Ini yang Terjadi Bila RUU Pengampunan Pajak Tak Disiapkan dengan Matang
Berita

Ini yang Terjadi Bila RUU Pengampunan Pajak Tak Disiapkan dengan Matang

Muncul persepsi ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh. Kemudian, menunjukan kelemahan penegak hukum terhadap pengemplang pajak dan lemahnya administrasi pajak.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: YOZ
Foto: YOZ
RUU Pengampunan Nasional atau Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) tak lama lagi bakal diboyong ke paripurna untuk disahkan dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Setelah itu, pembahasan pun bakal dimulai. DPR mewanti-wanti agar pemerintah memperhitungkan pemasukan dari sektor pajak melalui RUU tersebut.

“Jangan sampai kita buat UU Pengampunan Pajak kita rugi. Berharap uang masuk, tetapi tidak masuk karena diampungi. Jadi ini kita serahkan ke ekesekutif harus akurat perhitungannya,” ujar Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Gedung DPR, beberapa hari  lalu.

RUU Pengampunan Pajak merupakan permintaan pemerintah. Tujuannya, mendongkrak pemasukan negara dari sektor pajak. Yakni, terhadap mereka yang memiliki tunggakan pajak dan menyimpan uang di luar negeri diharapkan dapat kembali ke Indonesia dengan memboyong pundi-pundi keuangannya ke dalam negeri.

Menurut Fahri, pajak menjadi ranah pemerintah. Dengan RUU usulan pemerintah itu DPR menginginkan ketika melakukan pembahasan terhadap data base daftar orang yang ditargetkan untuk mendapatkan pengampunan pajak. Selain identitas, juga lokasi menyimpang keuangan yang dimiliki serta besaran jumlah uang yang disimpan di luar negeri. “Ini kan harus akurat. Buat apa ada UU Pengampunan Pajak jika tidak ada pertimbangannya. Jangan sampai kita rugi,” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.

Terpisah, Direktur Eksekutif  center for Indonesia Taxation Analisis (CITA), Yustinus Prastowo, berpandangan dalam konsep tax amanesty wajib pajak secara sukarela melaporkan harta kekayaannya yang ‘terparkir’ di luar negeri maupun di dalam negeri. Wajib pajak seperti itulah yang idealnya mendapat pengampunan mulai pajak terutang, sanksi administrasi, dan pidana perpajakan. Wajib pajak pun diwajibkan membayar tebusan sebesar 2,4 hingga 6 persen dari jumlah bruto aset yang dilaporkan.

“Tetapi tergantung dari periode pelaporan aset,” ujarnya.

Prastowo menilai kinerja pemungutan pajak di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Speuluh tahun terakhir, Ditjen Pajak acapkali gagal mencapai target penerimaan pajak yang ditetapkan. Ironisnya, capaian realisasi penerimaan pajak diperparah dengan target melonjak tajam di 2015. Hasilnya, penerimaan pajak di 2015 hanya mencapai Rp1.060 triliun, atau 82 persen. Sementara target penerimaan pajak pada APBN 2016 tetap meningkat 5,74 persen dari APBN 2015 menjadi Rp1.368 triliun.

Terlepas dari hal itu semua, kata Prastowo, pemerintah mesti mempertimbangkan dengan matang penerapan tax amensty di Indonesia. Sebab di berbagai pengalaman negara menunjukan keberhasilan penerapan tidak berbanding lurus upaya dan pengorbanan yang dilakukan. “Berbagai penelitian menunjukan bahwa di negara berkembang yang belum didukung sistem administrasi yang baik dan ketersediaan data yang akurat, tax amnesty cenderung tidak berhasil dan menurunkan kepatuhan pajak,” ujarnya.

Prastowo setidaknya mengatakan, penerapan tax amnesty bila tidak dipersiapkan matang membawa dampak negatif. Misalnya, muncul persepsi ketidakadilan wajib pajak yang telah patuh. Kemudian, menunjukan kelemahan penegak hukum terhadap pengemplang pajak dan lemahnya administrasi pajak. Ujungnya, publik  dapat menilai penerapan tax amnesty upaya membungkus praktik pengindaran dan pengemplang pajak menjadi suatu hal yang lumrah.

Pemerintah mestinya mempertimbangkan berbagia pro kontra yang berkembang di publik dengan bijak. Sembari, pemerintah mengumpulkan data, menyiapkan payung hukum memadai dan administrasi perpajakan yang memastikan pasca amnesty kepatutah dan penerimaan pajak meningkat. “Tanpa memikirkannya, bukan tidak mungkin kita sedang menggagas pengampunan pajak, melainkan ‘pengampuan’ pajak, karena terhadap  koruptor pun jauh-jauh hari sudah  kita siapkan karpet merah dan menampakan tanda-tanda menyerah,” tandasnya.

Sebelumnya, Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan pemberian pengampunan terhadap pengemplang pajak mesti diberikan secara ketat. Sepanjang harta kekayaannya yang terparkir di luar negeri diperoleh dengan cara halal menjadi bagian syarat mendapatkan pengampunan pajak. Menurutnya, RUU Pengampunan Pajak mesti memperhatikan persyaratan secara ketat agar tidak smeua pemohon yang notabene pengemplang pajak dan koruptor dapat lolos mendapatkan pengampunan.

Selain itu mesti adanya jaminan agar pemohon pengampunan tidak kembali memboyong harta kekayaannya ke luar negeri setelah mendapat pengampunan pajak. “Jangan hanya uang stay di sini untuk mendapatkan amnesty, kemudian pindah lagi. Sepanjang itu uang diperoleh dari hasil kejahatan, maka tidak layak mendapatkan amnesty,” tukasnya.

Tags:

Berita Terkait