JR Upah Minimum, Hakim Sarankan Buruh Tak Khawatir Berlebihan
Berita

JR Upah Minimum, Hakim Sarankan Buruh Tak Khawatir Berlebihan

Buruh harus bisa menjelaskan permohonan ini masalah konstitusionalitas, bukan penerapan norma.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Foto: SGP
Aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Foto: SGP
Majelis Panel Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang judicial review (JR) Pasal 88 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait formula penetapan upah minimum yang diajukan 113 buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Tanpa Nama.

Intinya, pemohon meminta pasal itu ditafsirkan bersyarat, pemerintah menetapkan upah minimum dari akumulasi nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL), nilai produktivitas, dan nilai pertumbuhan ekonomi berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan provinsi/kabupaten/kota.

Dalam sidang pendahuluan, kuasa hukum pemohon, Iskandar Zulkarnain menuturkan unsur KHL dan rekomendasi Dewan Pengupahan tidak lagi jadi ukuran dalam penetapan upah minimum. Ini disebabkan PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ‘menghapuskan’ peran Dewan Pengupahan. Padahal, Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menyebut penetapan upah minimum oleh gubernur atas rekomendasi Dewan Pengupahan.

“Sejak terbitnya PP Pengupahan itu seolah-olah keberadaan Dewan Pengupahan sudah tidak ada lagi. Padahal, pembentukan PP Pengupahan tidak boleh bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan,” ujar Iskandar Zulkarnain dalam persidangan yang diketuai Suhartoyo di ruang sidang MK, Selasa (23/2). Hartoyo didampingi Wahiduddin Adams dan Patrialis Akbar selaku anggota panel.

Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan menyebutkan “Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.” Namun,Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) PP Pengupahan mengatur rumusan penghitungan besaran upah minimum adalah upah minimum tahun berjalan ditambah nilai inflasi dan nilai pertumbuhan ekonomi.

Menurut pemohon segala proses penetapan upah minimum yang tidak melibatkan Dewan Pengupahan harus dianggap cacat hukum. “Pemohon dari 113 buruh dari sekitar 50 perusahaan di Jawa Barat dan Jawa Timur minta agar penetapan upah minimum dikumulatif dari KHL, nilai produktivitas, dan nilai pertumbuhan ekonomi tetap berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan,” tegasnya.

Ketua Majelis Panel Suhartoyo menilai materi permohonan ini bentuk kekhawatiran berlebihan dari para pemohon. Sebab, akumulasi KHL, produktivitas, dan nilai pertumbuhan ekonomi sebenarnya sudah terakomodasi dengan norma yang diuji. Persoalannya, tinggal semangat para stakeholders ketika menerapkan norma itu ketika menentukan upah minimum.

“Norma yang lama dengan yang Anda minta sekarang sebenarnya tidak ada persoalan. Kalau unsur-unsur yang diminta kenyataannya muncul angka-angkanya kecil juga kan percuma, sama saja bohong. Ini tinggal bagaimana goodwill para penentu kebijakan upah minimum itu,” kritik Suhartoyo.

Panel lainnya, Patrialis Akbar mempertanyakan relevansi pertentangan norma yang diuji dengan pasal-pasal konstitusi. Sebab, permohonan lebih pada penerapan norma ketika pemohon menilai seolah-olah pemerintah belum memiliki rumusan jika mengacu Pasal 44 PP Pengupahan yang mengatur rumusan  baru penetapan upah minimum.

“Apakah ini konteks pelaksanaan dari UU atau ada persoalan konstitusionalitas norma? Ini arahnya lebih pada penerapan norma,” kata Patrialis.

Dia menjelaskan ada tiga unsur dalam penetapan upah minimum ini yakni KHL, produktivitas, dan pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, para pemohon merasa khawatir dengan adanya kata ‘berdasarkan’ dan  frasa ‘dengan memperhatikan’ dalam Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. “Apa ini bukan implementasi norma juga?”

Wahiddudin Adams menambahkan formula penetapan upah minimum sudah diatur dalam Penjelasan Pasal 44 PP Pengupahan, yakni upah minimum tahun berjalan, ada nilai inflasi, pertumbuhan ekonomi. Formula ini akan diatur lebih teknis lagi dalam Permenaker sebagai aturan pelaksana PP Pengupahan itu. “Ini seharusnya ditindaklanjuti pemerintah dengan mengharmonisasi kembali semua peraturannya. Sepertinya belum, karena ini PP baru kan, coba ini diuraikan (dalam permohonan),” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait