Menimbang Opsi Revisi atau Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE
Kolom

Menimbang Opsi Revisi atau Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik UU ITE

Jangan ragu untuk membongkar substansi pasal 27 ayat (3) agar tidak ada kata atau kalimat bersayap. Hitung semua risiko sosialnya, dan temukan keseimbangan pada penerapannya.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sejak awal bulan ini mulai dibahas Komisi I DPR RI. Revisi yang diinisiasi pemerintah ini menjadi momentum memperbaiki celah hukum UU ITE.  Perhatian utama masyarakat pada revisi UU ITE tertuju pada pasal 27 ayat (3) tentang larangan seseorang menyebarkan konten “Pencemaran nama Baik”.

Bagi kalangan penggiat kebebasan berekspresi, pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi ‘hantu’ sekaligus algojo para tukang kritik. Tercatat menurut versi Safenet jumlah “korban” dari pasal 27 ayat (3) UU ITE sebanyak 138 orang selama 8 tahun terakhir. Catatan yang tidak kecil jika melihat kondisi tersebut dari prespektif kebebasan berekspresi.

Tapi mari kita lihat dengan sudut pandang yang sedikit berbeda! Apakah setiap orang yang terjerat pasal 27 ayat (3) UU ITE tepat disebut sebagai “korban” ataukah justru mereka adalah “pelaku”? Memang jika dirunut dalam data, sebagian besar orang yang terjerat pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah  “vokalis” terhadap pejabat, penguasa atau pemerintah, atau kritikus  yang memiliki idealitas untuk menjadi penyeimbang kekuasaan. Tapi hemat saya, tentu tidak semuanya harus disebut sebagai “korban” pasal 27 ayat (3) UU ITE, beberapa diantaranya menurut saya layak disebut  “pelaku”. Mereka adalah orang-orang yang kerap melontarkan fitnah masif atau mencemarkan nama baik seseorang melalui media sosial dengan niat menjatuhkan integritas orang yang disebutkan namanya tersebut.

Terlepas dari prespektif antara siapa yang menjadi “korban” dan siapa yang menjadi “pelaku” yang kerap menjadi perdebatan, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika patut diapresiasi dengan bergerak cepat memasukan revisi UU ITE sebagai prioritas  prolegnas 2016. Sasaran utamanya adalah merevisi pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pemerintah sebagaimana disampaikan dalam press release No.99/PIH/Kominfo/12/2015 lebih memilih untuk mengurangi hukuman pasal 27 ayat (3) UU ITE dari yang semula maksimal 6 tahun menjadi maksimal 4 tahun.

Dalam kacamata hukum, pilihan tersebut diambil dengan salah satu pertimbangan agar syarat objektif untuk melakukan penahanan oleh Aparat Penegak Hukum (“APH”) terhadap pelaku tindak pidana pencemaran nama baik di ranah siber bisa dihilangkan. Dengan demikian, APH tidak bisa lagi semerta-merta menahan pelaku tindak pidana pencemaran nama baik dengan dalih ancaman penjara perbuatannya lebih dari 5 tahun sebagaimana dimungkinkan dalam pasal 21 ayat (4) KUHAP.

Dalam catatan penulis, dari banyak putusan kasus pencemaran nama baik yang menggunakan pasal 27 ayat (3) UU ITE, tidak ada satupun yang pernah dihukum maksimal 6 tahun. Rata-rata hukuman penjara yang dijatuhkan berkisar antara 3 bulan sampai 2 tahun tanpa sanksi denda.

Berkurangnya sanksi penjara dari maksimal 6 tahun menjadi maksimal 4 tahun memberi konsekuensi bahwa APH tidak memiliki kewenangan (lagi) untuk "merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi  untuk keperluan pidana" sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (2) UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.  UU Telekomunikasi mengatur bahwa operator hanya akan memberikan catatan “perekaman informasi” kepada APH tentang pengguna telekomunikasi yang diduga melakukan tindak pidana yang ancaman pidanannya lebih dari 5 tahun.

“Perekaman informasi” dalam praktiknya adalah berupa Call Data Record (CDR). CDR berisi catatan rekaman pemakaian jasa telekomunikasi (sms dan telepon) dan didalamnya memuat Location Area Code dan Cell ID (“LAC CID”). LAC CID adalah Kode Area Lokasi berupa angka unik yang biasanya digunakan untuk mengidentifikasi lokasi suatu Base Tranceiver Station (BTS). Data LAC CID inilah yang digunakan oleh APH untuk menjadi petunujk menemukan lokasi atau posisi pelaku (target).

Konsekuensinya, dalam hal terjadi kasus fitnah terhadap seseorang yang disebarkan melalui SMS atau menggunakan media mobile internet, dimana pelaku tidak jelas identitas dan lokasinya (anonym), maka dengan tidak adanya kewenangan memperoleh CDR, bisa dipastikan APH akan kesulitan melacak keberadaan pelaku atau mengidentifikasi identitas pelaku.

Anggap saja contoh diatas tidak terjadi, atau terdapat mekanisme lain untuk menemukan pelaku kejahatan fitnah. Maka revisi pengurangan hukuman tentu versi pemerintah adalah solusi tengah yang efektif.

Tuntutan Penghapusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Terlepas dari risiko dan konsekuensi revisi pengurangan masa hukuman, pendapat lain dari penggiat kebebasan berekspresi justru bersuara lebih kencang. Pasal 27 ayat (3) UU ITE seharusnya dihapus dalam rumusan pidana di ranah siber.

Mekanisme hukum sebetulnya sudah ditempuh oleh penggiat kebebasan berekspresi. Tercatat beberapa kali pasal 27 ayat (3) UU ITE di judicial reviu oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya? Pasal 27 ayat (3) sangat sakti dan tetap harus ada dalam UU ITE. Ini dibuktikan dengan ditolaknya permohonan judicial reviu oleh Iwan Piliang (2008), tidak diterimanya permohonan serupa oleh Eddy Cahyono Cs (2009), dan dicabut kembalinya permohonan yang serupa oleh Mohammad Ibrahim (2015).

Pesan MK sangat jelas, pasal tentang pencemaran nama baik dalam UU ITE masih dibutuhkan di negara ini. Hak berekspresipun mengenal pembatasan dan pengurangan yang diatur dalam UU. Persepsi yang dibangun harus berimbang tentang bagaimana menentukan siapa pelaku dan siapa korban. Jangan pernah lupa pasal 28 J ayat (1) UUD 45  menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Transformasi Delik Konvensional
Putusan MK seakan menegaskan bahwa “pencemaran nama baik” meskipun merupakan delik konvensional, mau tidak mau akhirnya bertransformasi menjadi bagian dari jenis cyber crime di Indonesia. Padahal dalam rumusan Convention on Cyber Crime Budapest 2001 yang tertuangdalamEuropan Traty Series (ETS) Number 185,  delik “pencemaran nama baik” (crimes against integrity of person) tidak termasuk dalam penggolongan  cyber crime.

Bahkan jika melihat historikal UU ITE, naskah akademis RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI) yang digagas Universitas Padjajaran (draft tahun 2000) yang kemudian menjadi cikal bakal RUU ITE (draft tahun 2007) sebetulnya tidak pernah menyebutkan atau mengatur delik “pencemaran nama baik” dalam RUU ITE. Dalam draft RUU PTI, konten illegal hanya yang terkait dengan pelanggaran terhadap kesusilaan yang bertujuan melindungi kepentingan anak-anak dari perbuatan asusila (Pasal 40 draft RUU PTI tahun 2000). Sedangkan dalam draft RUU ITE tahun 2007, konten illegal hanya dibatasi pada pornografi, pornoaksi, perjudian, dan/atau tindak kekerasan (pasal 26 RUU ITE draft tahun 2007).

Meskipun demikian, usulan menghapus pasal pencemaran nama baik patut dipikir ulang jika tujuannya hanya untuk membuka luas ruang kebebasan berekspresi. Jangan pernah lupa, pasal terkait pencemaran nama baik dalam KUHP masih berlaku (pasal 310-321 KUHP). Tidak ada jaminan oknum APH tidak akan menggunakan KUHP untuk menjerat para kritikus yang dianggap melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Bahkan dengan tidak adanya pasal 27 ayat (3) UU ITE, delik pencemaran nama baik makna dan ‘tafsir’nya menjadi luas. Pencemaran nama baik dalam KUHP tidak hanya penistaan dan fitnah saja (seperti halnya batasan dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE sesuai putusan MK No. 50/PUU-VI/2008), melainkan juga delik lain seperti penghinaan ringan (pasal 315 KUHP), pengaduan palsu (pasal 317 KUHP), perbuatan fitnah (318), dan penghinaan terhadap orang yang sudah mati (pasal 320 dan 321 KUHP).

Hemat saya, pilihan merevisi pengurangan masa hukuman pasal 27 ayat (3) UU ITE atau menghapus pasal tersebut jangan dijadikan pilihan terbatas. Pemerintah dan DPR bisa membuka opsi lain untuk ‘memperbaiki’ pasal tersebut dalam pembahasan. Jangan ragu untuk membongkar substansi pasal 27 ayat (3) agar tidak ada kata atau kalimat bersayap. Hitung semua risiko sosialnya, dan temukan keseimbangan pada penerapannya. Toh undang-Undang bukan kitab suci yang setiap kata dan frasanya harus tetap orisinal.

Dan yang tidak kalah penting tentang filosofi pemidanaan adalah adanya asas hukum ultimum remedium, yang berarti bahwa pemidanaan hendaklah dijadikan upaya terakhir (pamungkas) dalam hal penegakan hukum. Apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi), hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu digunakan ketimbang melalui proses pemidanaan!

* Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community
Tags:

Berita Terkait