Ingin Mem-PHK? Sebaiknya Ikuti Mekanisme Ini
Utama

Ingin Mem-PHK? Sebaiknya Ikuti Mekanisme Ini

Kesepakatan adalah esensi dasar PHK. Jika efisiensi tak berhasil, PHK bisa ditempuh.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): BAS
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): BAS
Hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha tidak selalu berjalan mulus. Kadang terjadi perselisihan yang ujungnya bisa mengarah pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Putusnya hubungan bisa terjadi kapan saja dank arena banyak sebab. Para pihak punya kesempatan untuk mengakhiri hubungan kerja mereka.

Direktur PPPHI Kementerian Ketenagakerjaan, Sahat Sinurat, mengatakan hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dan pengusaha didasari oleh kesepakatan. Karena itu pula PHK harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Perselisihan PHK muncul karena tidak terjadi kesepakatan. Misalnya, menyangkut alasan PHK, hak atau kompensasi, dan PHK tidak dilakukan sesuai ketentuan. Pada praktiknya ada perusahaan yang melakukan PHK tidak merujuk peraturan yang berlaku, sehingga melahirkan perselisihan.

PHK dapat terjadi karena banyak sebab. Bisa karena pekerja melanggar tata tertib perusahaan, mengundurkan diri, mencapai usia pensiun, dan bisa pula lantaran kontrak kerja berakhir. Bisa juga karena perusahaan merugi dan pindah (relokasi).

Apapun alasan PHK, prosedur utama yang perlu ditempuh kedua belah pihak yakni melakukan musyawarah untuk mufakat atau disebut bipartit. Jika tidak selesai bisa meminta bantuan dinas tenaga kerja setempat dan memilih cara penyelesaian apakah menggunakan mediasi atau konsiliasi. Namun, jika proses itu tidak mampu menyelesaikan perselisihan upaya hukum bisa dilanjutkan ke pengadilan.

Dalam menyiapkan proses melakukan PHK, Sahat mengingatkan agar perusahaan punya dokumen-dokumen terkait yang menjadi alasan untuk melakukan PHK terhadap pekerja. Misalnya, apa bentuk pelanggaran tata tertib yang dilakukan pekerja, apakah sudah diberikan surat peringatan pertama, kedua dan ketiga dalam rangka pembinaan terhadap pekerja.

Jika dalam proses musyawarah dan mufakat di tingkat bipartit dicapai kesepakatan maka harus dituangkan ke dalam Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh masing-masing pihak kemudian didaftarkan ke pengadilan hubungan industrial (PHI) setempat. Begitu pula jika kesepakatan dicapai pada tingkat mediasi atau konsiliasi di dinas tenaga kerja.

“Sebelum melakukan PHK, perusahaan harus menjelaskan alasan PHK dan kompensasi yang diterima pekerja paling sedikit sesuai ketentuan. PHK harus berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha,” kata Sahat kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (26/2).

Menurut Sahat, inisiatif PHK biasanya dilakukan oleh pengusaha. Namun, pasal 169 UU Ketenagakerjaan membolehkan pekerja mengajukan PHK jika pengusaha melakukan sejumlah perbuatan diantaranya menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja dan tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut.

Sahat menjelaskan kompensasi PHK yang diterima pekerja sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Misalnya, pekerja yang di-PHK karena melakukan pelanggaran tata tertib PP/PKB memperoleh kompensasi berupa pesangon satu kali ketentuan. PHK karena perusahaan tutup akibat merugi maka pekerja mendapat pesangon satu kali ketentuan. Tapi, untuk perusahaan yang tutup bukan karena merugi, pekerja mendapat pesangon sebesar dua kali ketentuan.

Perlu diingat, tidak semua PHK bisa mendapat pesangon. Misalnya, pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kemudian, pekerja yang dijatuhi PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan berat. Untuk alasan PHK karena kesalahan berat Sahat mengingatkan ada putusan MK yang intinya PHK dengan alasan tersebut harus menunggu adanya putusan pengadilan yang memutus perkara pidana terlebih dulu. Tapi ia melihat pada praktiknya putusan MK itu sulit dilaksanakan.

Ada juga putusan MK terkait PHK dengan alasan efisiensi. Menurut Sahat putusan itu tidak melarang perusahaan untuk melakukan PHK dengan alasan efisiensi. Namun, lewat putusan itu MK mengamanatkan agar pengusaha menempuh upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka efisiensi sebelum melakukan PHK. Misalnya, mengurangi jam kerja, lembur dan merumahkan pekerja.

Jika upaya-upaya efisiensi itu telah dilakukan tapi tidak berdampak positif terhadap perusahaan maka PHK bisa dilakukan. Ujungnya, PHK jenis ini mengarah pada alasan PHK karena perusahaan tutup karena merugi atau tidak. Jika tutup karena merugi maka pekerja mendapat pesangon satu kali ketentuan, kalau tidak merugi pekerja memperoleh pesangon dua kali ketentuan.

Ketua Apindo Jakarta, Soeprayitno, mengimbau agar perusahaan melakukan upaya efisiensi setidaknya selama enam  bulan. Misalnya, memangkas lembur dan memotong tunjangan makan. Jika itu sudah dilakukan namun tidak memberi dampak signifikan terhadap perusahaan maka PHK tidak dapat dihindari. “Perusahaan yang mengalami gejala itu biasanya dalam waktu satu tahun tidak ada perubahan dia akan menjual asetnya,” ujarnya.

Tak kalah penting Soeprayitno mengingatkan sebelum melakukan PHK perusahaan harus mengkomunikasikan rencana itu kepada serikat pekerja. Jika dalam perusahaan tidak ada serikat pekerja maka PHK menjadi kebijakan perusahaan.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengingatkan pasal 153 UU Ketenagakerjaan mengatur sejumlah alasan yang dilarang digunakan pengusaha untuk melakukan PHK.  Diantaranya pekerja yang berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus. Kemudian, pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya.

Namun praktiknya Timboel sering melihat pengusaha memperluas alasan PHK diantaranya ketidakharmonisan. Padahal, alasan itu tidak ada dalam UU Ketenagakerjaan. “Alasan PHK karena ketidakharmonisan menjadi marak. Majelis PHI tidak boleh mengabulkan PHK dengan alasan tersebut,” tukasnya.
Tags:

Berita Terkait