3 Hal yang Harus Diperhatikan Notaris Terkait PP Hunian Orang Asing
Berita

3 Hal yang Harus Diperhatikan Notaris Terkait PP Hunian Orang Asing

Notaris dan PPAT mesti jeli terutama terkait dengan hak kepemilikan tanah bagi WNA. Jangan sampai membuat akta yang justru menjadi bumerang, seperti perjanjian nominee.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Alwesius (kanan) dalam seminar nasional yang diselenggarakan Pengurus Daerah INI dan IPPAT Kabupaten Tangerang. Foto: NNP
Alwesius (kanan) dalam seminar nasional yang diselenggarakan Pengurus Daerah INI dan IPPAT Kabupaten Tangerang. Foto: NNP

Dalam berpraktik, notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) acapkali bersinggungan dengan warga negara asing (WNA). Terlebih lagi, pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia (PP Hunian Orang Asing). Notaris dan PPAT di Tangerang, Alwesius menyatakan, setidaknya tiga hal yang mesti diperhatikan oleh notaris dan PPAT berkaitan dengan PP Hunian orang Asing.

“Untuk orang asing tidak hanya dengan keluarnya PP 103/2015. Dari dulu jadi permasalahan dalam praktik kita (notaris dan PPAT),” ujar Alwesius dalam seminar nasional yang diselenggarakan Pengurus Daerah INI dan IPPAT Kabupaten Tangerang di Tangerang Selatan, Jumat (26/2).

Pertama, yakni soal kepemilikan hak bagi WNA. Secara umum, tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai oleh WNA adalah tanah hak pakai dan tanah hak sewa. Namun, kata Alwesius, meski WNA hanya bisa menjadi subjek hak pakai tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ada tiga peristiwa hukum yang memungkinkan WNA memiliki hak di luar hak pakai.

Ketiga peristiwa hukum itu antara lain, pewarisan berdasarkan undang-undang, perkawinan campuran dengan persekutuan harta, serta peralihan kewarganegaraan dari WNA ke warga negara Indonesia (WNI). Misalnya karena pewarisan, WNA dapat memperoleh status tanah berupa tanah hak milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Pakai.

Akan tetapi, oleh karena WNA bukan merupakan subjek hak milik, HGU, atau HGB, maka tanah tersebut dalam jangka waktu satu tahun wajib dialihkan kepada pihak lain. Sebab, berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) untuk hak milik, Pasal 30 ayat (2) untuk HGU, dan Pasal 36 ayat (2) untuk HGB, UUPA menyatakan jika lebih dari satu tahun tidak dilakukan pengalihan, maka hak atas tanahnya hapus dan tanahnya menjadi tanah negara. 

“Tapi kita juga harus paham, kepemilikan asing itu ada syarat dan batasan. Jangka waktu satu tahun sejak terjadinya peristiwa itu tadi. Jadi sekalipun sertipikat tanahnya masih dipegang oleh bekas pemegang hak (WNA) dan dalam sertifikat tanah tersebut masih berstatus hak milik atau HGB. Secara yuridis, demi hukum tanah tersebut telah berstatus tanah negara sehingga tidak dapat dipindahtangankan atau dijadikan jaminan utang,” terangnya.

Kedua, kata Alwesius, yang mesti diperhatikan oleh notaris dan PPAT adalah ketika ada para pihak atau klien yang datang menghadap dan meminta dibuatkan Akta Jual Beli (AJB) atau pengikatan jaminan baik berupa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT). Pasal 26 ayat (2) UUPA tegas melarang pengalihan hak terhadap pihak yang tidak memenuhi syarat menjadi subjek hak milik baik langsung ataupun tidak langsung.

Di kondisi tertentu, sebagai contoh ketika akta jaminan berupa SKMHT atau APHT yang dikeluarkan notaris atau AJB yang diterbitkan PPAT dalam keadaan yang baik, dalam hal ini debitur lancar. Maka, hal ini tidak akan terungkap. Sebaliknya, jika ternyata debitur tidak baik, maka notaris dan PPAT lah yang mesti juga bertanggungjawab terhadap semua resiko yang mungkin muncul.

“Kalau ada unsur asing, kita (notaris dan PPAT) tau dia hanya punya hak pakai. Kalau mau dijual dengan akta PPAT, seharusnya dijadikan dulu dia jadi hak pakai biar dia menguasai tanahnya secara legal. Baru buat AJB, lalu balik nama atas nama pembeli, dan baru nanti mau ditingkatkan lagi jadi hak milik, ya monggo. Memang itu ada biaya yang mesti ditanggung. Sekarang mau aman atau menyimpan bara dalam sekam?” tuturnya.

Sehingga, Alwesius berpendapat notaris dan PPAT mesti jeli dan tidak menerima klien yang meminta dibuatkan akta pengalihan atau akta pengikatan jaminan ketika jangka waktu satu tahun sebagaimana diatur di Pasal 21 ayat (3), Pasal 30 ayat (2), dan Pasal 36 ayat (2) UUPA telah terlampaui. Sebab, lanjutnya, notaris dan PPAT yang bertanggungjawab  di kemudian hari apabila timbul risiko hukum yang muncul.

“Jadi akan menjadi persoalan hukum bagi notaris dan PPAT kalau ternyata masih kita layani pembuatan AJB, kalau masih kita layani pembuatan pengikatan jaminan baik SKMHT atau APMHT.  Kalau yang begitu, kita menyimpan permasalahan di kemudian hari. Sebagai bara api dalam sekam. Seharusnya kita membenarkan permasalahannya ke rel yang benar,” pesannya.

Ketiga, terkait dengan akta perjanjian nominee. Pada prinsipnya notaris dan PPAT menuangkan keinginan atau kehendak para pihak ke dalam akta otentik sesuai dengan peraturan perundang-undangan (konstatir). Problemnya, kata Alwesius, perjanjian nominee seringkali dipakai untuk ‘menyelundupkan hukum’ terhadap larangan pemilikan tanah hak milik oleh orang asing. Lewat perjanjian ini, WNA meminjam nama WNI untuk kepentingan penguasaan tanah bagi WNA itu.

“Jangan sekali-sekali kita sebagai notaris menyediakan sarana yang sebenarnya sarana itu melanggar prinsip atau ketentuan hukum yang kita anut,” kata dosen Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UI itu.

Sehingga, secara yuridis perjanjian nominee dilihat dari sisi formil pemilik hak adalah si WNI. Akan tetapi secara materil, tanah itu tetap menjadi hak dari WNA. Sebab, dalam kondisi ini tetap berlaku keadaan umum sebagaimana Pasal 26 ayat (2) UUPA bahwa WNA tidak boleh memiliki tanah lewat hak milik baik langsung ataupun tidak langsung. 

“Jadi pembuatan perjanjian nominee itu jelas melanggar hukum. Jadi nanti kalau ada persolan, tetap kita yang kena. Yang tidak ada masalah ketika tanah itu didiemkan saja atau dikuasai sendiri tidak ada masalah. Tapi suatu saat tanah yang dilindungi oleh perjanjian nominee itu dijadikan jaminan utang. Kalau debitur yang lalai tahu akan hal itu bagaimana?” katanya.

Oleh karenanya, Alwesius berpesan sebaiknya notaris dan PPAT meski tunduk pada prinsip dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. jangan sampai, karena dalih hanya mengkonstantir, notaris dan PPAT tidak melihat kebenaran yang sejalan dengan hukum yang berlaku.

“Jangan bilang notaris atau PPAT itu tidak bisa dipidana. Pejabat umum bertanggung jawab apabila dia membuat akta dan secara umum berdasarkan pengetahuan sebagai sarjana hukum bahwa akta yang dibuat mungkin timbul masalah. Maka disitu, kita dapat dituntut bertanggung jawab,” tutupnya.

Di tempat yang sama, Ketua Umum IPPAT Syafran Sofyan mengatakan bahwa notaris dan PPAT mesti memberikan kepastian hukum dalam setiap produk hukumnya, berupa akta otentik yang dikeluarkan. Untuk itu, notaris dan PPAT mesti terus meng-update setiap aturan hukum yang diterbitkan oleh pemerintah agar dalam setiap produk aktanya selalu mencakup unsur kepastian hukum.

“Tugas utama membuat akta otentik. Di sana harus ada kepastian hukum. untuk mencapai kepastian hukum kita tentu harus tau peraturan terkait,” pungkas Syafran.
Tags:

Berita Terkait