Jika jadi tersangka, advokat tersebut diberhentikan sementara, kalau sudah inkracht baru berhenti tetap.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Foto: RES
Dunia advokat kembali tercoreng setelah Awang Lazuardi Embat, pengacara asal kota Malang itu tertangkap dalam operasi tangkap tangan oleh KPK. Kejadian ini menjadi fokus bagi Anggota Komisi III DPR Arsul Sani. Ia menilai, keterlibatan advokat dalam judicial corruption sudah masuk dalam kondisi yang sudah darurat.

Menurutnya, kondisi ini sama daruratnya dengan adanya keterlibatan pihak lain dalam jaringan praktik korupsi. Bermaksud untuk menimbulkan efek jera, ia menyarankan agar RUU Advokat menampung sanksi-sanksi tegas bagi pengacara yang terkait tindak pidana yang masuk kategori extra ordinary crime itu.

“Soal suap menyuap ini kan emang ada dalam status darurat. Tapi bukan cuma dunia peradilan aja. Kalau kita mau mengatakan itu darurat bagi advokat, iya sebagaimana darurat bagi sektor lainnya,” kata Arsul kepada hukumonline, Senin (15/2).

Sanksi tegas yang diusulkan politisi dari PPP itu adalah pemberhentian tetap dari profesi advokat bagi pengacara yang terbukti terlibat dalam jaringan praktik korupsi dalam proses peradilan. “Justru yang harus dikeraskan adalah kalau dia dipidana karena suap dalam proses peradilan. Dia harus dihukum atau dipecat dan tidak bisa jadi advokat lagi, pembersihan permanen jadi harus seperti itu,” katanya.

Ia tak menampik ketentuan pemberhentian tetap ini sudah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal itu menyebutkan advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya secara tetap karena dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman empat tahun atau lebih.

Sayangnya, lanjut Arsul, pasal itu belum mengatur tegas terkait tindak pidana apa. Untuk itu, ia mengusulkan agar dalam RUU Advokat nantinya turut disebutkan tindak pidana apa saja yang masuk kategori sanksi pemberhentian tetap. “Kalau di undang-undang sekarang tidak ditegaskan, sekarang itu harus ditegaskan apakah sebagai norma atau itu dalam penjelasan pasal,” tambahnya.

Selain sanksi pemberhentian tetap, Arsul melanjutkan, dalam RUU Advokat juga akan diatur mengenai sanksi pemberhentian sementara. Menurutnya, sanksi ini bisa dijatuhkan kepada advokat yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Jika kasus tersebut inkracht, dan advokat tersebut terbukti bersalah, maka akan diberhentikan secara tetap dan tidak bisa kembali menjalankan profesinya sebagai pengacara.     

Ia percaya, penerapan sanksi pemberhentian tetap dan sementara ini merupakan bagian dari wujud profesi yang mulia dan terhormat atau officium nobile. “Begitu ditetapkan tersangka harus diberhentikan sementara, itu wujud dari officium nobile ada di situ. Kalau sudah inkracht sudah (berhenti) tetap. Terbukti pidana, dia tertutup kembali jadi advokat,” usulnya.

Untuk penerapan sanksi ini, lanjut Arsul, RUU akan memberi peran lebih bagi Dewan Advokat Nasional (DAN) sebagai lembaga yang mengawasi dan penegakan pelanggaran kode etik bagi advokat. “Selama ini ada aturan terlalu umum, harus ada tindakan-tindakan tertentu yang tegas. Organisasi melanggar karena itu pasal umum. Tapi kalau disebut di pasal disebut tegas karena tindak pidana ini akan dipidana, itu lebih tegas,” tukasnya.

Sayangnya, Arsul belum melakukan studi banding ke negara lain yang pernah mengalami keadaan serupa, yakni banyaknya praktik suap menyuap dalam proses peradilan. Untuk itu, ia masih perlu memastikan apakah pengaturan sanksi yang tegas dalam satu pasal khusus dapat menjadi solusi mengatasi persoalan di Indonesia atau tidak.

Dimintai tanggapannya, Ketua DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Luhut MP Pangaribuan menilai, peran DAN merupakan isu lama yang pernah dibahas dalam RUU Advokat sebelumnya. Jika saat ini ide atau konsep DAN kembali dimunculkan dalam RUU Advokat, perlu ada diskusi mendalam yang menjelaskan soal peran dan fungsinya lembaga itu.

“Sebagai ide, kita harus terima dan harus didiskusikan apakah itu merupakan konsep yang tetap untuk organisasi profesi advokat. Profesi itu kan keilmuan jadi harus dibuka untuk didiskusikan,” ujarnya saat ditemui hukumonline di Jakarta, Selasa (16/2).

Dikatakan Luhut, Komisi III DPR mestinya mengundang setiap stakeholder terutama organisasi profesi advokat yang eksis di Indonesia untuk menjaring ide soal peran dan fungsi DAN dalam RUU Advokat. Sebab hingga saat ini, sepanjang sejarah organisasi advokat masih belum pernah menemukan format atau model pengawasan yang pas jika berkaitan dengan standar profesi dan penegakan kode etik.

“Kalau ada Dewan Advokat Nasional, sebagai konsep atau gagasan, kita harus terbuka untuk mendiskusikannya dan kemudian bersama-sama memutuskannya,” pungkasnya.

Untuk diketahui, terdakwa suap yang merupakan mantan anak buah OC Kaligis, M Yagari Bhastara Guntur alias Gary berharap agar tetap bisa menjadi advokat setelah menjalani pidana. Gary telah divonis pidana dua tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider enam bulan kurungan karena terbukti menyuap tiga hakim PTUN Medan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Sedangkan terhadap advokat Mario C Bernardo yang terbukti menyuap pegawai non-aktif Badiklat Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman sebesar Rp150 juta, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Dalam pertimbangannya, majelis tak mengabulkan permintaan penuntut umum KPK untuk mencabut hak praktik advokat Mario. Majelis menyerahkan permintaan penuntut umum KPK tersebut kepada PERADI, alasannya, karena Mario merupakan salah satu anggota dari organisasi itu.
Tags:

Berita Terkait