Hakim Diah Sulastri Dewi dan Cerita tentang Mediasi
Berita

Hakim Diah Sulastri Dewi dan Cerita tentang Mediasi

Berkat kiprahnya dalam dunia mediasi pengadilan, Dewi meraih Peace Prize Award 2016 dari Presiden Asia Pacific Mediation Forum (APMF).

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Hakim Diah Sulastri Dewi dan Presiden APMF Dale Baghsaw. Foto: ASH
Hakim Diah Sulastri Dewi dan Presiden APMF Dale Baghsaw. Foto: ASH
Nama hakim Diah Sulastri Dewi cukup dikenal di lingkungan Mahkamah Agung (MA). Maklum, Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung ini kerap dilibatkan dalam program pembaruan. Ketika isu mediasi penal  lagi bergema, Diah banyak terlibat menyusun program ini di pengadilan, bahkan tema itu menjadi bagian tesis magisternya.

Terbaru, Diah ikut membidani lahirnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang diluncurkan saat Konperensi Mediasi Asia Pasifik ke-7 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Februari lalu.

Sejak tahun 2013, dia memang tergabung dalam Tim Kelompok Kerja (Pokja) Mediasi MA. Keterlibatan mantan Ketua PN Cibinong ini dalam Tim Pokja MA tentu bukan tanpa alasan. Sebab, wanita kelahiran Medan 2 April 1961 ini dikenal sebagai hakim mediator andal lantaran memiliki banyak success story bermediasi. Cerita sukses itu diperoleh selama ia melakoni profesi hakim sejak pertama kali ditugaskan di PN Sumber Cirebon tahun 1996.

Lima tahun kemudian, ibu tiga anak kemudian ditugaskan ke PN Bale Bandung periode 2001-2004 sebelum dimutasi ke PN Bandung hingga awal 2009. Sejak 2009, Dewi sempat bertugas di PN Jakarta Barat hingga akhirnya dipromosikan menjadi Ketua PN Stabat, lalu ke PN Cibinong. Kini, Dewi menjabat Wakil Ketua PN Klas IA Bale Bandung sejak awal September 2015 lalu.

Nah,selama menjadi hakim inilah, Dewi mengaku telah banyak menghasilkan kesepakatan damai lewat mediasi perkara perdata sejak terbitnya Perma No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang direvisi dengan Perma No. 1 Tahun 2008, dan kemudian Perma No. 1 Tahun 2016. Selain berpengalaman, Dewi pun mengantongi sertifikat mediator dari Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) Jakarta dan sering mengikuti pelatihan mediasi.

Dia pernah mengikuti Training Comparative Mediation Systemdi Osaka Jepang (2006-2011) oleh MA. Tak hanya itu, Dewi beberapa ikut studi banding tentang mediasi di Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, Singapura, Hongkong, Malaysia, Thailand, dan Filipina. “Selama 2015 saja, di PN Bale Bandung berhasil mendamaikan para pihak bersengketa sebanyak 70 persen dari semua perkara perdata yang saya tangani,” ujar Dewi di sela-sela acara Konferensi Mediasi Asia Pasifik ke-7 di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jum’at (12/2) lalu.

Tak heran, saat acara Gala Dinner di Konferensi Mediasi Asia Pasifik ke-7 itu, Dewi meraih Peace Prize Award 2016 dari Presiden Asia Pacific Mediation Forum (APMF), Dale Baghsaw. Piece Prize Award ini berupa pemberian piagam penghargaan perdamaian dan perlindungan terhadap anak dan perempuan. Selain piagam penghargaan dan plakat, juga diberikan uang sebesar 250 dolar AS.

Dari 5 nominator dari beberapa negara di Asia Pasifik, Dewi dinilai berhasil mengembangkan mediasi baik dalam maupun di luar pengadilan dan mediasi penal perlindungan anak dan perempuan di Indonesia ketika berhadapan dengan hukum. Penghargaan ini kali pertama diberikan kepada seorang hakim mediator Indonesia sepanjang sejarah penyelenggaraan konferensi APMF ke-7 ini.

“Penghargaan ini, satu kebanggaan juga bagi negara Republik Indonesia khususnya MA yang saat ini tengah giat-giatnya meningkatkan keberhasilan mediasi di pengadilan,” kata Dewi.

Dewi berharap diterimanya penghargaan ini dapat menjadi motivasi para hakim mediator untuk terus berjuang mengembangkan mediasi di Indonesia sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa baik dalam perkara perdata maupun pidana khususnya dalam perkara pidana anak dan perempuan.

”Saya yakin apabila keberhasilan mediasi meningkat, tentu bisa mengubah persepsi publik terhadap sistem peradilan di Indonesia terutama menempatkan mindset hakim secara benar dari juru pemutus menjadi juru runding. Sebab, Pasal 130 HIR jo Pasal 154 RBg, semua hakim itu ex officio berfungsi sebagai juru damai/runding,” kata dia mengingatkan.

Hakim peduli anak
Selain berpredikat mediator andal, kepeduliannya terhadap anak mendorong dirinya kerap menjadi hakim spesialis anak yang berhadapan dengan hukum sejak 1998. Dia mengaku prihatin karena ada sekitar 8.000-an anak-anak nakal berada di penjara lantaran terlibat kasus hukum.

Menurut anggota Pusat Mediasi Nasional (PM) ini seorang anak akan cenderung nakal, bila dia tidak menemukan jati dirinya di rumahnya. Ditambah lagi, kurangnya penanaman nilai-nilai agama dan budi pekerti, dan buruknya jalinan komunikasi dalam keluarga. Keprihatinan serupa juga diungkapkan berkaitan kian banyaknya kaum perempuan yang terlibat dalam berbagai tindak pidana (korban) belakangan ini.

Pengalaman menangani perkara anak ini, mendorong dirinya untuk terus mengembangkan mediasi penal terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum sejak 2005 melalui pendekatan restorative justice (pemulihan keadilan) yang berasaskan musyawarah. “Banyak putusan saya mengandung mediasi penal dengan mempertimbangkan perlindungan anak dan perempuan, seperti perkara pidana anak, KDRT. Ini juga yang mungkin menjadi perhatian APMF,” kata Dewi.

Alhasil, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) mengadopsi pendekatan mediasi penal ini.UU SPPA mengamanatkan setiap anak yang berhadapan dengan hukum wajib mengutamakan prinsip restorative justice. Artinya, setiap proses peradilan ada diversi terhadap perkara anak yakni pengalihan pemidanaan anak dari sistem formal ke sistem informal dengan jalan musyawarah dengan melihat kondisi anak.

“Mediasi penal memang tidak letterlijk diatur UU SPPA, tetapi filosofinya mengandung mediasi penal yang dikenal di beberapa negara yang terikat (ratifikasi) konvensi hak-hak anak, seperti Filipina, Thailand, Hongkong, Australia, Jepang,” kata kandidat doktor Universitas Jayabaya yang tengah merampungkan disertasi berjudul “Mediasi Penal dalam SPPA” ini.

Maka dari itu, MA menerbitkan Perma No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Perma ini mengatur mediasi (musyawarah) perkara anak agar tidak dipenjara atau diversi. “Sebelum lahirnya UU SPPA ini, saya sudah melakukan uji coba terhadap perkara anak guna melindungi hak-hak anak sebagai pelaku, korban dan hak masyarakat secara seimbang atau pemulihan keadilan tidak sepihak,” tutup hakim yang terlibat dalam perumusan RUU SPPA ini.
Tags:

Berita Terkait