Seponering AS dan BW, Komisi III Minta Penjelasan Jaksa Agung
Berita

Seponering AS dan BW, Komisi III Minta Penjelasan Jaksa Agung

Bila tidak dijelaskan, penegakan hukum terkesan hanya main-main.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. Foto: SGP
Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman. Foto: SGP
Jaksa Agung HM Prasetyo sudah memutuskan untuk menghentikan penuntutan terhadap perkara mantan pimpinan KPK Jilid III, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Melalui seponering -biasa dikenal deponering-, alasan kepentingan umum sebagaimana kewenangan Jaksa Agung mesti dijelaskan gamblang ke publik.

“Jaksa Agung harus menjelaskan kepada publik apa kepentingan umumnya. Kalau tidak dijelaskan, ini ada kesan penegak hukum main main," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman, melalui sambungan telepon, Jumat (4/3).

Menetapkan keputusan dengan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) memang mesti disertai alasan logis. Alasan kepentingan umum itulah yang mesti jelaskan ke publik. Tujuannya, agar publik tidak menyangka penegakan hukum tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Menurut Benny, me-seponering kasus AS dan BW tidak mengubah status hukum keduanya. Pasalnya, dalam hukum acara terhadap berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap (P21) maka layak diserahkan ke pengadilan. Secara hukum, kasus mestinya tidak dihentikan karena sudah tidak lagi menjadi ranah penuntutan. Benny lebih sependapat agar kasus keduanya dibuktikan di meja hijau. Ia menilai AS dan BW seolah mendapat belas kasihan dari pemerintah dan Jaksa Agung.

“Karena kasian tidak dilakukan proses hukumnya. Sama seperti dulu Bibit dan Chandra," ujar politisi Partai Demokrat itu.

Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan, Jaksa Agung memang memiliki kewenangan melakukan deponering sesuai Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Hanya saja, dalam UU Kejaksaan mendeponering mesti adanya alasan kepentingan umum. Sedangkan dalam KUHAP menghentikan perkara di tingkat penuntutan karena adanya kepentinan hukum. Atas dasar itulah, Jaksa Agung mesti menjelaskan letak kepentingan umum dan kepentingan hukum terhadap kedua kasus dua mantan pimpinan KPK itu.

Anggota Komisi III lainnya, Wihadi Wiyanto berpendapat pertimbangan menerbitkan deponering mestinya dipikirkan lebh baik. Pasalnya, mendeponering sebuah kasus yakni mengesampingkan proses hukum dengan mengedepanan proses politik. Ia menilai Jaksa Agung Prasetyo lebih mengedepankan aspek politik ketimbang hukumnya.

“Konstruksi hukumnya tidak dipikirkan. Mungkin bagi dulu yang dukung Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, ini suatu hal yang bagus. Kalau dari pihak kepolisian, suatu hal yang buruk," ujar politisi Gerindra itu.

Nasir Djamil mengamini pandangan Benny, Arsul dan Wihadi. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) itu mengatakan, seolah di Indonesia terdapat warga kelas satu yang tidak boleh dihukum. Padahal, berkas perkara sudah dinyatakan lengkap oleh jaksa peneliti. Meski deponering menjadi kewenangan Jaksa Agung, Nasir menilai langkah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum bakal menimbulkan kecemburuan keadilan.

“Kepastian dan keadilan hukum dirobek robek oleh pedang adhiyaksa.Meskipun ini adalah hak opportunitas Jaksa Agung tapi tetap saja akan menimbulkan kecemburuan keadilan,” ujarnya.

Jadi pelajaran
Arsul Sani yang juga politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berpendapat, kasus AS dan BW mesti dijadikan pelajaran bagi Kejaksaan Agung. Menurutnya, kejaksaan sudah dapat memprediksi kasus tersebut kemungkinan dihentikan dengan instrumen seponering. Oleh sebab itu, Kejaksaan tak perlu terburu menyatakan berkas lengkap. Bila berkas dinyatakan lengkap, maka perkara tersebut telah cukup alat buktinya.

“Kalau sudah P21, kemudian dideponering maka kesannya kejaksaan bersedia menampar mukanya sendiri dalam melakukan proses penegakan hukum,” ujarnya.

Arsul berpendapat terhadap kedua perkara itu mestinya diserahkan ke pengadilan. Setidaknya, dengan begitu dapat mengetahui terbukti tidaknya tindak pidana sebagaimana sangkaan penyidik kepolisian, atau sebaliknya sebagai upaya kriminalisasi.

“Kalau memang unsur dalam pasal pidana yang diyakini itu tidak terbukti, maka lebih baik minta diadili saja,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait