ICW: Ini Enam Celah Judicial Corruption di Lingkungan MA
Berita

ICW: Ini Enam Celah Judicial Corruption di Lingkungan MA

Isu pengawasan internal MA dan penanganan perkara mesti menjadi perhatian untuk marwah MA itu sendiri.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Gedung Mahkamah Agung. Foto: RES
Pasca tertangkapnya eks Kasubdit Kasasi Perdata pada Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Ditjen Badilum Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna, pekan lalu oleh KPK disinyalir bahwa praktik judicial corruption masih kerap terjadi. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar melihat setidaknya ada dua isu sentral yang kini tengah menjadi perhatian.

Dua isu itu antara lain soal pengawasan di internal MA dan mengenai manajemen perkara. Terkait dengan isu pengawasan, kata Arad –sapaan Aradila- MA mestinya kini mulai terbuka dengan segala kritik yang dilontarkan, termasuk dari Komisi Yudisial (KY). Selain itu, MA juga mesti membuka kerja sama dengan pihak lain khususnya dalam hal pengawasan.

“Kemudian membangun sinergi dengan KY dan masyarakat sipil untuk mencari pola pengawasan yang tepat. Toh semua dilakukan demi marwah MA,” ujar Arad lewat pesan singkat kepada hukumonline, Jumat (19/2).  

Sebab, lanjut Arad, ia melihat selama ini MA seringkali tidak merespon rekomendasi yang diberikan oleh KY terkait dengan pengawasan yang selama ini dilakukan. Sementara itu, terkait dengan manajemen perkara, semestinya MA kini lebih terbuka kepada publik. Setidaknya, lanjut Arad, MA bisa meelibatkan para akademisi, masyarakat sipil, hingga KY untuk membangun sistem penanganan perkara yang lebih baik lagi.

“Selama ini kan penanganan perkara cukup tertutup. Publik sulit mengetahui perkaranya sudah sampai mana,” tuturnya.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, praktik korupsi di MA dilakukan dengan memanfaatkan ‘celah’ pada struktur dan mekanisme internalnya. Hal itu terlihat dari buku berjudul “Menyingkap Tabir Mafia Peradilan” yang diterbitkan ICW akhir tahun 2002 silam. Dalam buku itu, setidaknya terungkap sejumlah pola-pola korupsi dilakukan di lingkungan internal MA.

Dari penelitian itu, ICW berhasil memetakan bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam pusaran korupsi di lingkungan MA tak hanya melibatkan hakim agung. Akan tetapi terungkap juga pihak lain yang terlibat mulai dari pegawai MA, panitera, dan hakim di tingkat Pengadilan Negeri (PN).

Pertama, pemerasan. Pihak yang aktif dalam modus ini justru hakim agung yang bekerja sama dengan asistennya atau hakim yustisial (hakim non palu). Biasanya hakim yustisial akan menghubungi pihak berperkara dan memberi janji kemenangan dan juga percepatan penanganan perkara. Modus pemerasan yang lain, biasanya dilakukan juga oleh karyawan MA.

Pola pemerasan ini, biasanya dilakukan ketika majelis hakim telah menjatuhkan putusan secara lisan namun belum dilakukan pengetikan. Celah itu dimanfaatkan oleh panitera dan staf MA dengan menghubungi pihak pemenang dan menawarkan bantuan untuk memenangkan perkara. Padahal, sebetulnya pihak yang dihubungi memang sudah diputuskan menang oleh majelis hakim kasasi.

Kedua, pengaturan majelis hakim yang ‘nikmat’. Misalnya, ketika perkara jatuh ke tangan hakim yang sudah dikenal baik dan pernah bekerja sama, maka proses memenangkan perkara akan lancar dan begitu sebaliknya. Salah satu trik mengatur komposisi majelis hakim, yakni dengan tidak melengkapi berkas perkara.

Karena berkas belum lengkap, maka berkas perkara akan tertahan di direktorat. Untuk diketahui, pemeriksaan di MA didasarkan atas nomor urut perkara. Setiap nomor urut itu, telah ditetapkan majelis hakim yang menanganinya. Lantaran telah ada kongkalikong dengan direktorat MA, berkas perkara akan diatur agar jatuh ke tangan hakim yang favourable.

Ketiga, pengaburan perkara. Cara pertama untuk mengaburkan perkara, yakni dilakukan oleh asisten hakim agung yang membuat resume setelah terlebih ada kesepakatan khusus dengan pihak yang berperkara. Oleh asisten hakim agung itu, resume akan dibuat untuk menguntungkan salah satu pihak sehingga ketika vonis kasasi diketok, pihak tertentu itulah yang dimenangkan.

Sementara, cara kedua pengaburan perkara dilakukan dengan menghilangkan sejumlah data dari berkas perkara yang biasanya dilakukan oleh panitera yang lebih senior. Namun untuk melancarkan aksinya, panitera turut bekerja sama dengan hakim yang akan memeriksa perkara yang didaftar.

Kedua cara itu dimanfaatkan oleh oknum di MA untuk menguntungkan diri sendiri lantaran mereka tahu kalau hakim agung tidak akan memeriksa perkara secara detail karena hakim agung dituntut menyelesaikan tumpukan perkara yang masuk ke MA. Sehingga, lewat jalan itu, oknum-oknum bisa melakukan pengaburan perkara yang ditangani oleh hakim agung.

Keempat, lewat ‘surat sakti’ MA. berdasarkan catatan ICW, aktor utama dalam pola ini adalah hakim dengan lawan dari pihak yang berperkara. Setelah bersepakat lewat negosiasi, nantinya Ketua MA yang akan mengeluarkan ‘surat sakti’ ini. Biasanya, surat ini dikeluarkan untuk menunda atau menghentikan eksekusi suatu perkara. Salah satu kasus berkaitan dengan ‘surat sakti’, yakni dalam kasus PT PLN ketika bersengketa dengan PT Enico National Development (Enico) sekira tahun 1998.

Kelima, pemalsuan vonis. Bocornya putusan MA berdasarkan catatan ICW bisa terjadi pada tukang pembawa berkas di lorong-lorong antar ruang hakim agung. Tukang pembawa berkas bisa berhenti sebentar untuk meng-copy putusan. Kasus seperti ini jarang terdengar lagi di MA.

Keenam, vonis yang tidak bisa dieksekusi. Pola ‘memandulkan’ vonis merupakan celah korupsi yang tidak hanya melibatkan hakim agung di MA tetapi juga hakim di tingkat pengadilan negeri. Untuk diketahui, suatu perkara yang menang di tingkat kasasi, pihak pengadilan negeri lah yang akan melakukan eksekusi.

Modus seperti ini menunjukkan bahwa kemenangan ‘di atas kertas’ benar adanya. Sebagai gambaran, vonis kasasi yang memenangkan salah satu pihak menjadi tidak bisa dieksekusi karena pihak lawan mengajukan kembali gugatan dalam perkara yang sama dan bahkan dengan objek yang sama pula.

Arad tak menampik buku ini terbit sebelum Reformasi Pembaruan di MA. Meski begitu, ia menilai, kasus judicial corruption yang terjadi setelah tahun 2003 di MA, menunjukkan bahwa modus yang dilakukan para pelaku tak jauh berbeda seperti yang digambarkan dalam buku. “Tapi tentu kemungkinan modus-modus yang dilakukan tak jauh berbeda,” pungkasnya.

Sebelumnya, dalam konferensi pers, Juru Bicara MA Suhadi membantah bahwa sistem pengawasan di internal MA lemah. Meski begitu, MA berjanji akan terus memperketat pengawasan terutama dalam hal manajemen perkara. “Kasus ATS (Andri Tristianto Sutrisna) di luar kontrol pengawasan MA, karena dia bertindak di luar tugas dan fungsinya sebagai Kasubdit Kasasi/PK Perdata MA,” katanya di Gedung MA.
Tags:

Berita Terkait