Begini Penjelasan Pemerintah tentang Bentuk Tapera
Berita

Begini Penjelasan Pemerintah tentang Bentuk Tapera

Konstitusi mengamanatkan pemerintah untuk memenuhi hak rakyat atas perumahan. Anggaran pemerintah terbatas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perumahan. Foto: blhd.bantenprov.go.id
Ilustrasi perumahan. Foto: blhd.bantenprov.go.id
RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sudah diketok anggota Parlemen untuk disahkan menjadi undang-undang. Kini tinggal menunggu tanda tangan Presiden dan pengundangan oleh Menteri Hukum dan HAM. Belum disahkan, RUU ini sudah menimbulkan pro dan kontra. Pekerja pada umumnya setuju, sebaliknya pengusaha tak setuju.

Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Maurin Sitorus, menilai UU Tapera sangat dibutuhkan masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah (MBR). Itu selaras dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) konstitusi yang menyebut setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Maurin menjelaskan selama ini pemerintah telah berupaya mewujudkan perumahan yang layak untuk rakyat lewat sejumlah program yang anggarannya melalui APBN. Seperti rumah khusus (sosial) di wilayah perbatasan, perkampungan nelayan, PNS TNI/POlri dan rusunawa. Namun, anggaran Pemerintah terbatas. Lewat UU Tapera akan dibentuk badan pengelola yang akan menghimpun dana masyarakat untuk pembiayaan perumahan murah dan berkelanjutan.

“APBN pemerintah terbatas, makanya untuk membangun perumahan untuk rakyat diperlukan Tapera. Itu ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” kata Maurin dalam diskusi yang diselenggarakan DPN Apindo di Jakarta, Jumat (26/2).

Maurin menampik jika Tapera mewajibkan iuran sebesar 3 persen yakni ditanggung pekerja (2,5 persen) dan pengusaha (0,5 persen). Menurutnya, UU Tapera yang disepakati dalam paripurna DPR Selasa lalu (23/2) tidak memuat besaran iuran. Besaran iuran akan dibahas lebih lanjut dengan melibatkan pemangku kepentingan dan akan dituangkan ke dalam Peraturan Pemerintah (PP).

Yang jelas, dikatakan Maurin, peserta yang disasar UU Tapera adalah  pekerja sektor mikro atau UMKM yang upahnya sama dengan atau di bawah upah minimum. Pekerja sektor mikro yang besaran upahnya setara upah minimum wajib jadi peserta Tapera dan yang mendapat upah di bawah upah minimum kepesertaannya bersifat sukarela. UU Tapera tidak ditujukan untuk membebani pengusaha dan pekerja sektor formal. Pemerintah Wet ini sebagai terobosan mengatasi masalah perumahan MBR.

Salah satu yang dipertanyakan adalah tidak dilibatkannya pemilik dana (pemberi kerja dan pekerja) dalam Komite Tapera dan Badan Pengelola Tapera. Maurin mengatakan ini bukan masalah karena salah satu anggota Komite Tapera bisa diisi kalangan profesional yang mungkin saja berasal dari pemberi kerja atau pekerja. Komite Tapera terdiri dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, OJK, dan profesional. Badan Pengelola Tapera terdiri dari 4 komisioner dan 1 deputi komisioner yang diseleksi dari kalangan profesional. Proses seleksi itu akan diserahkan kepada pihak independen agar transparan dan akuntabel.

Untuk organisasi turunan, Badan Pengelola Tapera akan menggunakan bank custodian. “Badan Pengelola Tapera akan diawasi oleh Komite Tapera, OJK dan BPK,” urainya.

Salah satu prinsip yang digunakan Tapera menurut Maurin yakni gotong royong yaitu semua masyarakat mengiur mulai dari berpengasilan rendah, menengah dan tinggi. Namun, manfaat Tapera yang sifatnya pembiayaan untuk perumahan hanya bisa diperoleh untuk MBR. Ia melihat ada 3 program yang akan digelar lewat Tapera yakni kepemilikan rumah lewat KPR, pembangunan rumah (untuk peserta yang memiliki tanah) dan renovasi rumah (untuk peserta yang memiliki tanah dan rumah).

“MBR yang bisa mendapatkan manfaat Tapera yakni mereka yang belum memiliki rumah, bagi yang sudah memiliki rumah maka manfaatnya bisa digunakan untuk renovasi rumah,” papar Maurin.

Ketua DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, menegaskan pengusaha menolak dibebani oleh iuran Tapera. Namun, pengusaha setuju pemerintah berperan menyediakan perumahan untuk MBR. Ia mengusulkan agar UU Tapera tidak menyasar pengusaha dan pekerja sektor formal. Sebab program Jaminan Hari Tua (JHT) yang digelar BPJS Ketenagakerjaan sudah mengalokasikan 30 persen dari dana yang dikelola untuk program perumahan bagi peserta.

Walau menyiapkan langkah mengajukan Judicial Review terhaap UU Tapera, Hariyadi berharap agar pemerintah dan DPR membuka ruang untuk melakukan amandemen terhadap regulasi tersebut. “Kami sebagai pengusaha tidak mau dibebani oleh biaya tambahan (iuran Tapera),” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait