Dampingi si Miskin, Ini Suka Duka Pengacara Pro Bono
Berita

Dampingi si Miskin, Ini Suka Duka Pengacara Pro Bono

Kehadiran pengacara pro bono seringkali memberikan semangat kepada keluarga klien yang sudah hampir putus asa.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Acara penganugerahan Pro Bono Award yang digelar PERADI, Jumat (25/2). Foto: FEB
Acara penganugerahan Pro Bono Award yang digelar PERADI, Jumat (25/2). Foto: FEB
Mendampingi pencari keadilan yang tidak mampu secara finansial merupakan salah satu kewajiban advokat yang harus mereka laksanakan dalam menjalankan tugas profesinya. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

Dalam menjalankan kewajibannya, ada advokat yang memilih menyisihkan sebagian dari waktunya beracara secara komersil. Tapi ada juga yang memang terjun mengabdikan diri mereka menjadi pengacara yang memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau pro bono kepada si miskin lewat organisasi bantuan hukum.

Untuk kategori yang kedua ini dilakukan oleh penerima penghargaan Pro Bono Awards 2016, Guntur Perdamaian. Sejak diangkat sumpah menjadi advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta pada tahun 2007, Guntur mendedikasikan diri menjadi pengacara pro bono sepenuhnya di LBH Mawar Saron.

Selama delapan tahun Guntur mengaku mendapat banyak kisah menarik yang ia temukan. Suka duka juga ia rasakan ketika harus memberi hati sepenuhnya kepada kasus yang sedang ia tangani. “Sebab meski tidak dibayar, kita tetap harus totalitas,” pungkas lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik (UNIKA) Santo Thomas, Medan ini, Jumat (26/2).

Suka yang pertama menurut Guntur adalah kehadiran pengacara pro bono seringkali memberikan semangat kepada keluarga klien yang sudah hampir putus asa. Bukan tidak mungkin belitan kasus menyebabkan keluarga kliennya itu banyak pikiran. Terlebih lagi soal siapa yang akan mencari nafkah bila “tulang punggung” mereka ditahan polisi.

“Kalau sudah begitu, saya katakan kepada mereka, ‘ibu banyak berdoa, dekat dengan Tuhan. Tuhan pasti lindungi keluarga ibu. Kalau masalah perkaranya, biarlah Tuhan sudah kirim saya. Jadi tidak usah ibu ikut berpikir’,” tutur Guntur kepada hukumonline saat ditemui usai malam penganugerahan.

Ada suka, ada juga duka. Bagi Guntur, selama menggeluti profesi advokat pro bono, dirinya kerap melihat mapannya kesejahteraan para pengacara komersil. Hal ini sering terlintas di pikirannya bahwa hidup para pengacara komersil itu enak karena punya uang banyak. Namun duka ini disiasatinya hingga menjadi suka. Ini dikarenakan dengan menjadi pengacara pro bono, ia justru terbiasa untuk bersyukur atas apa yang dimiliki. “Jadi semakin dekat dengan Tuhan,” istilah Guntur.

Sementara itu, Ketua Pusat Bantuan Hukum Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia (PHB DPC PERADI) Cirebon Abdi Mujiono memiliki poin lain. Sebagai pengacara pro bono dengan kasus yang berbagai macam, tak jarang dirinya mendapat cemooh dari orang lain, khususnya dari keluarga korban pembunuhan.

Pernah satu ketika saat Abdi membela terdakwa pembunuhan di depan meja hijau, keluarga korban datang berbondong-bondong membawa sanak-saudaranya. Seketika itu juga, lanjut lulusan Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati (FH Unswagati), Cirebon ini, suasana sidang pun berubah.

“Banyak dari kita (pengacara, red) yang dicemooh oleh keluarga korban. Di situ lah kita harus memberikan penjelasan kepada mereka bahwa sebagai advokat, kita yang kita bela adalah hak-hak terdakwa. Kita tidak membabi buta atau menggunakan kaca mata kuda untuk membela mereka dalam arti membenarkan perbuatannya,” ujar Abdi ditemui dalam kesempatan yang sama.

Cerita soal suka duka lainnya datang dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI Fauzie Hasibuan. Dalam sambutannya di perhelatan yang digelar dalam rangka HUT PERADI ke-11 ini, Fauzie berbagi soal pengalamannya mengadvokasi klien probono. Menurutnya, saat beracara secara pro bono dirinya dapat bergerak sebebas-bebasnya dalam menegakkan keadilan untuk kliennya. Sedangkan semakin banyak bayaran, semakin sempit ruang gerak pengacara.

“Dalam pro bono, kalau kita keras ke jaksa terus klien khawatir karena akan berimbas pada hukuman dia, kita bisa anteng bilang ke klien ‘biarkan saya secara bebas membela dengan cara saya’. Anda bisa bayangkan kalau jumlah yang ia berikan begitu banyak, lalu kita bicara sebebas-bebasnya, dipijak kaki kita, dikatakannya, ‘honormu belum selesai.’ Sudah. Diam kita,” ungkap Fauzie diikuti gelak tawa tamu undangan yang hadir malam itu.

Tags:

Berita Terkait